NovelToon NovelToon
Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Pengasuh / Pengawal / Putri asli/palsu
Popularitas:7k
Nilai: 5
Nama Author: Wahyu Kusuma

Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.

Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29 Berkunjung Ke Kebun

Akhirnya, kesalahpahaman yang sempat menegang itu dapat terselesaikan dengan damai, walaupun Olivia harus pergi dengan wajah yang merah padam karena rasa malu yang menghimpit. Namun yang terpenting—tidak ada yang benar-benar tersakiti, dan Clara baik-baik saja.

Melihat wajah putrinya yang menahan nyeri karena sepatu yang kekecilan, Astalfo pun lekas mendekat dan menyuruhnya melepaskan sepatu itu.

"Sudah, Clara. Lepas saja. Ayah tidak ingin kau tersiksa hanya karena hadiah lama."

Clara mengangguk pelan, lalu duduk dan mulai melepas sepatu itu. Di saat yang sama, tanpa ia sadari, Astalfo kembali dengan senyum lebar dan sepasang sepatu baru di tangannya. Warna ungu muda yang lembut memantulkan cahaya mentari yang menerobos kaca jendela.

ata Astalfo sambil menyerahkan sepatu itu. "Ini hadiah baru untukmu, Clara. Aku pesan khusus, ukurannya pas dengan kakimu."

Clara menatap sepatunya, lalu menatap ayahnya—matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Ayah... Aku sangat suka!" serunya ceria, seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan impiannya.

Ia segera mengenakan sepatu itu. Rasanya lembut, empuk, dan pas di kaki. Berbeda jauh dengan sepatu sebelumnya yang sempit dan menyakitkan, kini Clara bisa menggerakkan kakinya dengan bebas dan nyaman.

Clara berdiri dan mulai melangkah pelan. Langkah-langkahnya ringan dan elegan, seolah-olah sepatu itu memang dirancang untuknya. Senyuman manis terukir di wajahnya, menyebarkan aura bahagia ke seluruh ruangan. Rambutnya berayun lembut, mata berbinar, dan tawa kecilnya menyebar seperti cahaya musim semi.

Semua orang yang menyaksikan momen itu ikut merasakan kehangatan di dalam hati mereka. Herald hanya bisa tersenyum kecil dari sudut ruangan, merasa lega melihat Clara kembali ceria.

Beberapa menit berlalu...

Kini Clara dan Herald sudah berada di luar mansion. Udara sejuk menyapa wajah mereka, disertai semilir angin lembut yang membawa aroma dedaunan dan bunga dari taman. Setelah berpamitan dengan Astalfo dan yang lain, mereka kembali melanjutkan rutinitas mereka: berjalan-jalan di sekitar halaman istana.

Namun, pikiran Herald tidak sepenuhnya berada di sini.

Wajahnya tenang, tapi pikirannya sibuk menelaah sesuatu yang terus mengganjal sejak kejadian tadi. Tentang Olivia.

Kenapa dia bisa ada di depan kamar Clara...? pikir Herald dalam diam. Bukankah dia sendiri punya hubungan yang tidak baik dengan Clara? Bahkan, dia sampai pindah dari rumah utama. Lalu... kenapa sekarang muncul tiba-tiba, dan seolah-olah sedang menunggu momen untuk menyerang?

Meskipun belum memiliki bukti pasti, intuisi Herald mengatakan bahwa ada maksud tersembunyi di balik semua itu.

Mungkin dia sedang mencari-cari kesalahan Clara... agar bisa membully-nya lagi. Kalau begitu, aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.

Itu adalah tugasnya. Melindungi Clara, apa pun yang terjadi.

Tiba-tiba lamunan Herald buyar ketika Clara melambaikan tongkatnya sambil memanggil, "Herald, Herald..."

Herald tersentak pelan, lalu menoleh. "I-iya? Ada apa, Clara?"

Clara mengerucutkan bibir, seolah sedang merajuk. "Dari tadi kamu diam terus. Aku jadi bosan. Kamu lagi mikirin apa sih? Ada masalah, ya?"

Herald terdiam sejenak. Ia tidak ingin membuat Clara khawatir. Masalah ini belum jelas, dan sampai dia tahu lebih jauh, dia lebih memilih untuk menyimpannya sendiri.

"Aku cuma... melamun sedikit. Tidak ada yang penting. Ngomong-ngomong, bukankah kamu bilang tadi pagi ingin ke kebun?"

"Ah! Iya!" seru Clara, matanya langsung berbinar lagi. "Aku hampir lupa! Ayo Herald, kita ke sana sekarang! Aku udah nggak sabar!"

Clara menggenggam lengan Herald dan menariknya dengan semangat, melompat-lompat kecil sambil tertawa. Semangatnya menular, membuat suasana hati Herald pun ikut hangat.

Mereka berdua melangkah ke arah kebun yang terletak di belakang taman utama. Kebun itu memang tidak mewah, tapi tertata dengan rapi. Deretan sayuran tumbuh subur di tanah yang bersih. Ada tomat yang mulai memerah, bayam yang segar, serta berbagai tanaman lain yang memberi warna hijau menyegarkan.

