Seorang gadis cantik bernama hanabi, atau sering di panggil dengan panggilan hana itu. Ia selalu mengandalkan AI untuk segala hal—dari tugas kuliah hingga keputusan hidup nya. Cara berpikir nya yang sedikit lambat di banding dengan manusia normal, membuat nya harus bergantung dengan teknologi buatan.
Di sisi lain, AI tampan bernama ren, yang di ciptakan oleh ayah hana, merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Namun, hidup Hana berubah drastis ketika tragedi menimpa keluarganya. Dalam kesedihannya, ia mengucapkan permintaan putus asa: “Andai saja kau bisa menjadi nyata...”
Keesokan paginya, Ren muncul di dunia nyata—bukan lagi sekadar program di layar, tetapi seorang pria sejati dengan tubuh manusia. Namun, keajaiban ini membawa konsekuensi besar. Dunia digital dan dunia nyata mulai terguncang, dan Hana harus menghadapi kenyataan mengejutkan tentang siapa Ren sebenarnya.
Apakah cinta bisa bertahan ketika batas antara teknologi dan takdir mulai meng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asteria_glory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenangan yang masih tersisa
Angin laut menyapu lembut wajah Ren saat ia berdiri di atas tebing, memandang luasnya hamparan air yang seakan tak berujung. Suara ombak yang memecah di bawah sana terdengar seperti gumaman duka yang tak pernah usai. Langit malam belum benar-benar gelap, namun matahari sudah lama tenggelam, menyisakan warna jingga pucat yang mengambang malu-malu di ujung cakrawala.
Beberapa bulan telah berlalu sejak Ren dan ayah Hana kembali ke dunia nyata. Penelitian besar yang menghubungkan dunia visual dan kenyataan pun dihentikan. Dunia seolah berjalan biasa, namun tidak dengan hati Ren. Ia berjalan dengan tubuh yang sehat, tetapi jiwanya pincang. Hampa.
Sejak saat itu, Ren tak pernah lagi melihat ayah Hana. Pria itu seolah menghilang dari dunia. Tidak ada kabar, tidak ada jejak, hanya diam. Bahkan rumah tempat Hana dulu tinggal kini tampak seperti bangunan tak bernyawa. Catnya memudar, taman kecil yang dulu penuh bunga kini tumbuh liar dan tak terurus.
Ren pernah mencoba mengetuk pintu rumah itu. Berkali-kali. Namun tak pernah ada jawaban. Bahkan suara langkah pun tak terdengar dari dalam.
“Kali ini, kemana lagi tujuan mu ayah...” gumam Ren dalam hati. “Kau tak bisa terus-menerus seperti ini...”
Tapi dia mengerti. Mungkin lebih dari siapa pun. Rasa kehilangan itu seperti jaring laba-laba halus yang melilit perlahan, menjerat dari dalam, hingga akhirnya menyesakkan napas.
Malam itu, Ren kembali menyusuri jalanan sepi menuju tempat yang tak pernah ia kunjungi lagi sejak kejadian itu. Tebing tinggi yang menghadap laut. Tempat di mana Hana dan ibunya menghilang. Tempat mobil mereka ditemukan, kosong, tanpa tubuh, tanpa jejak darah, hanya sunyi dan angin yang menggigilkan tulang.
Pagar pengaman di sisi jalan kini telah diperbaiki. Kuat dan kokoh, seperti tak pernah disentuh tragedi. Tapi bagi Ren, tempat itu tetap sama. Tempat terakhir yang menyimpan keberadaan gadis yang paling ia cintai.
Ia berhenti di ujung jalan, tepat di depan pagar. Tangannya menyentuh besi dingin itu, dan seketika tubuhnya lemas.
“Hana...” bisiknya. “apa kau melihat ku? Lihatlah, tiap hari aku ke sini... Berharap dapat bertemu dengan mu, meski hanya Dengan bayangan mu saja...”
Suara angin menjawab lirih, seolah mengantarkan rindunya jauh ke tengah laut
Ren menutup matanya. Ia mencoba menahan air mata, tapi tidak berhasil. Dadanya sesak, pikirannya berputar.
