Sudah dua bulan sejak pernikahan kami. Dan selama itu, dia—lelaki itu—tak pernah sekalipun menyentuhku. Seolah aku tak pernah benar-benar ada di rumah ini. Aku tak tahu apa yang salah. Dia tak menjawab saat kutanya, tak menyentuh sarapan yang kubuat. Yang kutahu hanya satu—dia kosong dan Kesepian. Seperti gelas yang pecah dan tak pernah bisa utuh lagi. Nadira dijodohkan dengan Dewa Dirgantara, pria tiga puluh tahun, anak tunggal dari keluarga Dirgantara. Pernikahan mereka tak pernah dipaksakan. Tak ada penolakan. Namun diam-diam, Nadira menyadari ada sesuatu yang hilang dari dalam diri Dewa—sesuatu yang tak bisa ia lawan, dan tak bisa Nadira tembus. Sesuatu yang membuatnya tak pernah benar-benar hadir, bahkan ketika berdiri di hadapannya. Dan mungkin… itulah alasan mengapa Dewa tak pernah menyentuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon heyyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. Dewa, Aku Takut.
Dua hari sudah berlalu, kemarin Tante Melisa dan Om Daus sudah kembali ke rumah Dirgantara di kota sebelah. Dan sejak malam itu pula Dewa belum pulang ke rumah.
Biasanya walaupun tidak tidur di rumah, Dewa akan tetap pulang, entah itu hanya sekedar mandi dan berganti baju atau sekedar pulang mengambil laptop dan berkas lainnya untuk bekerja. Tapi hingga hari ini Dewa tidak pulang.
Aku tidak tau dia dimana, dengan siapa. Bagaimana keadaannya, aku benar benar tidak tau. Sempat ingin aku kirimkan sebuah pesan singkat yang menanyakan dimana dia dan apakah dia akan pulang malam ini, tapi lagi lagi aku menghapus semua teks yang sudah aku ketik di room chat Dewa.
Aku juga ingin menanyakan ke teman temannya, tapi aku tidak memiliki nomor ataupun sosial media mereka berdua.
Tiba tiba, hitungan detik semua listrik di rumah ini mati. Perlahan terdengar suara rintikan hujan dan angin yang bertiup kencang. Aku sendirian di rumah.
Duduk di atas sofa tidak berani bergerak. Sejujurnya aku sangat takut sendirian dan berada di kegelapan. Rumah ini terlalu besar dan disaat tidak ada listrik jadi sangat menakutkan. Suara sambaran kilat dan petir saling sahut menyahut, Cahaya dari kilat sempat masuk beberapa kali ke dalam rumah melalui celah celah tirai dan kaca jendela.
Gemetar, aku berusaha menelpon Dewa, tidak aku pedulikan lagi egoku pada saat itu. Aku berkali kali menghubunginya tapi tetap tidak ada jawaban. Aku,sangat takut.
Tidak lama suara pintu terbuka, ia masuk melangkahkan kakinya yang jenjang ke dalam rumah, melepas jas dan melemparkannya ke atas sofa. Aku segera berlari menghampirinya.
"Aku takut" suaraku getar, tanganku berusaha meraih tangannya. Hendak tersentuh olehku tapi dengan cepat ia menarik tangannya dan menatap ku dengan dingin diiringi suara petir dan kilat, dia menghindar. Berjalan menjauh. Seoalah aku bukan siapa siapa.
Aku pikir, jika aku sedikit sabar dan berusaha membuatku ada dihidupnya,segalanya akan membaik. Tapi ternyata, diamnya bukan berarti dia bingung.Sikap dinginnya bukan berarti dia ragu. Tapi karena dia memang tidak menganggap aku ada dirumah ini.
"Jika dari awal pernikahan ini tidak berarti bagimu. Kenapa kamu menyetujui perjodohan kita!" Seruku, suaraku pecah, tanganku mengepal disisi tubuh.Aku tidak bisa lagi menahannya.
Dia menoleh perlahan dengan wajah tenang, di kegelapan matanya terlihat lelah, bukan!, bukan lelah tapi matanya kosong,sedih aku tidak bisa mendeskripsikan tatapannya yang terlihat menyakitkan, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang sangat berat yang ia pikul dari tatapan itu.
"Aku tidak pernah menyetujui ataupun menolak perjodohan ini nadira" Suara beratnya, terdengar lelah.
"Kamu hidup di rumahku, makan di meja makanku, tidur di kamarku, bahkan aku memberikanmu uang dan kebebasan, apalagi yang kau inginkan" Seakan akan putus asa dia mengatakan itu dihadapanku dengan tenang. Ucapannya menjadi tamparan bagiku.
Lelaki ini, Aku tidak bisa mengatakan ia jahat, karena dia tidak pernah membentakku, melukaiku dan dia benar semua yang aku perlukan selalu ia cukupi, tapi hati ku dan diriku terluka di rumah ini. Sakit, entah dimana rasa sakit itu, sepertinya rasa sakit itu menguasai seluruh tubuhku,batinku,jiwaku.
Air mataku mengalir saat melihat ia berjalan menaiki anakkan tangga.Lagi lagi meninggalkan aku sendiri, Selalu begitu.
"Aku hanya ingin kau melihatku...Sedikit saja" lirih aku menunduk, membendung semua air mata.
ia berhenti dari langkahnya, dalam kegelapan dia tidak menoleh ke arah ku.
"Teruslah berharap"
Singkat ucapan dari mulutnya menusuk hatiku yang memang sudah retak dari awal pernikahan.
.hans bayar laki2 tmn SMA itu