Maura seorang asisten pribadi, mendapati dirinya terperangkap dalam hubungan rumit dengan atasannya, Marvel-seorang CEO muda yang ambisius dan obsesif. Ketika Marvel menunjukkan obsesi terhadap dirinya, Maura terperangkap dalam hubungan terlarang yang membuatnya dihadapkan pada dilema besar.
Masalah semakin pelik ketika Marvel, yang berencana bertunangan dengan kekasihnya, tetap enggan melepaskan Maura dari hidupnya. Di tengah tekanan ini, Maura harus berjuang mempertahankan batas antara pekerjaan dan perasaan, sekaligus meyakinkan keluarganya bahwa hubungannya dengan Marvel hanyalah sebatas atasan dan bawahan.
Namun, seberapa lama Maura mampu bertahan di tengah hasrat, penyesalan, dan rahasia yang membayangi hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oveleaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Malam ini Marvel terlihat tampan dengan kemeja putih dilapisi jas hitam, sedangkan Jesica tampak sangat cantik mengenakan gaun berwarna soft pink dihiasi payet berlian dengan aksen renda di bagian dada. Gaun berharga ratusan juta itu melekat pas dengan tubuhnya.
Tidak menampik, Marvel sempat terkesima dengan kecantikan itu. "Your so beautiful ...." ucap pria itu.
Jesica tersenyum bangga, sedingin apa pun pria itu padanya, pada akhirnya juga akan terhipnotis kecantikannya. "Kamu juga sangat tampan ... selalu tampan."
Dengan tangan bergandengan mereka berjalan menuju aula, tempat acara diselenggarakan. Dalam acara itu Jessica tidak mengundang banyak orang, hanya saudara dan beberapa temannya. Sedangkan Marvel hanya mengundang dua sahabatnya saja—Arsen dan Juan. Itu juga hanya sebagai formalitas.
Suara riuh tepuk tangan menyambut mereka. Senyum tipis menghiasi wajah Jesica, seolah ia adalah ratu malam itu. Sementara Marvel hanya mengangkat dagu, menampilkan sikap angkuh yang sudah menjadi ciri khasnya.
Gemerlap lampu kristal di langit-langit aula, memantulkan cahaya ke gaun para tamu undangan yang duduk rapi di kursi berhias bunga mawar putih. Musik klasik mengalun lembut, menambah kesan mewah. “Selamat malam, semua. Terima kasih sudah hadir dalam momen bahagia kami,” suara Jesica terdengar jelas, nadanya penuh percaya diri, seakan ingin menegaskan bahwa malam ini adalah miliknya.
Marvel hanya berdiri di sampingnya, wajahnya tetap dingin meski beberapa kali melirik Jesica.
Arsen dan Juan yang duduk di kursi paling depan saling bertukar pandang, lalu menampilkan senyum miring. Mereka mengenal Marvel terlalu lama untuk percaya bahwa pria itu benar-benar ingin bertunangan dengan Jesica. Mereka pikir Marvel sedang mabuk saat mengirim undangan, ternyata Marvel seratus persen sadar dan acara itu benar-benar terjadi.
Jesica, dengan penuh percaya diri, menyodorkan tangan ke arah Marvel. Ia ingin dunia melihat betapa sempurnanya pasangan ini. Marvel menahan napas sejenak, lalu akhirnya menggenggam tangan itu di hadapan semua orang.
Tepuk tangan kembali menggema. Kamera-kamera ponsel berkilatan, mengabadikan momen itu. Di saat yang sama, dari arah pintu aula, Marvel melihat Sam masuk dengan terburu-buru. Ia berdiri tepat di depan Marvel di antara kursi tamu, menunggu momen yang tepat. Sesaat setelah Jesica selesai berbicara dan tamu undangan bersorak riuh disertai tepuk tangan, Sam mendekati Marvel dan membisikkan sesuatu.
Sementara itu, di sisi lain kota, Maura duduk di kursi taksi yang membawanya menjauh apartemen. Dari rumah sakit tadi ia langsung ke apartemen untuk mengambil harta bendanya. Saat Marvel menangkapnya hari itu, ia tidak sempat membawa tasnya. Setelah ini tugas Maura bertambah karena harus mendapatkan kembali tas yang berisi barang berharga itu.
Maura mendengus pelan. Lampu jalan berkelebat di kaca jendela, membuat bayangannya sendiri terlihat muram. Tiba-tiba saja ia teringat Dave.
Apa yang sebenarnya Marvel rencanakan? pikirnya.
