Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DON MULAI LULUH?
Beberapa hari telah berlalu sejak Mateo mulai mengelola kafe milik Justin. Meski awalnya ia merasa canggung, kini pria itu mulai terbiasa dengan rutinitas barunya datang lebih pagi dari siapa pun, mengecek persediaan bahan, memastikan semuanya berjalan lancar, dan bahkan sesekali turun langsung melayani pelanggan.
Kafe itu tidak terlalu besar, tapi selalu ramai pengunjung karena suasana nyaman dan makanan yang enak. Mateo mulai merasa dirinya berarti kembali, walau dari dunia yang berbeda jauh dari keramaian bisnis dan ruang rapat mewah yang dulu ia kuasai.
Di sudut kafe, Livia sesekali datang membawakan bekal kecil atau hanya sekadar duduk mengawasinya sambil tersenyum. Melihat istrinya di sana tersenyum, sehat, dan perlahan mulai bahagia memberikan Mateo rasa damai yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Mateo merasa tidak perlu menjadi pria kaya dan berkuasa untuk merasa cukup.
Siang itu, kafe sedang sangat ramai. Mateo sibuk membantu dua karyawan lainnya menyiapkan pesanan pelanggan yang datang silih berganti. Meski kelelahan, ia tetap sigap dan profesional.
Saat mengantar salah satu pesanan ke meja pelanggan, langkahnya terhenti sesaat. Di depannya duduk seseorang yang paling tidak ingin ia temui yaitu Samuel.
"Terima kasih atas pesanannya. Selamat menikmati," ucap Mateo singkat, berusaha tetap tenang.
Samuel menatapnya dengan senyum menyebalkan. "Wah, ini benar-benar kau, Mateo? Jadi sekarang kau kerja di sini ya?" ujarnya dengan nada sarkastik, seolah menikmati pemandangan pria yang dulu ia anggap tinggi kini berdiri sebagai pelayan.
Mateo tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, menahan emosi yang perlahan naik ke dada. Ia sadar, Samuel sengaja memancingnya.
"Ada yang bisa saya tambahkan untuk Anda?" tanya Mateo datar, menjaga sikap profesional meski hatinya bergolak.
Samuel menyandarkan punggung ke kursi, memperhatikan Mateo dari ujung kepala hingga kaki. "Lucu juga melihatmu pakai celemek. Dulu kau bos besar, sekarang? Hanya pelayan di kafe kecil."
Mateo menghela napas pelan. "Lebih baik bekerja jujur, daripada hidup dengan menipu dan menjatuhkan orang lain."
Mata Samuel sedikit menyipit, tetapi ia masih tertawa kecil. "Santai, aku hanya bercanda. Eh, mana istrimu yang gendut itu? Dia kerja juga di sini?"
Mateo mengepalkan tangannya, namun tetap menahan diri. Ia menunduk sedikit. "Jika Anda tidak punya urusan lain, saya permisi."
Sebelum Mateo berbalik pergi, Samuel berseru lagi. "Sampaikan salamku pada Livia. Sungguh luar biasa dia bisa tahan hidup dengan pria gagal sepertimu."
Mateo hanya berjalan menjauh tanpa membalas. Tapi dalam hatinya, ia berjanji ini belum selesai. Ia akan membuktikan bahwa ia bisa bangkit… dan bahwa Samuel akan mendapat balasan yang pantas.
Mateo membanting nampan ke meja dapur dengan keras, membuat dua karyawan yang berada di sana terkejut dan langsung menoleh ke arahnya. Napasnya memburu, dadanya naik-turun menahan emosi yang hampir meledak.
Wajah Samuel, dengan senyum sinis dan kata-kata menghina, terus terbayang di kepalanya.
Ingin rasanya ia keluar dari dapur, menarik pria itu dari kursinya, dan menghajarnya habis-habisan. Andai saja tadi bukan di tempat umum, bukan di hadapan banyak orang, Samuel pasti sudah ambruk dengan darah di wajahnya.
"Mateo?" suara Justin terdengar dari pintu dapur, sedikit heran melihat sahabatnya berdiri tegang dengan tatapan tajam.
Mateo tak menjawab. Ia hanya menggeleng pelan, mencoba menenangkan diri. Tangannya masih mengepal.
"Dia datang ke sini untuk membuatmu meledak. Tapi kalau kau terpancing, kau akan kalah, bro," ucap Justin sambil menghampiri dan menepuk bahunya.
