Zahra, seorang perempuan sederhana yang hidupnya penuh keterbatasan, terpaksa menerima pinangan seorang perwira tentara berpangkat Letnan Satu—Samudera Hasta Alvendra. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan karena uang. Zahra dibayar untuk menjadi istri Samudera demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran ekonomi akibat kebangkrutan perusahaan orang tuanya.
Namun, tanpa Zahra sadari, pernikahan itu hanyalah awal dari permainan balas dendam yang kelam. Samudera bukan pria biasa—dia adalah mantan kekasih adik Zahra, Zera. Luka masa lalu yang ditinggalkan Zera karena pengkhianatannya, tak hanya melukai hati Samudera, tapi juga menghancurkan keluarga laki-laki itu.
Kini, Samudera ingin menuntut balas. Zahra menjadi pion dalam rencana dendamnya. Tapi di tengah badai kepalsuan dan rasa sakit, benih-benih cinta mulai tumbuh—membingungkan hati keduanya. Mampukah cinta menyembuhkan luka lama, atau justru semakin memperdalam jurang kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafacho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9.
Zahra saat ini berada di kamarnya, setelah di beritahu Samudera kalau besok mereka harus berangkat ke Jogja.
Dengan perlahan dia memasukkan barang-barangnya ke koper. Dia sesekali melihat kamarnya,
"apa aku bisa tidur di kamar ini lagi" gumamnya, belum pergi dari kamarnya saja ia sudah merasa berat untuk meninggalkan nya.
Di tengah Zahra yang sibuk merapikan bajunya di koper pintu kamarnya terbuka saja tanpa permisi membuat Zahra langsung melihat kearah ayahnya.
"ayah bisa ngetuk pintu kan? " ucap Zahra sedikit kesal. karena dia dari waktu itu saat dirinya di tampar sang ayah sampai sekarang ia belum ingin bicara pada ayahnya tersebut.
"iya, ayah minta maaf" ucap Zulhan.
"Zahra, tadi calon suami kamu kesini ya? dia bilang apa sama kamu? kalian besok ke Jogja mau pengajuan nikah? " Zulhan tampak penasaran.
"iya" Zahra hanya menjawab singkat.
"Bagus, lebih cepat kalian menikah lebih baik. Calon kamu itu memang terbaik, anak orang kaya tentara lagi" Zulhan tampak senang mendapatkan menantu seperti itu.
Zahra hanya diam saja, ayahnya memang orang matre. Semenjak keluarga mereka bangkrut ayahnya menjadi gila uang.
Tapi satu hal yang membuatnya marah, ayahnya selalu pilih kasih padanya. Apa-apa pasti Zera, padahal Zera selalu membuat masalah Bahkan saat Zera hamil di luar nikah dan merebut kekasihnya ayahnya tetap memihak pada Zera.
Makanya selain demi uang ia menerima menjadi istri bayaran Samudera, ia juga ingin cepat keluar dari rumah.
"kamu dengerin ayah ngomong nggak? " tanya Zulham.
"denger kok yah" jawab Zahra singkat sambil fokus melipat bajunya tanpa menghiraukan ayahnya yang masih berdiri di ambang pintu. Matanya terasa panas, tapi ia tahan. Tidak, ia tidak mau lagi menangis karena hal ini. Sudah cukup.
Zulhan berdiri kikuk. Ia menyadari Zahra tidak berminat melanjutkan pembicaraan. Ia menghela napas panjang, lalu berbalik pergi tanpa berkata-kata lagi, membiarkan pintu kamar terbuka begitu saja.
Begitu langkah ayahnya menjauh, Zahra mendesah keras. Ia duduk di pinggir ranjang, menatap koper yang sudah hampir penuh.
"Aku hanya ingin hidup tenang. Aku tidak mau di bandingkan lagi, semoga apa yang aku harapkan terjadi," batinnya.
Perasaannya campur aduk. Ada sedikit ketakutan, ada pula lega. Meninggalkan rumah ini berarti melepaskan semua beban yang selama ini menahannya. Tapi di sisi lain, ada luka yang tetap menganga — luka karena diabaikan, disalahpahami, dan dijadikan pilihan kedua seumur hidupnya.
Zahra mengusap matanya cepat-cepat. Ia berjanji pada dirinya sendiri: setelah keluar dari rumah ini, ia akan memulai hidup baru. Hidup yang tidak tergantung pada siapa pun. Ia akan bahagia... dengan caranya sendiri.
---
Pagi hari keluarga Samudera datang, tentu saja itu Samudera yang menjemput Zahra untuk pergi ke bandara. Sebenarnya Samudera malas di antar kedua orang tuanya tapi kedua orang itu memaksa.
