"Jangan pernah berharap ada cinta dalam hubungan ini, Ndu." - Wisnu Baskara Kusuma.
"Aku bahkan tidak berharap hubungan ini ada, Mas Wisnu." - Sewindu Rayuan Asmaraloka.
*****
Sewindu hanya ingin mengejar mimpinya dengan berkuliah di perantauan. Namun, keputusannya itu ternyata menggiringnya pada garis rumit yang tidak pernah dia sangka akan terjadi secepat ini.
Di sisi lain, Wisnu lelah dengan topik pernikahan yang selalu orang tuanya ungkit sejak masa kelulusannya. Meski dia sudah memiliki kekasih, hubungan mereka juga masih tak tentu arah. Belum lagi Wisnu yang masih sibuk dengan masa dokter residen di tahun pertama.
Takdir yang tak terduga mempertemukan kedua anak manusia ini dalam satu ikatan perjodohan.
Pernikahan untuk menjemput ketenangan hidup masing-masing. Tanpa cinta. Hanya janji bahwa hati mereka tak akan ikut terlibat.
Akankah perjanjian yang mereka buat dalam pernikahan ini dapat ditepati? Atau malah membawa mereka jatuh ke dalam perasaan masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amerta Nayanika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salim!
Beberapa minggu kemudian …..
Kedua kaki jenjang itu bertengger di dinding kamar. Bergerak ke kanan dan ke kiri, menandakan si empunya masih belum tertidur.
Sewindu memandangi kemeja putih dan rok hitam panjang yang baru saja selesai disetrika. Tak sabar untuk memakainya esok hari.
Dari celah pintu kamar yang sedikit terbuka, dia melihat bayangan pria dewasa yang berlalu di sana.
Mendapati itu, Sewindu melompat dari kasurnya. “Mas!”
Panggilan dengan suara lantang itu mampu membuat Wisnu langsung menoleh ke arah Sewindu yang kini melangkah girang.
Mata di balik lensa minus itu melirik pada satu setel baju yang menggantung di pintu lemari. Rupanya itu yang membuat Sewindu tampak lebih cerah malam ini.
Dengan gerakan tubuh ke kanan-kiri dan senyuman mengembang, Sewindu berkata, “Aku besok OSPEK, hehehe….”
Wisnu mengangkat alisnya. Tentu dia sudah tahu itu. “Terus?”
Senyum di wajah Sewindu luntur sudah. Wajah manis itu kembali datar seperti biasanya. Begitu pula tubuhnya yang tak lagi bergoyang senang.
“Ini aku niatnya pamit,” ucapnya acuh tak acuh, “Siapa tahu, besok aku berangkat sebelum Mas Wisnu bangun.”
“Mau saya antar?”
Satu pertanyaan yang keluar dengan penuh kesadaran dari bibir Wisnu, mampu membuat Sewindu mengerutkan alisnya heran.
“Mas Wisnu suka sama aku?” tanyanya.
Tangan yang menggenggam gelas itu mengerat. Gemas ingin meremas wajah yang baru saja melontarkan pertanyaan bodoh barusan.
“Saya sudah punya pacar, Ndu,” jawabnya serius.
Melihat itu, Sewindu menirukan ekspresi Wisnu yang selalu dingin dan kaku. Tak sampai di situ, dia juga menirukan gaya bicara Wisnu padanya.
“Saya juga sudah tahu, Mas Wisnu,” timpalnya dengan suara yang diberat-beratkan.
Namun, Wisnu masih seperti biasanya yang tak pernah menanggapi candaan Sewindu. Matanya hanya menyorot lurus, tajam pada lawan bicaranya.
Melihat Wisnu yang hanya diam, Sewindu berdeham pelan. Dia mengembalikan wajahnya seperti semula.
Tangannya terangkat di udara, kembali fokus pada pertanyaan Wisnu sebelumnya. “Nggak usah repot-repot. Aku bisa berangkat sendiri.”
Setelah mendapatkan jawaban yang ditunggu, Wisnu hanya mengangguk singkat. Dia juga langsung melanjutkan langkahnya menuju dapur.
“Dasar, manusia robot!” cibir Sewindu pelan, sebelum masuk ke dalam kamarnya.
...****************...
Langit masih gelap, namun ketukan pada pintu itu tak kunjung mereda. Masih terlalu pagi untuk memulai kegiatan di luar rumah.
Wisnu menenggelamkan wajahnya di antara bantal. Matanya berusaha untuk tidak terbangun dari tidurnya.
Namun, sosok di balik pintu itu masih terus saja mengetuk semakin intens.
“Mas! Anterin aku dong!”
Wisnu akhirnya bangkit dari rebahnya. Tangannya meraba celah bantal, mencari kacamatanya yang menyelip di sana.
Begitu pintu itu terbuka, dia dapat melihat Sewindu sudah rapi dengan kemeja putih dan rok hitam yang melekat di tubuhnya. Sebuah tas ransel juga sudah berada di punggungnya.
Aroma sabun dan wewangian lembut menyapa penciuman Wisnu yang masih mengumpulkan sisa nyawanya. Mata pria itu langsung terbuka sepenuhnya dengan alis menukik.
“Mau ke mana sih, Ndu?” tanyanya dengan suara serak.
Sementara itu, Sewindu sudah memasang wajah memelas di sana. “Hari pertama OSPEK, Mas! Kan aku sudah bilang kemarin. Anterin, ya? Kalau pesan ojek online udah nggak sempat.”
Sembari mengusak rambutnya yang tampak seperti sarang burung, Wisnu menepis Sewindu dari hadapannya. Pria itu akhirnya berjalan ke belakang.
