Naila baru saja turun dari bus dari luar pulau. Ia nekat meninggalkan keluarga karena demi menggapai cita-cita yang terhalang biaya. Naila lulus jalur undangan di sebuah kampus negeri yang berada di ibu kota. Namun, orang tuanya tidak memiliki biaya hingga melarangnya untuk melanjutkan pendidikannya hingga memaksanya menikah dengan putra dari tuan tanah di kampung tempat ia berasal.
Dengan modal nekat, ia memaksakan diri kabur dari perjodohan yang tak diinginkan demi mengejar mimpi. Namun, akhirnya ia sadar, biaya perguruan tinggi tidak bisa dibayar hanya dengan modal tekad.
Suatu saat Naila mencari pekerjaan, bertemu dengan balita yang keluar dari pekarangan tanpa penjagaan. Kejadian tak terduga membuat ia bekerja sebagai pengasuh bagi dokter tampan yang ditinggal mati oleh istri yang dicintainya.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Kekecewaan Martin
Naila menghela napas. "Mereka bukan anakku, Wa. Aku cuma... apa ya, aku bekerja sebagai pengasuh alias babysitter gitu. Jadi, mereka nempel banget sama aku."
Azwa mendekat dramatis, jongkok di depan Naila. "Tapi kenapa mereka manggil kamu Mama, lho? Aku aja belum pernah dipanggil Mama, padahal punya banyak ponakan!"
Naila mengerang kecil, menutup wajahnya dengan bantal. "Duh, gimana ya ... Hmmm ... Itu panjang ceritanya..."
Azwa bangkit lagi, berpose ala detektif. "Baiklah. Kita mulai investigasi. Fakta pertama: kamu tinggal di rumah gede banget. Fakta kedua: kamu punya dua bocil yang nempel kayak lem. Fakta ketiga: aku lihat ada orang mencurigakan tadi ngikutin kamu dari seberang jalan!"
Naila kaget. "Kamu beneran melihat orang yang ngikutin aku? Aku pikir hanya perasaanku saja. Atau mungkin, itu kamu yang ngikutin aku.
Azwa mengangguk serius. "Tentu saja. Insting jurnalis kampus nggak mungkin salah. Mereka itu kayak... agen rahasia yang gagal blending!"
Naila menelan ludah. "Ah, ini makin aneh. Kira-kira siapa yang melakukan ini ya?"
Azwa tiba-tiba merentangkan tangan ke udara, drama maksimal. "Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, saya rasa sahabat saya ini sedang masuk ke dalam dunia penuh rahasia, cinta terlarang, dan mungkin—persekongkolan antarplanet!"
Naila menahan tawa setengah mati. "Wa, jangan bercanda lagi. Ini bukan drama Korea," sahut Naila lemas.
Azwa berbisik serius, "Siapa tahu, ada sesuatu yang lebih serius, Nai. Atau mungkin kasus pem bu nu han yang melibatkan kamu?"
Namun, sebelum Azwa bisa menyelidiki lebih jauh, suara bel terdengar keras. Naila terkejut, matanya langsung terbuka lebar.
"Mas Martin," gumamnya saat melihat waktu yang menunjukkan jam kepulangan Martin seperti biasa.
Bi Rum berbegas membukakan pintu. Sedangkan Naila bergerak cepat mengunci pintu kamar agar Azwa tidak mengintip keluar.
"Kamu kenapa sih, Nai?" Kelakuan Naila malah makin membuat Azwa semakin penasaran.
"Papa pulang, ayo Dek, papa pulang." Rindu menggandeng Reivan untuk keluar menyambut kedatangan Martin.
Namun, Naila berdiri menjaga pintu. "Nanti ya Sayang. Main di sini dulu bareng Mama dan Tante Azwa di sini," bujuk Naila. Perasaan cemas yang baru kini melanda Naila.
'Apa yang harus aku katakan kalau Azwa tahu tentang pernikahan kami? Azwa ini bener-bener merepotkan.'
Sementara itu, di luar kamar, Martin tak melihat anak-anak bermain di luar. Ia mendengar jelas suara anak-anak yang berada di dalam kamar.
Tanpa pikir panjang, ia segera menuju kamar anak-anaknya. Saat gagang ditarik, ternyata pintu dikunci dari dalam.
Tok
Tok
Tok
"Nai, kamu ada di dalam? Udah pulang ya? Anak-anak kita lagi bersamamu ya?"
Azwa kembali melongo menatap Naila dengan penuh tanda tanya. "Anak kita? Di luar itu siapa? Suami kamu?"