"kalian itu ribet, aku bisa pergi sendiri tapi malah membuatku susah" gerutu Samudera memprotes pada sang mama.
Kharisma mencubit pelan lengan Samudera. Samudera langsung mengeluh dan kesal pada sang mama.
"makanya, kamu diem aja bang. Bersyukur kamu papamu mau mengantar kamu. Kamu jangan merusak suasana hatinya, papamu lagi senang karena dapat mantu" bisik Kharisma pada anaknya.
Samudera hanya mendengus kesal, dia malas menanggapi nya.
orang tua Zahra keluar, begitu juga dengan Zahra yang sudah membawa koper.
Samudera yang melihat itu langsung membantu Zahra, dia mengambil koper milik calon istrinya tersebut. Zahra sedikit kaget saat Samudera akan membantunya dan kini membawa kan koper miliknya.
Samudera langsung memasukkan koper milik Zahra kedalam mobil. Dia melakukan itu tentu saja hanya akting semata. Dia tidak begitu tulus melakukan hal tersebut.
Setelah memasukkan koper Zahra kedalam mobil dia mendekati Zahra berdiri di sebelahnya.
"kamu sudah melakukan semua nya kan sayang" ucap Samudera sedikit dekat dengan telinga Zahra.
Zahra yang mendengar itu melebarkan matanya, dia melihat sekilas kearah Samudera. Jelas ia terkejut dengan ucapan Samudera itu, karena mimpi apa Samudera memanggilnya sayang karena biasanya pria itu selalu dingin dan kasar padanya...
"Ayah, aku bawa dulu Zahra ke Jogja" ucap Samudera pada Zulhan.
"iya bawa aja nggak pa-pa, Zahra juga udah ngebet pengen nikah sama kamu." ucap Zulhan. Zahra yang mendengar itu merasa sakit hati dengan ayahnya.
Wajah Zahra langsung menunduk mendengar ucapan ayahnya. Dadanya terasa sesak. Ia menggenggam ujung bajunya erat-erat, menahan perih di hatinya. Bukan sekali dua kali ayahnya mempermalukannya di depan orang lain, bahkan di hadapan calon suaminya sendiri.
Samudera yang berdiri di sebelahnya sempat melirik Zahra sekilas. Melihat tubuh gadis itu menegang, Samudera menghela napas pelan. Ada sedikit rasa tak nyaman dalam dirinya, tapi ia cepat menepisnya.
"Yasudah, kita berangkat dulu," kata Samudera singkat, tanpa banyak basa-basi. Dia langsung berjalan dulu ke mobil.
Sebelum pergi, Kharisma, mama Samudera, menghampiri Zahra sambil tersenyum ramah. Ia mengelus pelan punggung tangan Zahra.
"Ayo kita ke mobil, barang-barang kamu sudah di masukkan ke mobil kan? Nanti Hati-hati ya, Nak. Di Jogja kalau ada apa-apa cerita sama mama, mama selalu ada buat kamu. Karena kamu sebentar lagi jadi istri Samudera" ucap Kharisma lembut.
Zahra mengangguk kecil, mencoba tersenyum walau terasa kaku.
Mereka akhirnya masuk ke dalam mobil. Samudera duduk di kursi sebelah pengemudi, sedangkan Zahra duduk di belakang di sebelah Kharisma. Karena yang mengemudi saat ini ayah Samudera.
Selama perjalanan ke bandara, suasana di dalam mobil cukup hening. Hanya sesekali terdengar suara Kharisma yang mengobrol ringan dengan suaminya, sementara Zahra lebih banyak menatap ke luar jendela, mengamati jalanan yang perlahan-lahan terasa semakin asing baginya.
Samudera sendiri tampak cuek, tapi sesekali matanya melirik Zahra. Ada sesuatu dalam raut wajah Zahra yang membuat Samudera berpikir — gadis ini kelihatan jauh lebih rapuh daripada yang ia bayangkan.
Saat lampu merah menyala dan mobil berhenti, tanpa sadar Samudera membuka mulut.
" kenapa diem aja? Tegang?" tanyanya dengan suara pelan, hanya cukup terdengar oleh mereka berdua.
Zahra sedikit kaget, lalu buru-buru menggeleng. "Enggak, aku cuma... mikir aja."
Samudera mengangguk pelan. Ia tidak bertanya lebih jauh. Tapi dalam hati, entah kenapa, ia merasa ingin sedikit melindungi gadis ini. Bukan karena cinta, tentu saja — tapi karena perjanjian mereka, kan? Setidaknya, ia harus menjaga 'barang titipan'nya ini sampai kontrak mereka selesai.
Mobil kembali melaju setelah lampu hijau menyala,
***