Setelah menaklukan dunia mode internasional, Xanara kembali ke tanah air. Bukan karena rindu tapi karena ekspansi bisnis. Tapi pulang kadang lebih rumit dari pergi. Apalagi saat ia bertemu dengan seorang pria yang memesankan jas untuk pernikahannya yang akhirnya tak pernah terjadi. Tunangannya berselingkuh. Hatinya remuk. Dan perlahan, Xanara lah yang menjahit ulang kepercayaannya. Cinta memang tidak pernah dijahit rapi. Tapi mungkin, untuk pertama kalinya Xanara siap memakainya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yayalifeupdate, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Yang Tidak Direncana
Harvey tidak memberi Xanara kesempatan untuk mengelak.
Begitu selesai memeriksa keadaan butik, ia langsung berkata singkat.
“Kunci tempat ini. Kita pergi.” Ucap Harvey
“Pergi ke mana?” Xanara mengerutkan kening.
“Keluar kota. Malam ini.”
Nada Harvey terdengar seperti perintah, bukan ajakan.
Xanara ingin protes, tapi tatapan mata pria itu terlalu dalam dan entah kenapa, bagian dirinya yang paling rasional mendadak bungkam.
Mobil Harvey melaju tanpa tujuan yang ia ungkapkan. Hanya cahaya jalanan dan musik pelan di radio yang mengisi keheningan di antara mereka. Tapi dalam diam itu, Xanara merasakan setiap tatapan Harvey di profil wajahnya.
“Aku gak suka dia,” ucap Harvey tiba-tiba, nadanya berat.
“Siapa?”
“Rey.” Jawab Harvey singkat.
Xanara memalingkan wajah, pura-pura melihat keluar jendela.
“Dia cuma—”
“Bukan cuma apa-apa. Dia tertarik sama kamu.”
Harvey memotong cepat, satu tangannya masih mantap di kemudi, tangan lainnya terulur dan menggenggam jemari Xanara tanpa peringatan.
“Dan aku gak akan biarin itu terjadi.”
Mereka tiba di sebuah vila di tepi pantai, jauh dari keramaian. Udara malam membawa aroma garam dan suara ombak yang memecah keheningan.
Begitu pintu vila tertutup, Harvey tidak membuang waktu.
Ia menempelkan punggung Xanara ke dinding, tubuhnya mendekat hingga panas napas mereka bercampur.
“Kamu milikku, Xanara,” bisiknya.
“Bukan milik Rey, bukan milik siapa pun.”
Xanara menatap balik, tidak menunduk.
“Aku bukan milik siapa pun, Harvey.”
Harvey tersenyum tipis, senyum yang lebih berbahaya daripada kemarahan.
“Malam ini, aku akan pastikan kamu tahu, kalau aku satu-satunya yang bisa membuatmu begini.”
Suara ombak menjadi latar, dan dunia seolah mengecil hanya menjadi dua orang.
Setiap sentuhan menjadi pernyataan, setiap tatapan adalah tantangan.
Harvey menarik napas panjang, seolah mencoba menahan dirinya tapi matanya sudah telanjur membakar. Tangannya menelusuri garis rahang Xanara, turun perlahan ke leher, berhenti di sana sejenak, merasakan degup jantungnya yang tak beraturan.
“Aku bisa dengar jantungmu,” ucap Harvey rendah.
“Cepat sekali, karena aku?”
Xanara menelan ludah, mencoba bersikap tenang.
“Jangan terlalu percaya diri.”
“Oh, aku tidak percaya diri,” bisik Harvey sambil menunduk mendekat.
“Aku tahu.”
Bibirnya menyentuh bibir Xanara dengan cara yang membuat napasnya tercekat. Bukan ciuman lembut, melainkan desakan penuh kepemilikan. Xanara sempat mencoba mundur, tapi Harvey sudah menekan pinggangnya ke dinding, membuat jarak di antara mereka menghilang sepenuhnya.
Tangan Harvey berpindah ke punggung, menarik resleting gaun Xanara perlahan, sementara bibirnya bergerak ke lehernya, meninggalkan jejak panas di kulitnya.
“Harvey” suara Xanara terdengar seperti peringatan, tapi tangannya malah ikut mencengkeram kerah kemeja pria itu, seolah ingin menariknya lebih dekat.
“Aku ingin kamu tahu” Harvey berbisik tepat di telinga, napasnya membakar kulitnya.
"kalau Rey nggak akan pernah punya yang seperti ini.”
Ketika gaun itu jatuh ke lantai, Xanara tak lagi mundur. Hanya ada suara ombak di luar, desahan napas di dalam ruangan, dan ketegangan yang akhirnya meledak menjadi malam yang penuh gairah, panas, panjang, dan tanpa jeda, seolah mereka berdua mencoba menghapus semua ancaman dari luar dengan sentuhan.
Harvey tidak sekadar mencium, ia menuntut.
Xanara tidak sekadar merespon, ia melawan dan setiap kali Harvey mencoba memegang kendali, Xanara membalas, membuat malam itu menjadi permainan antara kekuatan dan keinginan.
Pada akhirnya, ketika mereka sama-sama terbaring kelelahan di ranjang, Harvey masih menatapnya tanpa berkedip.
“Kamu milikku,” ucapnya sekali lagi, kali ini bukan ancaman, tapi janji.