Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 27
Paginya kali ini terasa berbeda. Meja makan yang biasa penuh kehangatan dari obrolan-obrolan ringan dan tawa receh abangnya, kini hanya meninggalkan jejak samar yang terasa dingin menyapa kalbunya. Tak ada denting sendok dan perdebatan kecil tentang menu makan malam. Yang ada hanya helaan napas beratnya yang terembus berkali-kali dan terdengar putus asa.
Naren menjatuhkan pandangan ke piring. Nasi bertabur tumis brokoli dan telur tomat yang terhidang di sana sudah lama dingin. Perutnya keroncongan, tetapi dia sama sekali tidak berselera makan.
“Aden nggak suka lauknya? Mau Teteh masakin yang lain?” Suara Teh Hayati muncul dari arah depan.
Kepalanya menggeleng lemah. Subuh tadi sewaktu mengantar ayah dan abangnya ke airport, tenaganya bagai dikuras habis demi berlagak baik-baik saja. Jadi sekarang dia betulan merasa tak berdaya.
Piring didorong menjauh, hanya agar bisa menggolekkan kepala di atas meja. Matanya menatap sendu Teh Hayati yang berdiri di dekat kursi yang biasa ayahnya duduki. Perempuan itu tampak khawatir, tetapi juga bingung di saat yang bersamaan.
“Teh,” panggilnya. Suaranya yang terlampau lemah terdengar mengiris. Seperti sebuah tatapan anak malang di tengah malam yang sunyi.
“Kenapa, Aden? Aden butuh sesuatu?” tanya perempuan berusia pertengahan 30-an itu.
“Teteh pernah merasa sedih banget nggak sih waktu harus pisah sama Mbok Minah?”
Teh Hayati menarik napas panjang, mengembuskannya dengan berat. “Pernah atuh. Dulu kan Teteh ditinggal sendirian di kampung, dari Teteh masih balita sampai kelas 3 SMP.” Bokongnya mendarat di kursi sehabis itu. Kedua lengannya terlipat di atas meja. Menatap lekat-lekat wajah si bontot. "Aden udah kangen ya sama Bapak sama Den Mahen?”
Naren mengangguk kecil dengan kepalanya yang masih tergolek. “Rasanya hampa, Teh. Kayak ada yang diambil dari sini,” adunya seraya menunjuk dadanya sendiri. Di sana terasa kosong. Detaknya pun hampir samar, nyaris tak terasa sama sekali.
Teh Minah mengangguk paham. Dirinya sudah bekerja dengan keluarga ini untuk waktu yang cukup lama, sejak baru lulus SMA. Jadi, hampir tidak ada sekat antara dirinya dengan si bungsu. Bisa dibilang, dia turut membesarkan anak itu, menyaksikan tumbuh kembangnya. Makanya, tidak ada keraguan atau rasa sungkan ketika tangannya terulur membelai lembut kepala Naren.
“Teteh paham kok perasaan Aden. Walaupun Bapak sama Den Mahen perginya cuma sebentar, perasaan sedih Aden ini valid. Nggak apa-apa loh kalau Aden mau nangis. Janji deh, Teteh nggak akan ngadu,” ujar perempuan itu sambil tersenyum lembut.
Naren mencebik. “Bohong ah, Teteh kan cs-nya Bang Mahen. Nggak mungkin enggak cepu.”
Tawa halus Teh Hayati mengudara. Bahunya bergetar, kerutan samar muncul di sudut-sudut matanya. “Teteh cuma cepu ke Den Mahen kalau situasinya gawat doang, tahu. Misalnya kalau Aden sakit pas Den Mahen lagi nggak di rumah, atau kalau Aden luka-luka karena jatuh dari pohon mangga Pak RT pas lagi maling sama bocah-bocah kompleks sebelah. Kalau yang sedih-sedih begini, Teteh nggak akan lemes.”
“Teteh ih! Jangan diungkit lagi yang soal maling mangga! Itu kan udah lama!” Naren protes. Kepalanya terangkat dari meja. Mendadak mendapat suntikan energi dari mana. “Malu tahu,” imbuhnya.
Teh Hayati tergelak. “Oh, ya? Udah lama, ya? Perasaan Teteh baru kemarin. Ternyata udah bertahun-tahun yang lalu, ya.”