"Ah, eh ..." Naila menggaruk pelipis mencoba mencari alasan yang baru. "Bu-bukan ... Ini maksudnya—"
Tok
Tok
Tok
Karena tak kunjung mendapat jawaban, Martin kembali mengetuk pintu. "Nai, kamu lagi apa? Jangan bilang buru-buru mencari kerudung lagi? Sudah berkali-kali aku katakan bahwa aku ini su—"
Naila buru-buru membukakan pintu takut Martin menyelesaikan ucapannya. Martin memasang wajah heran merasa sikap Naila sedikit aneh.
"Kenapa dikunci segala? Kamu takut aku masuk sembarangan kayak tadi malam?" suara Martin yang berat dan sedikit menggelegar terdengar di ambang pintu.
"Aku rasa, tak akan ada yang marah jika aku keluar masuk kamar ini. Ini kamar ki—"
Naila refleks menutup mulut Martin dengan kedua tangannya. "I-iya, Pak," sela Naila.
"Pak?" Martin mengulang dengan penekanan.
Naila terdiam sejenak, matanya melirik ke Azwa yang kini tampak semakin bingung. Martin berdiri di ambang pintu, memperhatikan suasana dengan penuh tanda tanya. Naila menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.
"Enggak, Pak. Aku kebetulan sedang ngobrol," jawab Naila tersenyum kikuk, berusaha terdengar se-normal mungkin.
Martin mengangkat alis, ragu dengan jawaban itu. "Ngobrol? Sama siapa? Kenapa di kamar kita?"
Azwa, yang sejak tadi berdiri di balik pintu, langsung melompat, mengangkat tangan dengan ekspresi dramatis. "Saya! Saya Azwa! Sahabat Naila!" serunya dengan suara tinggi.
Lagi, Azwa melongo melihat siapa yang dipanggil dengan 'Pak.' "Bukan kah ini su-sup—" Kali ini Naila membekap mulut Azwa dengan cepat. Mata gadis lincah itu melotot meminta jawaban kepada Naila.
Martin memperhatikan dua gadis yang masih bertumbuh ini. "Kamu temennya Naila?"
"I-iya, Om," jawab Azwa melirik Naila dan Martin bergantian. "Kebetulan saya lagi mampir ke sini buat ngobrol-ngobrol ringan."
Martin menatap Azwa dengan ekspresi datar. "Hm." Dia melangkah masuk dengan sikap tenang, mengamil sesuatu di atas nakas.
"Kebetulan kacamata bacaku tertinggal di sini. Nanti, ajak Azwa minum teh atau mungkin juss di taman. Bawa sekalian anak-anak main di luar. Kasihan mereka dikurung begini," ucapnya dan keluar lagi melewati kedua gadis yang berdiri di ambang pintu.
"Ah, apa kamu ingat? Sepertinya kamu harus pergi," ujar Naila buru-buru merangkul lengan Naila.
"Tapi aku mau minum juga—" Azwa masih memasang wajah penasaran.
"Tadi aku denger kamu tadi ada janji sama teman-teman, kan? Masa kamu lupa sih?" Naila menarik melotot pada Azwa.
Azwa yang sempat terdiam mendapati raut wajah Naila yang serius, akhirnya mengalah. "Oh, iya, temen yang lain pasti sudah menungguku. Tapi, kamu harus menceritakan semuanya padaku. Jangan ada dusta di antara kita," ucapnya dengan cengiran nakal.
Naila segera menuntun Azwa menuju pintu gerbang menghindari pembicaraan lebih lanjut. Martin hanya mengamati dari belakang, memasang senyuman kecil tingkah gadis remaja itu.
Saat Azwa akhirnya melangkah keluar, Naila menutup pintu gerbang perlahan melambaikan tangan. Tanpa memedulikan gerakan-gerakan aneh Azwa yang meminta penjelasan lebih lanjut.
Akhirnya, Naila memutar badan menghadap Martin kembali tersenyum kikuk.
"Kenapa kamu gak bilang bahwa teman kamu akan datang? Makanya, aku langsung cari aja ke kamar," kata Martin dengan suara lebih lembut.
Naila mengalihkan pandangannya, cemas. "Aku gak tau, Mas. Tiba-tiba dia udah ada aja di sini. Ternyata, Azwa diam-diam mengikutiku," jawabnya cepat.
Martin mendekat, sorot matanya tajam. "Dia tahu soal kita?"
Naila menelan ludah. "Belum!"
Martin terdiam. Tatapannya menusuk, namun ada kecewa samar di sana.
"Sepertinya kamu memang tak pernah menganggap aku sebagai suamimu."
"Mas, kita udah sepakat..." potong Naila cepat.
"Tapi bahkan pada sahabatmu sendiri, kamu tak mengakuiku." Martin berbalik, melangkah pergi.
Naila berdiri diam, perasaannya campur aduk. Rahasia yang mereka simpan mulai terasa seperti bom waktu.