Mateo menatap Justin sejenak, lalu menghembuskan napas panjang. "Aku akan pastikan dia membayar semua ini. Tapi bukan dengan amarah. Aku akan bangkit, dan biar dia lihat sendiri."
Justin mengangguk, puas dengan tekad sahabatnya. "Itu baru Mateo Velasco yang aku kenal."
Malam harinya, Mateo pulang ke apartemen kecil mereka. Begitu pintu dibuka, aroma masakan langsung menyambutnya, menenangkan hatinya setelah hari yang berat.
Di dapur, Livia sedang sibuk menata makan malam di meja kecil mereka. Meski sederhana, semua tampak hangat dan tertata rapi.
"Selamat malam," ucap Mateo pelan, lalu mengecup lembut kepala Livia dari belakang.
Livia tersenyum, meski sedikit terkejut. "Selamat malam, kau sudah pulang."
Mateo meletakkan tasnya, lalu duduk di kursi menghadap Livia. Tatapannya hangat, berbeda dari pria yang dulu sering menyakiti dan bersikap dingin.
"Aku lapar. Masakanmu selalu jadi penenangku sekarang," ujar Mateo sambil memandang hidangan di meja.
Livia tertawa kecil, matanya berbinar. "Semoga enak. Aku coba resep baru hari ini."
Mateo hanya mengangguk, lalu menggenggam tangan istrinya sebentar. “Terima kasih, Liv. Untuk semuanya.”
Livia tak menjawab, hanya membalas genggaman itu dengan erat. Di balik segala luka masa lalu, ada harapan baru yang sedang tumbuh di antara mereka.
Mereka sedang menikmati makan malam sederhana bersama di meja kecil apartemen itu, suasananya hangat meski tanpa banyak kata. Tiba-tiba ponsel Mateo berdering, getarannya memenuhi ruangan sunyi. Di layar, terpampang jelas: Mama.
Mateo sekilas menatap layar, lalu tanpa ragu mematikan panggilan itu. Ia meletakkan kembali ponselnya di atas meja dengan wajah datar.
Livia meliriknya, ragu-ragu sebelum bertanya, “Kenapa tidak diangkat?”
Mateo menghela napas sebentar, lalu menjawab singkat, “Aku sedang malas menjawabnya.”
Nada suaranya tenang, tapi menyimpan luka. Ia kembali menyuap makanannya, berusaha terlihat biasa saja meskipun pikirannya jelas terganggu. Luka lama dari pertemuan terakhir dengan keluarganya terutama ucapan Don masih membekas dalam hatinya. Meski yang menelepon adalah Ariana, sang ibu yang selalu membelanya, Mateo belum sanggup menghadapi perasaan campur aduk yang berkecamuk dalam dirinya.
Livia tidak menekan lebih lanjut. Ia hanya memandangi suaminya sejenak, kemudian melanjutkan makannya dalam diam. Di dalam hatinya, ia tahu Mateo sedang terluka dan hanya waktu yang bisa melunakkan hatinya yang sedang membeku.
Sementara itu, di rumah keluarga Velasco, Ariana tampak gelisah. Sudah beberapa hari ini ia mencoba menghubungi Mateo, namun tak pernah mendapat jawaban. Kecemasannya semakin memuncak malam ini, membuatnya mondar-mandir di dalam kamar.
Don masuk ke kamar dan mendapati istrinya dengan raut wajah tak tenang. “Kenapa kau terlihat gelisah, Ariana?” tanyanya sambil membuka kancing kemejanya.
“Aku baru saja mencoba menelepon putramu, tapi lagi-lagi tak diangkat,” jawab Ariana, berjalan mendekat dan duduk di sisi tempat tidur.
Don hanya mendesah pelan, lalu berkata dengan nada datar, “Biarkan saja. Tidak perlu terus kau hubungi.”
Ariana memutar tubuhnya, menatap suaminya dengan sorot kecewa.
"Bagaimana bisa kau berkata seperti itu, Don? Dia putra kita! Kau lupa betapa bahagianya kau saat pertama kali menggendongnya?"
Don menghela napas panjang, lalu bersandar ke kepala tempat tidur. "Aku tidak lupa, Ari. Tapi aku juga tidak bisa melupakan bagaimana dia menghancurkan semua yang sudah susah payah kita bangun."
"Mateo memang salah, aku tidak menyangkal itu. Tapi apakah kau pikir dengan menjauhinya, dengan bersikap dingin padanya, akan membuat semuanya lebih baik?" suara Ariana mulai bergetar. "Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja."