Ada sedikit kesedihan dari nada suaranya. Sekadar menyayangkan waktu yang terlalu cepat berlalu hingga si kecil menggemaskan yang dulu sering merengek minta gendong ini sudah tumbuh besar menjadi remaja tampan--dan kesepian.
“Iya, udah bertahun-tahun lalu,” sahut Naren. Nada suaranya berangsur kembali normal. “Waktu emang cepat banget berlalu ya, Teh.”
Hanya senyum lembut yang menjadi tanggapan atas pernyataan tersebut. Selanjutnya, Naren kembali merasakan kepalanya diusap penuh kasih.
“Udah waktunya berangkat,” kata perempuan itu. Pipi gembil Naren dicubit gemas sebelum bokongnya diangkat dari kursi. “Siap-siap gih, Teteh panggangin roti dulu sebentar buat nanti dimakan di mobil.”
Naren hanya mengangguk. Membiarkan Teh Hayati pergi ke counter untuk menyiapkan roti panggang.
Selagi menunggu, dia menggolekkan lagi kepalanya di meja makan. Matanya perlahan terpejam. Sambil berharap sewaktu terbuka nanti, abang dan ayahnya sudah pulang.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
...
Tuh, kan, benar. Memang ada yang tidak beres dengan Narendra, baik itu kemarin ataupun hari ini. Eric yakin anak itu memang ketempelan. Karena tidak mungkin ada orang normal yang mood-nya berubah-ubah seekstrem ini.
Sedari tiba di kampus, Naren sudah bermuram durja. Eric tak menemukan ketantruman anak itu menghadapi si macan, malah menyaksikan langkahnya yang terayun gontai bagai sudah seminggu tak diberi makan. Sepanjang kelas pun Naren tidak banyak bicara. Pandangannya sih lurus ke layar proyektor, seperti anak teladan yang khidmat mengikuti kelas agar mendapat nilai sempurna di setiap ujian tetapi, Eric tahu jiwa anak itu sedang melayang entah ke mana.
Eric bertopang kepala ketika dosen pamit keluar kelas. Diperhatikannya saksama punggung Naren yang seketika menggolekkan kepala di meja bagai tak punya lagi semangat hidup.
“Met,” Anak itu bersuara pelan.
“Apa?” jawab Eric cepat.
“Nginep di rumah Met, seminggu. Gue sendirian di rumah,” pinta anak itu.
Alis Eric terangkat begitu tinggi. “Ayah Janu sama Bang Mahen pergi ke mana?” tanyanya penasaran. Kejadian langka, man. Biasanya ayah dan abangnya Naren tidak pernah pergi dalam waktu bersamaan. Mereka mana tega meninggalkan si bontot yang aleman ini.
Pantas saja sekarang wajah Naren begitu muram.
Naren menolehkan kepala yang masih tergolek di meja, tatapannya sendu. “Ayah ke Bali, Bang Mahen sama temen-temennya ke Raja Ampat.” Dia menjawab lesu.
“Kok lo nggak tantrum?” tanyanya heran. Padahal tidak kaget kalau Naren tiba-tiba ngereog supaya salah satu di antara abang atau ayahnya tidak jadi pergi.
Helaan napasnya pun terdengar lemah dan putus asa. “Nggak tega,” ungkapnya. “Ayah ke Bali buat urusan bisnis, jadi nggak mungkin dicancel sesuka hati. Bang Mahen juga udah lama banget rencanain liburan ini, gue nggak tega buat recokin.”
Eric merasa prihatin, tapi di satu sisi juga bangga pada keputusan Naren kali ini. Jadi dia berhenti bertopang kepala, hanya untuk bisa mengusap-usap kepala Naren lembut sebagai bentuk apresiasi.
“Keren nih temen gue, udah dewasa,” pujinya.
“Tapi gue jadinya sendirian,” rengek Naren lagi.
Eric manggut-manggut. “Nggak sendirian, kan ada gue. Nanti gue temenin sampai Ayah Janu pulang." Sambil kembali diusap-usapnya kepala Naren seperti seorang abang yang hendak menunjukkan kasih sayang kepada adiknya.
Naren tak menjawab. Mata anak itu malah terpejam dan Eric tak berniat mengusiknya. Dia hanya terus mengusap kepala Naren.
Berharap kesedihan Naren sedikit mereda walaupun kesepian di hatinya tak akan serta-merta sirna.
Bersambung....