NovelToon NovelToon
Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO Amnesia / Bertani / Romansa pedesaan
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: indah yuni rahayu

Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.

Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.

Namun Wijaya bukan lelaki biasa.

Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.

Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Telepon yang Menggoyahkan Segalanya

Tangan Lia bergetar hebat ketika menekan nomor yang tercantum di selebaran itu. Angka-angka terlihat kabur karena air mata yang tidak kunjung jatuh, hanya bergetar di pelupuk. Suara denting nada tunggu di ponselnya terasa seperti palu memukul jantungnya satu per satu.

Satu dering.

Dua dering.

Pada dering ketiga, panggilan tersambung.

“Hallo…?” suara perempuan, dewasa, tenang terdengar seperti seseorang yang berusaha keras tetap kuat setelah terlalu lama menangis.

Lia menelan ludah. “Ibu… ini… tentang orang di selebaran hilang, yang bernama… Krisna.”

Hening sejenak. Lalu suara di seberang pecah bukan menangis, tapi memburu napas, antara harap dan takut.

“Kamu melihatnya? Anak saya? Dia… dia baik-baik saja? Di mana dia?!”

Lia memejamkan mata. Ruang tunggu puskesmas terasa semakin sempit. Bau obat, suara orang batuk, langkah tergesa perawat, semua hilang, menyisakan suara perempuan itu di telinganya.

“Ibu… dia ada di sini. Dia… tidak ingat siapa pun. Namanya sekarang dipanggil Wijaya oleh warga. Dia pingsan. Dokter bilang harus operasi… tapi...”

Tangis tertahan di seberang sana akhirnya pecah.

“Ya Tuhan… Krisna… Nak….”

Lia menggigit bibir. Rasanya seperti seseorang meremas dadanya dari dalam. Sejak kapan kebahagiaan dan kehilangan bisa berdiri sedekat ini?

“Apa… apa ibu bisa datang?” suara Lia serak. “Biaya operasinya besar. Saya… saya tidak sanggup.”

Perempuan itu menarik napas panjang. “Tentu. Di mana rumah sakitnya? Saya akan ke sana sekarang juga… Anak itu… dia bukan cuma anak saya. Dia satu-satunya alasan saya bertahan hidup.”

Kata-kata itu menghantam tepat di dada Lia.

Satu-satunya alasan bertahan hidup.

Lia menunduk. Di dalam ruang rawat, Wijaya atau Krisna terbaring pucat. Selang infus menusuk punggung tangannya. Napasnya teratur namun berat. Laki-laki yang setiap pagi mengajaknya menjemur padi, menertawakannya karena tak pandai menyalakan tungku, memegang jemarinya saat malam benar-benar sunyi.

Laki-laki yang mencintainya.

Atau… hanya kebetulan singgah di hidupnya?

“Ibu…” suara Lia pecah. “Krisna masih berada di Puskesmas. Jika operasi dilakukan, dokternya bilang… ingatan lamanya mungkin kembali… tapi… ingatan barunya bisa hilang.”

Sejenak tidak ada jawaban.

Lalu suara Ana Kusuma tegas, namun penuh luka berkata pelan, “Kalau itu membuat dia hidup… biarlah saya yang dia ingat terakhir. Bukan penderitaannya.”

Air mata akhirnya jatuh di pipi Lia, panas, pahit, dan jujur.

Ia memutuskan telepon perlahan, lalu menatap layar ponselnya lama sekali. Nama kontak itu kini disimpan: Ana, Ibu Krisna.

Di luar ruangan, Natan berdiri kaku.

Tadi ia hanya mendengar potongan kalimat—“operasi”… “Ingatannya hilang”… “Satu-satunya anak saya”.

Ia memejamkan mata. Jantungnya berdetak cepat. Ia belum mengerti siapa lelaki itu, belum tahu bahwa dialah Wijaya yang kerap disebut warga. Namun perasaan aneh merayapi dadanya, seperti badai kecil yang akan membesar kapan saja.

“Natan, kenapa bengong?” tanya salah satu warga.

Natan menggeleng pelan. “Tidak. Hanya… kasihan saja.”

Tapi hatinya tidak sesederhana itu. Ada rasa lain tidak nyaman, seperti firasat bahwa apa pun yang terjadi setelah ini akan mengguncang hidup banyak orang.

Termasuk Lia.

Di dalam ruang perawatan, Lia duduk di sisi ranjang. Ia menggenggam tangan Wijaya erat-erat.

“Mas…” bisiknya. “Kalau nanti Mas bangun… dan Mas tidak ingat aku… tidak apa-apa.”

Tangannya bergetar, tapi suaranya lembut.