Don terdiam, menatap langit-langit kamar mereka. Ada rasa bersalah di balik ketegasan wajahnya, tapi egonya terlalu tinggi untuk mengakuinya.
Ariana duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat. "Dia mungkin gagal, Don. Tapi dia masih anak kita. Dan dia sedang mencoba bangkit… walau tanpa bantuan siapa pun dari keluarganya sendiri."
Don tidak menjawab. Tapi genggamannya pada tangan Ariana perlahan mengerat. Diam-diam, hatinya mulai dilunakkan oleh kekhawatiran dan cinta seorang ibu yang tak pernah lelah memperjuangkan anaknya.
Tengah malam yang sunyi hanya diisi suara detak jam dinding dan hembusan angin dari sela-sela jendela. Don duduk seorang diri di ruang kerjanya, ruangan yang dulu selalu ia banggakan saat Mateo kecil sering berlari ke dalam, mengusik kesibukannya hanya untuk menunjukkan gambar atau mainan barunya.
Tangannya yang mulai menua bergetar pelan saat ia meraih bingkai foto yang tersimpan di sudut meja. Di dalam foto itu, seorang anak lelaki kecil dengan jas kebesaran dan senyum polos berdiri di sampingnya. Mateo kecil, dengan mata penuh mimpi dan kekaguman pada sang ayah.
“Aku mau seperti papa... punya uang banyak, punya perusahaan besar,” begitu kata Mateo saat foto itu diambil.
Don menatap foto itu dalam-dalam, dan saat memori itu perlahan kembali hadir di benaknya, sebuah titik air jatuh dari sudut matanya. Bukan hanya karena kerinduan, tetapi karena luka di hatinya yang semakin terasa dalam. Ia merasa gagal sebagai ayah. Bukan karena Mateo jatuh, tapi karena ia tak meraih tangan putranya saat terjatuh.
Tangisnya pelan, tertahan, seperti egonya yang selama ini juga menahan semua rasa. Tapi malam itu, di balik cahaya remang ruang kerja dan keheningan yang menyelimuti, Don membiarkan dirinya rapuh untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
“Maafkan papa, Nak...” bisiknya lirih, seolah berharap kata itu bisa sampai ke hati Mateo.
Keesokan paginya, tanpa memberitahu Ariana, Don memutuskan pergi sendiri ke apartemen yang ia pinjamkan pada Mateo.
Ia berdiri di depan gedung apartemen itu cukup lama, menatapnya dalam diam. Ada rasa asing sekaligus rindu saat mengingat bahwa di tempat inilah putranya kini memulai kembali dari awal.
Tak lama kemudian, matanya menangkap sosok Mateo yang keluar dari lobi gedung, menggandeng tangan Livia. Di punggungnya, tersampir tas kerja sederhana. Don memperhatikan dari kejauhan, diam-diam mengikuti pergerakan mereka.
"Aku berangkat kerja dulu. Tetap di rumah, dan kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku. Mengerti?" ucap Mateo lembut pada istrinya.
"Iya, iya, cepat pergi. Nanti kamu ketinggalan bus," sahut Livia sambil terkekeh kecil.
Mateo tersenyum, lalu menunduk dan mengecup singkat bibir Livia. Ia kemudian melangkah pergi dengan langkah ringan menuju halte bus.
Don menyaksikan semua itu dari seberang jalan. Ada sesuatu yang menghangat di dadanya. Perubahan sikap Mateo, perhatian tulusnya pada Livia… tak bisa dipungkiri, hatinya tersentuh.
Saat Livia hendak berbalik masuk kembali ke dalam gedung, Don akhirnya memberanikan diri memanggilnya.
"Livia," panggilnya pelan namun cukup jelas.
Livia menoleh dengan cepat, wajahnya menunjukkan keterkejutan saat mendapati pria yang berdiri di depannya.
“Tuan...” ucap Livia pelan, nyaris tak percaya.
“Bisakah kita bicara sebentar, Livia?” tanya Don dengan suara pelan namun penuh tekanan emosi yang tertahan.
“Tentu, Tuan. Mari kita naik ke atas,” jawab Livia sopan.
Beberapa menit kemudian, mereka telah tiba di apartemen kecil yang kini menjadi tempat tinggal Mateo dan Livia. Sebuah ruang sederhana, namun hangat dan bersih. Di sinilah Mateo memulai kembali hidupnya bersama wanita yang dulu ia abaikan.