Dia mendengus pelan. Padahal kemarin Sewindu bilang mau berangkat sendiri. “Masih jam berapa ini, Ndu? Mau jadi satpam kampus apa gimana?” timpalnya setengah hati.
“Jam 5,” Sewindu kembali muncul di hadapannya, “Jarak dari sini ke kampus kan setengah jam, Mas!”
Wisnu mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding yang bertengger di dapur. Jarum panjang bahkan belum mencapai di angka 12.
“Belum loh, Ndu. Ganggu tidur orang aja!”
Setelah menenggak segelas air putih, Wisnu hendak kembali ke kamarnya. Dia lebih tertarik untuk melanjutkan mimpi indahnya barusan.
“Kalau macet? Kan nggak ada yang tahu kondisi jalanan.” Sewindu kembali menghadang langkah Wisnu.
Namun, pria itu sepertinya sangat teguh pendirian. Sebelah tangannya kembali menepis Sewindu yang menghalangi jalannya.
Setelahnya, terdengar suara pintu kamar yang kembali tertutup. Suara derit ranjang yang dinaiki oleh pemiliknya juga terdengar samar dari sana.
“Mas Wisnu!”
...****************...
Sekotak susu uht menjadi menu sarapannya di perjalanan. Sewindu meminumnya perlahan agar perutnya tetap kenyang, setidaknya sampai siang nanti.
Matanya melirik pada Wisnu yang berada di kursi pengemudi. Tepatnya, di depannya.
“Nanti turunin aku dipinggir jalan aja ya, Mas Nu,” katanya, masih sambil menggigit sedotan.
Wisnu melirik sinis dari spion. Raut kecut terus saja bertengger di sana sejak Sewindu duduk di kursi belakang.
“Memangnya, saya supir kamu?” ketus Wisnu. Sengaja kakinya menginjak rem dengan kasar saat lampu lalu lintas berubah merah.
Hal itu, membuat seorang gadis yang duduk di belakang sontak terbentur kursi di depannya. Menimbulkan suara renyah yang berhasil membuat Wisnu tersenyum tipis.
Sewindu hanya meringis kecil sambil mengusap keningnya. Matanya melirik Wisnu yang tengah membenahi kacamatanya.
“Pelan-pelan kali, Mas,” semburnya sinis dari balik tubuh Wisnu.
Mendengar protes Sewindu, Wisnu lantas menimpali, “Lagian, siapa suruh kamu duduk di belakang?”
"Oalah ... Jadi, kamu pengen aku duduk di sebelahmu gitu?" timpal Sewindu jahil.
Dari pantulan kaca spion itu, Wisnu dapat melihat Sewindu yang tersenyum dalam diam. Tatapan matanya berhasil membuat Wisnu merinding.
“Kamu suka sama aku ya, Mas?”
Lagi-lagi, pertanyaan menjengkelkan itu keluar dari mulut Sewindu. Jangan lupakan raut wajah yang mendukung pula.
Kini, gadis itu tampak seperti bocah tengil yang tengah menggoda Wisnu. Sedotan susu bahkan tidak lepas dari gigitannya.
“Bocah edan!” gumam Wisnu sambil kembali melajukan mobilnya.
...****************...
Benar saja, jalanan di depan kampus lebih padat daripada biasanya. Jajaran kendaraan berjalan sangat pelan di sana.
“Aku turun di sini aja deh, Mas. Udah dekat juga kok,” ucap Sewindu seraya membenahi tas ranselnya.
Wisnu menoleh sekilas. “Yakin kamu?”
Sewindu mengangguk, dia kini sudah mencondongkan tubuhnya di samping tubuh Wisnu. Tangan kanannya terulur pada pria di depannya.
Melihat itu, Wisnu merogoh dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan dari sana. Diberikannya uang itu begitu saja pada Sewindu.
Sementara itu, Sewindu menatap heran pada lembaran uang itu — meski dia juga langsung mengantonginya tanpa pikir panjang.
Wisnu menoleh. “Masih kurang?” tanyanya saat tangan Sewindu kembali terulur padanya.
“Salim!” timpal gadis itu, matanya sedikit melebar.
Wisnu mengabaikannya. “Nggak usah. Cepetan, masuk sana!”
Sewindu memincingkan matanya. Wisnu selalu menolak sejak pertemuan pertama mereka.
"Kata Ibu, pamit ke orang tua itu harus salim, Mas!"
Rentetan suara klakson di belakang mereka terdengar semakin padat. Mau tak mau, Wisnu harus tetap menjalankan mobilnya perlahan — meski Sewindu minta untuk turun di sana.
Tak menunggu lama lagi, Sewindu menarik tangan kiri Wisnu yang paling mudah digapai. Dia cium punggung tangan itu secepat kilat dan langsung melesak keluar dari dalam mobil yang masih berjalan pelan.
Wisnu yang masih terkejut itu membeku di tempatnya. Dia bahkan buru-buru menginjak rem saat Sewindu keluar begitu saja.
Dengan penuh kesadaran, dia mengusap punggung tangan kirinya pada kain celananya. Membersihkan jejak Sewindu dari sana.
“Edan!” umpatnya untuk kesekian kalinya pagi ini.
Sementara itu, Sewindu berlari sambil mengusap kening dan juga telapak tangannya yang menempel dengan tangan Wisnu tadi.
“Kalau bukan karena nurut sama Ibu, aku juga nggak mau!”
Tanpa dia tahu, ada sepasang mata yang memandangi punggungnya. Yang pasti, sepasang mata itu bukan milik Wisnu.