Pertempuran sengit di akhir musim kedua mengubah segalanya. Xander berhasil menundukkan Edward dan sekutunya, namun harga yang harus dibayar sangat mahal: darah, pengkhianatan, dan tumbangnya Evan Krest—sekutu terkuat yang selama ini menjadi sandaran kekuatannya.
Kini, di season ketiga, badai yang lebih besar mulai berhembus. Cincin takluk yang melilit jari para musuh lama hanyalah janji rapuh—di balik tunduk mereka, dendam masih menyala. Sementara itu, kekuatan asing dari luar negeri mulai bergerak, menjadikan Xander bukan hanya pewaris, tapi juga pion dalam permainan kekuasaan global yang berbahaya.
Mampukah Xander mempertahankan warisannya, melindungi orang-orang yang ia cintai, dan menjaga sisa-sisa kepercayaan sekutu yang tersisa? Ataukah ia justru akan tenggelam dalam lautan intrik yang tak berujung?
Pewaris Terhebat 3 menghadirkan drama yang lebih kelam, pertarungan yang lebih sengit, dan rahasia yang semakin mengejutkan.
SAKSIKAN TERUS HANYA DI PEWARIS TERHEBAT 3
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Larson mendapatkan pemeriksaan yang sangat ketat oleh para pengawal di ruangan berbeda. Ia dipasangkan sebuah alat kejut listrik di pinggangnya untuk berjaga-jaga jika ia melakukan tindakan berbahaya pada Lizzy dan Alexis.
"Dasar brengsek! Kau belum puas menghinaku, Alexander. Aku sudah mengatakan jika aku hanya ingin menghabisimu, bukan menghabisi sepupu dan keponakanku," ketus Larson.
"Aku masih belum mempercayaimu, Larson." Xander tersenyum.
"Sialan!" Larson menoleh pada Govin dan Mikael yang berdiri tidak jauh darinya. "Bisakah kau menyingkirkan dua orang ini? Aku berjanji tidak akan melakukan apa pun pada istri dan anakmu."
"Mereka akan menjagamu selama kau dekat dengan istri dan putraku."
"Aku pasti memukul wajah sialanmu!"
Xander, Larson, Govin, Mikael, dan beberapa pengawal memasuki ruangan. Para pengawal yang sudah berada di ruangan segera mengarahkan pistol pada Larson dari arah tersembunyi.
Larson mengamati sekeliling. "Dasar brengsek! Aku pasti akan meremukan wajahmu!"
"Ayah!" Alexis melambaikan tangan, kembali bermain dengan Larvin.
"Hei, menjauhlah dari ayahku, anak nakal. Dia harus beristirahat. Kau sudah mengganggunya sejak tadi," kata Larson.
"Kakek, Paman Larson memarahiku dan memelototiku.” Alexis mengadu.
Larvin seketika memelototi Larson. "Jaga ucapanmu dan tingkahmu pada cucuku, Larson."
"Dasar breng ...." Larson berdecak ketika hampir mengatakan kata-kata kasar di dekat Alexis.
Alexis tertawa. "Kakek, aku ingin mengajakmu ke rumahku setelah kau sehat. Jadi, kapan kau akan pulang dari rumah sakit?"
"Aku akan pulang secepatnya. Lihatlah, aku sudah sembuh sekarang." Larvin mengelus rambut Alexis. Ia seperti kembali ke masa lalu.
Larvin nyaris tidak pernah bersikap lembut pada Larson selagi kecil. Ia mendidik putranya dengan sangat keras. Ia ingin membayar kesalahannya selagi masih bernapas.
"Alexis, kita harus segera pulang," kata Xander.
Alexis mendadak cemberut. "Bisakah aku menginap di sini? Aku janji tidak akan berbuat nakal."
Xander memangku Alexis. "Kau harus memberikan waktu pada kakekmu untuk beristirahat. Bukankah kau ingin kakek cepat sembuh dan mengajaknya ke rumah?"
"Baiklah." Alexis turun dari pangkuan Xander. "Kakek beristirahatlah. Aku akan mengunjungimu lagi."
Lizzy berpamitan, "Aku harap kau segera sembuh seperti sedia kala. Kau dan Larson adalah keluargaku sekarang."
Alexis sengaja menginjak kaki Larson.
"Dasar anak nakal! Kenapa kau menginjak kakiku?" Larson memelotot.
Alexis memeletkan lidah. "Kakek, Paman Larson memarahiku lagi."
"Larson, apa yang kau lakukan? Kau tidak akan terluka hanya karena diinjak Alexis." Larvin melotot tajam.
"Kau pasti sengaja, anak nakal."
Alexis bersembunyi di belakang Xander, memeletkan lidah.
Xander, Lizzy, dan Alexis keluar dari ruangan. Sebagian penjaga masih berjaga di luar ruangan.
Larvin tampak ceria meski hatinya berduka saat tahu Larvino sudah tiada.
Larvin berbaring di ranjang. Ia merasa Tuhan terlalu baik padanya dengan memberikan kesempatan untuk bertemu dengan keluarga mendiang adiknya.
"Alexander sudah mempermalukanku hari ini." Larson duduk di sisi ranjang. Ia menemukan mainan robot Alexis di balik selimut. "Dia memang licik seperti yang dikatakan orang-orang."
"Itu karena kau lemah dan bodoh! Meski kau tidak akan menang melawan Alexander, seharusnya kau memberi perlawanan. Kau datang dengan memalukan."