“Asal Mas tetap hidup… itu sudah cukup. Aku tidak akan memaksa jadi siapa-siapa. Cukup tahu Mas pernah singgah di hidupku… itu saja.”

Bahu Lia bergetar hebat. Ia menunduk, mencium punggung tangan itu lama sekali. Aroma obat, dingin logam ranjang, suara monitor detak jantung pelan semuanya terekam dalam ingatan yang ingin ia simpan selamanya.

Di pintu, Bu Surti berdiri sambil mengusap mata. Pak Wiryo menatap lantai, merasa kalah oleh keadaan.

“Miskin memang kalah di mana-mana…” gumamnya pelan.

Namun Lia menoleh dan tersenyum tipis.

“Tidak, Pak. Aku tidak kalah. Aku hanya sedang belajar melepaskan.”

Malam turun perlahan di kecamatan kecil itu. Jalanan mulai sepi. Angin membawa suara jangkrik. Lampu puskesmas berpendar redup, seolah ikut menyimpan rahasia besar.

Di suatu tempat jauh di kota, seorang ibu, Ana Kusuma telah mengambil tas, memeluk foto di bingkai kayu, dan berulang kali berbisik, “Tunggu Ibu, Nak.”

Ardian Kusuma baru saja mematikan lampu ruang kerjanya ketika pintu diketuk pelan. Malam di rumah besar itu terasa sangat panjang belakangan ini. Foto Krisna yang terpajang di dinding seolah menatapnya terus-menerus, menuntut jawaban yang tak kunjung datang.

“Ana?”

Suara Ardian melembut ketika melihat istrinya berdiri di ambang pintu.

Ana Kusuma memegang ponselnya erat-erat. Wajahnya pucat, mata merah karena terlalu sering kurang tidur. Sejak tiga bulan Krisna menghilang, rumah besar itu terasa kosong dan megah, tapi dingin.

“Ardian …” suaranya bergetar. “Ada… nomor asing menelepon.”

Detak jantung Ardian sontak berubah irama. Ia berjalan mendekat, bahunya menegang. “Nomor dari siapa ?"

Nafasnya tersendat. “Itu dari puskesmas kecamatan. Ada…yang menemukan seorang pria tak sadarkan diri. Nama yang terucap dari orang itu… cocok dengan ciri Krisna.”

Keheningan jatuh di antara mereka. Jam dinding berdetak keras, seolah ikut menyaksikan momen itu.

Ardian meraih bahu istrinya. “Krisna… anak kita?”

Ana mengangguk lagi, namun air mata sudah tak bisa ditahan. “Orang yang menelepon bilang… dia butuh tindakan cepat. Ada kemungkinan operasi otak. Kalau terlambat… risikonya besar.”

Ardian memejamkan mata sesaat, menahan gejolak di dadanya. Selama tiga bulan ia berusaha tetap tegar, tetap dingin, tetap menjadi kepala keluarga yang kuat, tapi malam ini lapisan itu runtuh sedikit.

“Aku sudah bilang pada orang itu,” lanjut Ana terbata, “Kami akan datang. Sekarang. Malam ini juga.”

Ardian menarik napas panjang, mencoba tenang, namun suaranya tetap bergetar.

“Kita bawa dia ke rumah sakit ternama agar segera di operasi."

Ana menatap lantai. Ada rasa perih menembus hatinya bukan cemburu, tapi kesadaran bahwa anaknya telah menjalani hidup lain, dengan orang lain, tanpa dirinya.

“Aku hanya ingin Krisna kembali,” katanya lirih. “Walaupun… mungkin dia sudah berubah.”

Ardian menepuk punggung tangannya. “Kalau memorinya kembali, mungkin dia akan lupa apa pun yang terjadi di desa.”

Ana menutup mata, berbisik, lebih pada dirinya sendiri,

“Dan kalau memorinya tidak kembali… dia mungkin akan lupa kita.”

Malam itu rumah besar Kusuma Group tidak lagi sekadar megah, ia menjadi saksi dua orang tua yang siap kehilangan apa pun, asal tidak kehilangan anak mereka untuk kedua kalinya.

Ardian meraih kunci mobil.

“Bersiaplah. Kita ke puskesmas sekarang.”

Ana mengangguk, namun sebelum berbalik, ia menatap foto Krisna di dinding ruang kerja. Senyum anaknya dalam balutan jas rapi terasa jauh… namun sekaligus sangat dekat.

“Krish…” bisiknya lembut. “Tunggu Ibu. Ibu datang.”

Dan untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, lampu rumah besar itu menyala lagi bukan untuk pesta, bukan untuk rapat, melainkan untuk menyambut pulangnya seseorang yang mungkin tak lagi mengingat mereka.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!