Don berdiri sejenak di depan pintu, tampak diam dan sedikit bimbang. Matanya menyapu permukaan pintu kayu itu, seolah menyimpan banyak kenangan.
“Silakan masuk, Tuan,” ujar Livia pelan sambil membuka pintu.
Don mengangguk singkat dan melangkah masuk. Hening sejenak. Napasnya tertahan melihat interior apartemen yang dulu begitu dikenalnya. Tempat ini tidak banyak berubah sejak ia terakhir kali melihatnya hanya saja kini lebih bersih, lebih tertata, dan terasa... hidup.
Ia melangkah lebih dalam, matanya menyapu seluruh ruangan. Dalam diam, ia mengingat kembali masa-masa saat ia dan Ariana dulu sama-sama membangun mimpi dari ruang sempit ini.
Kini anaknya berdiri di posisi yang sama memulai dari nol.
Livia meletakkan secangkir kopi hangat di depan Don. Aroma kopi menyebar pelan di udara. Pria tua itu menyentuh cangkirnya, seolah mencoba menghangatkan jari-jarinya yang dingin oleh waktu dan jarak. Mereka duduk berhadapan di meja makan kecil yang sederhana, tapi penuh makna.
“Bagaimana kabar kalian berdua, Livia?” tanya Don akhirnya, suaranya rendah dan hati-hati.
“Kami baik, Tuan. Mateo juga semakin membaik,” jawab Livia sambil tersenyum lembut. Suaranya penuh ketulusan, tak ada sedikit pun keluhan, meski hidup kini jauh dari kemewahan.
Don mengangguk pelan, lalu mengalihkan pandangan ke jendela.
“Mateo… ke mana dia tadi barusan?”
“Mateo bekerja, Tuan. Di kafe milik Justin,” jawab Livia.
Don mendongak, sedikit terkejut. “Justin…?”
“Iya, Justin menawarinya pekerjaan beberapa hari lalu. Mateo mengelola kafe itu sekarang,” sambung Livia dengan senyum bangga di wajahnya. “Ia berusaha keras, Tuan. Setiap hari bangun pagi, dan pulang malam.”
Don diam. Ada rasa yang tak bisa ia jelaskan. Antara bangga, haru, dan juga sesal yang masih membekas.
Mata Don tertuju pada secangkir kopi yang perlahan mulai mendingin. Hening menyelimuti ruangan kecil itu beberapa saat, hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar.
“Dulu…” gumam Don akhirnya, suaranya berat, “…aku juga memulai semuanya dari tempat ini.”
Livia menatap pria tua itu penuh perhatian, menunggu kelanjutannya.
“Apartemen ini… jadi saksi pertama kali aku dan Ariana membangun hidup. Kami tidak punya apa-apa waktu itu, hanya semangat dan harapan. Tapi lihatlah sekarang… aku hampir menghancurkan semua, bahkan hampir kehilangan anakku sendiri…”
Suara Don bergetar di akhir kalimatnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya.
“Maafkan aku, Livia,” ucapnya tulus. “Maaf karena telah mengusirmu dan Mateo, dan telah memperlakukan kalian berdua dengan tidak adil. Aku terlalu keras kepala dan buta oleh gengsi.”
Livia terdiam. Kata-kata itu tak pernah ia duga akan keluar dari mulut seorang Don, ayah Mateo yang selama ini terlihat dingin dan penuh wibawa.
“Saya tidak menyimpan dendam, Tuan,” jawab Livia lembut.
Don menatap Livia lekat-lekat. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar melihat menantu perempuannya. Bukan sebagai gadis gemuk yang dulu dianggap tak pantas, melainkan sebagai sosok yang kuat, setia, dan mencintai Mateo dengan tulus.
“Terima kasih,” ucap Don akhirnya, dengan suara tulus dan mata yang mulai berkaca-kaca. “Terima kasih karena tidak pernah menyerah padanya… bahkan ketika aku sendiri hampir menyerah sebagai ayah.”
Livia hanya tersenyum, menunduk dengan mata yang juga mulai basah. Tak perlu kata-kata lebih, karena keikhlasan dan penerimaan telah berbicara dengan sendirinya di antara dua hati yang terluka dan kini perlahan mulai pulih.
semamgat bangkit mateo dan buka mata siapa dalang di balik semua ini
lanjut kka.. semangat
bangkit dan berfikir pintar dong CEO mateo..
lemot kak CEO nya..
lanjut kak..
😁🙏
atau apakah tak akan ada kebahagiaan untuk livia sampai akhir..
sampai ikut lelah/Frown/