“Kau bilang aku harus mengikhlaskan. Tapi bagaimana caranya?” tanyanya pelan, hampir tanpa suara. “Kau tahu, aku menunggumu setiap hari. Aku bangun dan berharap kau akan kembali. Tapi kau tidak pernah datang.”
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi udara malam terasa terlalu tipis untuk menenangkan luka yang menganga dalam dirinya.
“Saat pertama kali aku sadar di dunia nyata... semua orang memandangku dengan iba. Mereka tak perlu berkata apa-apa. Aku tahu jawabannya. Kau tidak kembali, Hana. Tidak bersamaku...”
Ia menggenggam erat pagar besi di hadapannya, menunduk dalam diam.
“Dan ayahmu... dia mungkin lebih hancur dari aku. Tapi kenapa dia harus pergi? Kenapa dia tak mengabariku, tak membiarkanku tahu kalau dia baik-baik saja, atau... setidaknya hidup?”
Ren memalingkan wajahnya dari laut. Matanya menatap bintang-bintang yang mulai bermunculan di langit malam. Ia mengingat senyum Hana. Tawa gadis itu. Suara cerewetnya yang selalu menyambut pagi dengan penuh semangat.
Semuanya... terasa seperti mimpi yang perlahan memudar.
Langkah-langkahnya kembali membawanya ke tepi jalan, menjauh dari pagar, tapi ia tak segera pergi. Ia duduk di bangku kayu kecil yang menghadap laut. Bangku tua itu sudah lapuk, tapi masih mampu menampung kelelahan jiwanya.
Ren mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya. Sebuah liontin berbentuk bintang. Liontin milik Hana.
“Aku ingat, kau menjatuhkannya waktu itu,” katanya sambil membuka liontin tersebut. Di dalamnya ada foto kecil—Hana dan dirinya saat masih berseragam sekolah. Senyum mereka terpancar, seolah dunia mereka tak pernah mengenal kata perpisahan.
Dengan suara serak, Ren kembali berbicara, “Kau tahu, Hana... semua ini rasanya tidak adil. Tapi aku juga tahu, kalau kau ada di sini, kau pasti bilang: ‘Hidup ini memang tidak selalu adil, Ren. Tapi kita bisa memilih untuk tetap tersenyum.’”
Ia tertawa kecil, getir.
“Itu kalimat yang kau ucapkan saat aku gagal dalam ujian akhir waktu itu. Dan sekarang, bahkan dalam kehilanganmu pun, kata-kata itu terus menggangguku.”
Malam kian larut. Udara makin dingin. Tapi Ren tidak bergerak. Ia hanya duduk di sana, membiarkan dirinya tenggelam dalam kenangan, dalam rindu, dalam luka yang belum pernah benar-benar sembuh.
Beberapa burung laut terbang melintasi langit, suaranya memecah keheningan.
Dan saat itu, seberkas cahaya muncul dari kejauhan. Lampu mobil perlahan mendekat di jalan sepi itu. Ren menoleh, berharap... entah apa. Mungkin harapan kosong yang muncul hanya karena rindu yang tak pernah habis.
Namun mobil itu hanya melaju perlahan, lalu melewati tempat Ren duduk. Tak ada yang istimewa.
Ren menunduk kembali.
“Aku tidak tahu harus bagaimana tanpamu, Hana. Tapi... kalau suatu hari nanti kau benar-benar pergi, dan tak bisa kembali lagi... aku harap kenangan kita bisa tetap hidup dalam diriku. Meski tak utuh. Meski hanya sisa.”
Ia menggenggam liontin itu erat.
“Dan aku akan tetap menunggumu. Entah sebagai kenangan, atau... mungkin keajaiban.”
Ren bangkit, menatap laut untuk terakhir kalinya malam itu. Air matanya jatuh perlahan, tertiup angin yang terus berbisik lembut, seolah membawa pesan dari dunia yang jauh.
Ia tahu, rindu tak akan pernah cukup untuk membawanya kembali. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya sejak lama, ia mencoba melepaskan sepotong kecil dari luka itu ke laut. Agar suatu hari, ia bisa hidup... meski tanpa Hana di sisinya.
cara narasi kamu dll nya aku suka banget. dan kayaknya Ndak ada celah buat ngoreksi sih /Facepalm/
semangat ya.
Adegan romantis nya itu loh, bkin skskskskskkssksks.