Herald mengantar Clara hingga mereka sampai di tengah-tengah kebun.

Namun, tepat ketika mereka hendak mulai memeriksa tanaman, langkah kaki lain terdengar mendekat dari arah yang berlawanan. Suara langkah itu tenang tapi pasti, cukup kuat untuk terdengar meski tertutup rerumputan. Seorang asing muncul dari ujung jalan setapak. Hal tersebut tidak disadari oleh Herald.

“Nona Clara, kita sudah sampai,” ucap Herald sambil menatap lembut ke arah gadis di sampingnya.

“Heeeh… kita sudah sampai, yah…,” gumam Clara dengan suara pelan, seperti sedang menyerap udara segar yang mengelilingi kebun.

Herald lalu melangkah lebih dulu, meninggalkan Clara beberapa langkah di belakang. Tongkat yang selama ini menjadi penghubung mereka pun mulai kehilangan arah dan keseimbangan. Clara langsung menyadari perubahan itu. Ia menoleh ke kanan dan kiri, rasa panik mulai menggerogoti pikirannya.

“Eh? Herald?! Kamu di mana? Kenapa kamu malah pergi meninggalkanku...?”

Nada cemas terdengar jelas di suaranya. Seketika dadanya terasa sesak. Ketika satu-satunya tumpuan arah dan kepercayaannya menghilang walau hanya sesaat, dunia di sekelilingnya terasa asing dan mengancam.

Namun kekhawatiran itu tak bertahan lama. Langkah kaki yang dikenalnya kembali terdengar. Herald muncul dari balik barisan tanaman, dengan kedua tangannya penuh membawa berbagai jenis sayuran segar. Ia menatap Clara—dan tak bisa menahan senyum kecil yang terbit dari bibirnya.

[Baru juga aku tinggal sebentar… Dia sudah sekhawatir itu. Memang, dia benar-benar tak bisa ditinggal sendirian.]

Dengan langkah ringan, Herald mendekati Clara dan menyentuh pelan pundaknya. Refleks, Clara sedikit terkejut.

“Clara, kamu ini… baru sebentar aku pergi, sudah segitu paniknya,” ujar Herald sambil terkekeh.

Clara langsung menghela napas lega, suara Herald bagaikan oase di tengah ketakutannya.

“Kamu pergi ke mana? Tiba-tiba saja hilang tanpa bilang... aku jadi khawatir, tahu!”

Herald tersenyum, lalu mengangkat hasil bawaannya. “Aku pergi memetik beberapa sayuran. Kupikir… mungkin kamu ingin merasakannya dengan tanganmu sendiri.”

Clara sempat terdiam. Tangannya perlahan terulur, menyentuh sayuran-sayuran yang dibawa Herald. Bayam yang lembut dan sejuk, kentang dengan kulit tanah yang kasar, wortel yang padat, cabai yang halus dan sedikit berlekuk. Setiap tekstur memberi pengalaman berbeda yang menyentuh batinnya.

Wajahnya berubah. Mata yang semula panik kini berbinar lembut.

“Aku bisa merasakannya… semuanya terasa berbeda… tapi menyenangkan.”

***

Kegiatan mereka di kebun belakang berlanjut dengan suasana riang. Clara kini duduk di antara hamparan sayuran sambil menikmati sensasi setiap tekstur di tangannya. Ia menyentuh satu per satu, terkadang menebak jenisnya, terkadang tertawa kecil ketika tangannya bersentuhan dengan sesuatu yang tak terduga.

Herald mengawasinya dari samping—tapi kemudian matanya menangkap sesuatu yang membuatnya terdiam sesaat. Seekor cacing kecil merayap keluar dari tanah, menggeliat pelan di atas gundukan tanah yang lembap.

Senyum jahat terukir di wajah Herald.

[Hehehe… ide bagus ini.]

Dengan hati-hati, ia mengambil cacing itu dan mendekati Clara. Ia menyembunyikan niat isengnya dengan nada menggoda, “Ehem, Clara. Aku punya sesuatu yang mungkin kamu suka.”

Clara mengangkat wajahnya, penasaran. “Eh? Apa itu? Kedengarannya menarik.”

[Umpannya termakan,] pikir Herald senang.

“Coba ulurkan tanganmu. Aku akan memberikannya,” ujar Herald penuh percaya diri.

Tanpa ragu, Clara menyodorkan tangan.

Herald menempatkan cacing itu di atas telapak tangan Clara. Makhluk kecil itu langsung menggeliat pelan, bergerak-gerak dengan sentuhan lembut yang dingin dan basah. Herald menunggu teriakan panik atau mungkin Clara melemparnya. Tapi justru sebaliknya…

Clara diam.

Ia mulai meraba cacing itu perlahan. Meremasnya pelan, lalu membiarkannya meluncur melalui sela-sela jemarinya. Wajahnya menunjukkan ekspresi bahagia yang murni, polos, dan tulus.

“Herald… apa yang kamu berikan ini…?”

Dengan nada bangga yang sudah tak sabar mendengar reaksi kaget, Herald menjawab, “Itu cacing. Makhluk kecil dari tanah.”

