NovelToon NovelToon
Sultan Setelah Koma

Sultan Setelah Koma

Status: sedang berlangsung
Genre:Duniahiburan / Mafia / Pengganti / Transmigrasi ke Dalam Novel / Kebangkitan pecundang / EXO
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

JIWA ASEP DI TUBUH PEWARIS PRATAMA
​Aksa Pratama. Pewaris triliuner. Ganteng. Lemah. Dan... KOMA setelah disiksa ibu tiri sendiri.
​Semua orang menunggu Aksa mati agar harta Pratama Group bisa dijarah.
​Tapi yang bangun BUKAN Aksa. Melainkan ASEP SUNANDAR.
​Pemuda Sunda dari kampung, jago Silat Cimande (Paling Jago Se-Jawa Barat!), humoris kayak Kabayan, dan Savage-nya minta ampun!

simak kisahnya ada gaya action, romansa, komedi ada

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 28: BUKTI YANG TERLAMBAT

Pagi itu Asep bangun dengan mata sembab. Cermin di kamar mandi nunjukin wajah Aksa yang pucat, lingkaran hitam di bawah mata makin jelas.

[Woi, lo tidur cuma 2 jam. Mau pingsan apa?]

"Gue gak bisa tidur mulu, Sistem..." Asep cuci muka, air dingin netes dari dagu. "Kepala gue penuh terus."

[Ya elah, cape deh. Udah gue bilang kan gue bantuin. Sekarang lo mandi, rapih-rapihin diri, terus kita ke cafe itu. Gue udah nyiapin rencana.]

Asep ngeliatin pantulan dirinya. Rambut acak-acakan, mata merah. Dia inget—hari ini dia harus buktiin ke Papa Arjuna kalau foto itu palsu. Kalau gagal...

Dia gak mau bayangin.

Di ruang makan, suasana mencekam.

Papa Arjuna duduk di ujung meja, baca koran sambil sesekali ngelirik Asep dengan tatapan dingin. Mama Ratna makan dalam diam, sesekali ngusap mata—kayaknya abis nangis. Arkan duduk di samping Asep, pegang tangan kakaknya erat.

"Kak Aksa gak papa?" bisik Arkan. Suaranya pelan banget.

Asep maksa senyum, ngusap rambut adiknya. "Gak papa kok, Arkan. Kakak kuat."

"Bohong..." Arkan nunduk. "Tadi malem kakak nangis. Arkan denger dari kamar..."

Asep langsung diam. Dadanya sesak.

[Anjir, bocah ini peka banget.]

Rendra masuk ruang makan dengan senyum tipis. Dia duduk, ambil kopi, matanya menatap Asep dengan tatapan menang.

"Pagi, Aksa. Tidur nyenyak?" tanya Rendra, nada suaranya kayak lagi ngejek.

Asep gak jawab. Tangannya ngepal di bawah meja.

[Sabar, jangan sampe lo kebawa emosi. Fokus sama rencana.]

"Papa," Rendra ngomong sambil sruput kopi, "hari ini aku ada meeting sama klien besar. Kalau Aksa masih... 'sakit', mungkin aku bisa gantiin handle project itu?"

Papa Arjuna ngelirik Asep sebentar, terus balik ke koran. "Kita lihat nanti."

Mama Ratna tegak. "Arjuna, Aksa masih perlu waktu. Dia baru—"

"Ratna." Suara Papa Arjuna datar, tapi tegas. "Jangan ikut campur urusan perusahaan."

Mama Ratna langsung diam. Tangannya gemetar pegang sendok.

Asep ngerasain dadanya makin sesak. Dia benci liat Mama Ratna kayak gini. Benci liat Arkan takut. Benci liat Rendra senyum puas.

"Papa," Asep ngangkat kepala, suaranya pelan tapi mantap, "gue... Gue mau buktiin sesuatu hari ini."

Papa Arjuna ngeliatin dia. "Buktiin apa?"

"Foto itu... Foto itu palsu."

Rendra ketawa kecil. "Aksa, udah cukup. Jangan bikin diri lo makin—"

"GUE GAK NGOMONG SAMA LO!" Asep bangkit, kursinya geser kasar. Seluruh meja kaget.

Rendra naikin alis, senyumnya makin lebar. "Wah, emosi banget. Kenapa? Kepergok?"

"Rendra, cukup." Papa Arjuna ngetok meja. "Aksa, duduk."

Asep duduk lagi, napasnya berat. Tangannya masih gemetar.