Begitu taksi berhenti di depan gang rumah ayahnya, ia langsung turun dengan menenteng tas ransel. Keningnya mengkerut melihat sebuah mobil terparkir di depan gang. Ia berhenti sejenak untuk memperhatikan mobil yang tampak tidak asing itu.
"Kamu seharusnya tidak ada di rumah sakit tadi," ucap sebuah suara yang berasal dari dalam gang.
Maura langsung menoleh ke arah kanan, ia tidak begitu terkejut melihat pria itu. "Aku punya feeling kamu akan sampai di sini, tapi ternyata lebih cepat dari dari dugaanku," katanya santai.
Rio tertawa kecil dan berjalan mendekat. "Aku tahu kamu hanya ingin main-main. Kusarankan, lain kali jangan membuat kami lebih repot dari ini."
Maura tertawa cukup keras. "Well, aku kalah." Ia menghela napas pelan, pura-pura kecewa sambil mengangkat kedua tangan sejajar dengan kepala. "Jangan membuatku terlihat seperti buronan. Aku akan ikut kalian setelah mengantarkan tas ini," katanya selanjutnya.
Rio menyingkir, memberi jalan pada Maura untuk masuk ke dalam gang itu dan mengikutinya dari belakang.
"Ngomong-ngomong, kamu tahu keberadaanku dari mana?" tanya Maura basa-basi.
"Bukan urusanmu," jawab Rio acuh.
Saat di rumah sakit tadi, dari kejauhan ia melihat Maura keluar. Bisa dikatakan, ketidak sengajaan yang pas. Ia langsung menyuruh anak buahnya untuk mengawasi wanita itu.
Maura berdecak kesal, lalu menghentikan langkah dan berbalik. "Tadi itu kamu membawa Dave ke mana?" tanyanya penasaran.
Rio menatapnya datar dengan bibir terbungkam, enggan menjawab. Hal itu membuat Maura kembali berbalik melanjutkan jalan dengan perasaan kesal. "Seharusnya kalian tidak melakukan itu padanya. Kalian benar-benar membuatku merasa berdosa!"
"Itu risiko dari kebodohan yang kalian lakukan."
Maura spontan tertawa. Setelah ia pikir-pikir, dirinya memang bodoh. Coba saja kalau ia kabur dengan rencana yang matang. Sialnya ada Dave yang bertingkah seperti pahlawan kesiangan.
"Temanmu yang bodoh! Dia yang membawaku kabur!"
Kekehan pelan keluar dari bibir Rio, dan Maura bisa mendengar dengan jelas. "Dan kalian ketahuan karena kamera dan GPS yang terpasang di mobil." Menurutnya itu sangat lucu. Bisa-bisanya Dave tidak mempertimbangkan hal itu, padahal seharusnya ia tahu semua mobil anak buah Marvel terpasang kamera dan GPS.
"Memangnya siapa saja yang bisa melihat video itu?" Maura jadi ingat saat Marvel memperkosanya di mobil saat itu.
"Sam."
"Sam!" pekik Maura seraya membalikkan badan dan berhenti. Matanya melotot lebar sedangkan kedua tangan menutupi mulut yang terbuka. Maura mengerti sekarang, pantas saja sikap pria itu sangat aneh.
Rio tampak kebingungan, sebelah alisnya terangkat. "Ya, Sam." Ia kembali mengkonfirmasi.
"Ada yang salah?" tanyanya, melihat wajah Maura yang mendadak pucat. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala, lalu dengan perlahan berbalik dan melanjutkan langkahnya. Demi apa pun, ia benar-benar malu.
"Apa kamu juga menggoda Sam seperti kamu menggoda Dave?" Rio curiga.
"What!" Maura memakai keras mendengar pertanyaan itu. "Memangnya aku terlihat seperti perempuan penggoda!" sungutnya.
"Mungkin kamu lupa kalau Tuan Marvel menyukai wanita-wanita seperti itu."
Lagi-lagi Maura menghentikan langkah, bibirnya sedikit terbuka diiringi suara tawa sumbang. Kemudian ia berbalik dengan wajah ditekuk suram. "Jangan samakan aku dengan wanita-wanita itu, sialan! Dia yang membuatku seperti ini, mengurungku seperti burung peliharaan. Memangnya kamu pikir aku mau hidup seperti ini, tidak!"
Dada Maura bergerak naik turun karena nafas yang berhembus tidak terkendali, matanya sudah berkaca-kaca. Andai saja ia bisa berteriak pada dunia bahwa ia lelah, ia benar-benar akan melakukannya.
"Maura, Pak Rio?"
Maura berbalik mendengar suara yang sangat ia kenali.