"Dasar brengsek!" Larson merasa lega karena bisa memaki. "Kau pasti sudah mengetahui hal ini sebelumnya! Kenapa kau tidak menceritakan hal ini padaku?"
"Alexander menyamar sebagai seorang dokter dan memberikan beberapa bukti jika dia mengenal Larvino. Dia juga mengatakan akan membawa keluarga Larvino padaku. Aku ... tidak menduga jika Lizzy dan Alexis akan datang secepat ini."
"Dasar brengsek!" Larson teringat dengan dokter bernama Logan yang ia curigai sebelumnya. "Firasatku benar."
Larvin tersenyum, menatap langit-langit ruangan. "Aku bisa tenang sekarang. Tidak ada lagi hal yang mengganguku."
"Sialan! Kalau kau mati, apa kau pikir Tuhan akan mengampuni dosa-dosamu? Kau akan langsung dilemparkan ke neraka."
"Aku akan menunggumu di sana."
Larson berdecak.
Suasana mendadak hening. Larvin terus terbayang dengan kedekatannya bersama Alexis, sedang Larson merasa bingung karena ia memiliki keluarga lain selain ayahnya.
"Jadi, apa keputusanmu? Apa kau akan tetap bergabung bersama orang-orang itu untuk menghancurkan Alexander dan keluarganya yang juga keluarga kita, atau kau akan memilih pilihan lain."
"Kau pasti akan mengutukku di neraka ketika aku tetap memilih orang-orang itu." Larson menarik napas panjang. "Aku sangat yakin jika aku menyakiti Alexander dan keluarganya, kau pasti akan tersakiti juga. Alexander akan mengurus sisanya.”
"Aku tidak akan memaafkanmu meski kau putraku jika Lizzy dan Alexis sampai terluka. Mereka adalah dua orang berharga untukku selain dirimu."
"Jangan mengancamku dengan kondisi rentamu, sialan! Kau tidak lebih dari tua bangka sialan! Aku masih belum memaafkanmu karena kebohonganmu."
"Kau sedang ketakutan sekarang. Aku bisa mengetahuinya dari suaramu." Larvin memejamkan mata, terlelap setelahnya.
"Jangan mati sialan!" Larson membenarkan letak selimut, menghembus napas panjang.
Larson mengambil mainan Alexis, tersenyum. "Aku pasti akan membalasmu anak nakal."
Larson hanyut dalam momen kebersamaan singkat dengan Lizzy dan Alexis. Ia bersyukur melihat Larvin bahagia sebab keinginan terbesarnya sudah terpenuhi. Akan tetapi, ia takut seandainya jika mereka terluka.
"Alexander masih belum mempercayaiku. Dia mengirimkan orang-orangnya untuk mengawasiku."
"Sialan! Jika saja aku dan Alexander berhadapan langsung tanpa ada sesuatu yang mengikat kami berdua, Alexander bisa dengan mudah menghabisiku dan ayahku."
Larson memeriksa ponsel. Ia mendapatkan sebuah pesan dari Leonel. "Aku sudah menceritakan semua rencana mereka pada Alexander. Satu-satunya cara agar aku tidak terlihat berkhianat adalah Alexander membongkar rencana itu sesegera mungkin."
Larson menatap Larvin yang sudah tertidur pulas. "Ayah tidur dengan sangat pulas dan tersenyum. Dia benar-benar bahagia. Aku harus menjaga kebahagiaan itu."
"Aku masih sangat kesal dengan Alexander, tapi dia adalah orang yang membuat ayahku sangat bahagia sekarang. Aku pasti akan memukul wajah sombongnya nanti."
Larson berbaring di sofa. "Aku bisa tidur nyenyak sekarang."
Keesokan paginya, Xander berbincang dengan Sebastian mengenai Larson dan Larvin.
"Kau kembali menambah sekutu, Xander. Larson dan pasukannya bisa menjadi sekutu yang bisa membantumu," ujar Sebastian.
"Larvin ingin mengunjungi pusara adiknya sesegera mungkin. Melihat dari keadaannya, dia sepertinya tidak akan bertahan lama."
"Meski merupakan keluarga Lizzy, mereka masih terlalu cepat datang ke kediaman utama.
Aku masih belum sepenuhnya mempercayai mereka, kecuali jika mereka bersumpah setia di hadapanmu dan di depanku seumur hidup mereka."
"Aku mengerti. Aku akan mengirim pesan ini pada Larson dan Larvin secepatnya." Xander memberi tanda pada Govin yang berada tak jauh darinya.
"Lalu bagaimana dengan rencanmu selanjutnya, Xander?"
"Aku akan memberikan kejutan untuk Leonel dan Leandro. Kejutan itu pasti akan membuat mereka sangat bahagia."
Sebastian tertawa, meninggalkan ruangan.
Xander duduk di sofa, menelepon Leonel, tersenyum.
Di tempat berbeda, Leonel tersenyum saat menerima panggilan dari Larson. "Larson, apa yang kau–"
"Halo, Leonel. Sudah lama kita tidak bertemu dan berbincang." Xander tersenyum.
Leonel sontak terkejut. “Ale-Alexander?”
bahkan ada keluarga yg sudah kalah tapi gak mau mengakui kekalahan.
Sungguh di luar prediksi pembaca..
Tetap semangat & sehat selalu Thorr...
livy sepupu larson