Clara terdiam sesaat, lalu tersenyum cerah.

“Cacing, ya…? Terima kasih, Herald. Ini lembut… agak lengket sih, tapi geli dan menyenangkan. Aku suka.”

Ucapan Clara barusan benar-benar membuat Herald kehilangan kata-kata. Ia menatap gadis itu dengan ekspresi datar, seolah pikirannya masih mencerna kejadian yang baru saja terjadi.

[Eh? Apa yang dia katakan barusan? Apakah aku tidak salah dengar?]

Herald menatap kembali ke arah Clara—melihat bagaimana gadis itu benar-benar senang memainkan cacing di tangannya, menggulirkan makhluk kecil itu seolah itu benda paling lucu yang pernah ia pegang. Keinginan Herald untuk mengerjainya agar ia menjerit ketakutan… gagal total.

Namun, saat ia memperhatikan lebih jauh, kesadaran pun datang menghampirinya.

[Astaga… baru sadar. Clara tidak bisa melihat cacing itu.]

Herald menutup wajahnya sebentar dengan tangan. [Pantas saja dia tidak takut. Kalau gadis bangsawan lain sudah pasti menjerit histeris.]

Rencananya benar-benar tidak berjalan sesuai harapan.

“Cih… menyebalkan,” gumamnya pelan dengan nada kesal yang tak bisa ia sembunyikan.

Clara mendengarnya. Ia menoleh sedikit, bingung, “Ada apa, Herald? Kenapa kamu kesal?”

“Oh, tidak apa-apa,” jawab Herald cepat, mencoba menyembunyikan rasa jengkelnya. “Lanjutkan saja bermain dengan cacing itu.”

Clara hanya tersenyum lembut, lalu kembali memainkan si makhluk kecil dengan hati-hati. Tangannya yang halus seakan mengerti bagaimana cara memperlakukan sesuatu yang lemah.

***

Beberapa waktu berlalu, Herald pun mulai mengajak Clara berkeliling kebun sambil memperkenalkan berbagai alat berkebun. Ia menjelaskan fungsi masing-masing—dari cangkul, sekop, hingga celurit. Clara, meski tidak bisa melihat, begitu bersemangat menyentuh dan merasakan tiap alat, membayangkan bentuknya melalui permukaan logam yang dingin dan gagang kayu yang kasar di tangannya.

Herald bahkan menunjukkan cara membajak tanah dengan sekop kecil, mencangkul bagian lahan sambil menjelaskan suara dan sensasi tanah yang tergali. Clara menyimak dengan penuh antusias, dan ketika ia mencoba sendiri membajak sebagian kecil lahan, tawa mereka pecah di tengah aktivitas sederhana itu.

Mereka berdua terlihat begitu lepas. Untuk sesaat, dunia seperti hanya milik mereka berdua—sunyi dari kekhawatiran, penuh dengan kehangatan sederhana dari kebersamaan.

Namun, momen itu tidak bertahan lama.

Dari sudut matanya, Herald melihat sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak. Pandangannya mengarah pada sebuah pohon besar yang berdiri tidak jauh dari tempat mereka berada. Bayangan samar seseorang… berdiri diam, mengawasi.

[Siapa itu…?]

Herald menyipitkan mata, mencoba memperjelas pandangan. Seseorang berdiri di sana—di balik batang pohon, sebagian wajahnya terlihat sebelum akhirnya bersembunyi kembali. Namun itu sudah cukup. Herald tahu siapa itu.

Wajahnya langsung berubah. Tegang, keras, penuh waspada.

[Itu dia…]

Olivia.

Perasaan tak enak langsung menjalari tubuh Herald. Ingatan akan kejadian beberapa waktu lalu muncul di benaknya—tentang niat tersembunyi Olivia, tentang tuduhan yang tak berdasar, dan bagaimana ia memperkeruh keadaan saat itu.

[Kenapa dia ada di sini?]

Pertanyaan itu berputar di benaknya, tak menemukan jawaban yang menenangkan. Olivia tetap berdiri diam di balik bayang pohon. Matanya, seolah tak berkedip, terus mengamati mereka. Tak bergerak, tak bersuara.

Ada maksud di balik itu.

Herald tahu. Ia bisa merasakannya.

[Dia sedang memperhatikan kami. Pasti dia sedang mengawasi Clara. Tapi… untuk apa?]

Keringat dingin mengalir perlahan di pelipis Herald. Momen kebahagiaan mereka yang baru saja terukir, terasa rapuh di bawah bayangan Olivia yang diam-diam hadir di sana.

[Aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja.]

1
Hirage Mieru
.
Cindy
☕️ Untuk menambah semangat.
‎‎‎‎Wahyu Kusuma: uwawwww makasih 😆
total 1 replies
‎‎‎‎Wahyu Kusuma
Ada sedikit kesalahan pada bab 4😔 Jangan dibaca dulu
‎‎‎‎Wahyu Kusuma
Jangan lupa baca karya baru saya 😳 Ini adalah novel Romence pertama saya yang sudah melewati masa revisi. Kuharap kalian bakalan nyaman membacanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!