[Gue bilang sabar kan?! Lo mau rencana gue berantakan?!]

"Papa," Asep natap mata Papa Arjuna, "kasih gue waktu sampe sore ini. Gue bakal buktiin kalau gue gak pernah ke tempat itu. Gue janji."

Hening.

Papa Arjuna lipat korannya pelan. "Sore ini. Kalau kamu gagal, kamu berhenti dari semua project perusahaan. Kamu fokus kuliah, tidak ada lagi urusan bisnis. Mengerti?"

Asep ngerasain dadanya mau meledak. Tapi dia angguk. "Mengerti."

Setelah sarapan, Asep langsung ke kamar, ganti baju. Tangan masih gemetar waktu dia kancingint kemeja.

[Lo yakin mau langsung ke cafe? Lo belum sarapan bener.]

"Gue gak nafsu makan."

[Dasar bocah keras kepala. Udah, gue pandu lo sekarang. Cafe itu namanya 'Kopi Seduh Hati', di daerah Menteng. Lo naik mobil aja, jangan ngojek. Keliatan lebih formal kalau mau minta rekaman CCTV.]

Asep turun tangga, ketemuan sama Mama Ratna di ruang tamu.

"Aksa, mau kemana sayang?" Mama Ratna pegang tangan Asep, matanya basah.

"Gue... Gue mau buktiin ke Papa, Ma. Gue gak salah."

Mama Ratna peluk Asep erat. "Mama percaya sama kamu. Mama tau kamu gak mungkin bohong."

Asep balas pelukan, ngerasain air mata mau keluar lagi. "Terima kasih, Ma..."

[Udah udah, jangan lebay. Lo mau nangis lagi apa? Ayo buruan.]

Perjalanan ke cafe terasa panjang banget. Asep duduk di kursi belakang mobil, ngeliatin jalanan Jakarta yang macet. Pikirannya kemana-mana.

Kalau cafe itu gak punya CCTV gimana?

Kalau rekamannya udah kehapus gimana?

Kalau ternyata Rendra udah duluan ngancam pemilik cafe buat ngehapus bukti gimana?

[Lo tuh kebanyakan mikir negatif. Tenang aja, gue udah scan cafe itu dari sistem. CCTV mereka aktif, dan rekamannya masih ada. Lo tinggal minta baik-baik.]

"Lo bisa scan dari jauh?" Asep bisik pelan.

[He-eh. Walaupun gue rusak, tapi fitur scan lokasi masih jalan. Gue kan sistem keren, walau cacat dikit.]

Asep senyum tipis. "Makasih, Sistem."

[Ih jangan lebay. Nanti gue jadi malu.]

Cafe 'Kopi Seduh Hati' kelihatan dari luar—tempatnya cozy, gak terlalu besar, ada tanaman gantung di depan. Asep turun dari mobil, napas dalam-dalam.

Begitu masuk, bau kopi langsung nyerang. Ada beberapa pengunjung duduk sambil buka laptop. Pelayan cewek muda nyamperin dengan senyum ramah.

"Selamat pagi, Mas. Mau pesan apa?"

Asep gerak gugup. "Eh, gue... Gue bukan mau pesan. Gue mau ketemu pemilik cafe ini. Ada urusan penting."

Cewek itu naikin alis. "Urusan apa ya, Mas?"

[Bilang aja lo butuh rekaman CCTV buat urusan keluarga. Jangan bilang soal fitnah, nanti dia curiga.]

"Gue butuh rekaman CCTV dari tanggal kemarin. Ada urusan keluarga yang... penting banget." Asep ngomong pelan, berusaha sopan.

Pelayan itu ragu. "Tunggu sebentar ya, Mas. Saya panggilin Bu Sari."

Beberapa menit kemudian, cewek paruh baya keluar dari belakang. Rambutnya diiket, wajahnya tegas tapi ramah.

"Selamat pagi, Mas. Saya Sari, pemilik cafe ini. Ada yang bisa saya bantu?"

Asep maju, tangannya masih gemetar. "Bu, nama saya Aksa Pratama. Saya... Saya butuh rekaman CCTV dari kemarin, sekitar jam 3 sore."

Bu Sari natap Asep curiga. "Untuk apa, Mas?"

Asep napas panjang. "Ada foto yang nyebarin gosip kalau gue dateng ke cafe ini sama cewek lain. Padahal gue yakin gue gak pernah ke sini. Gue cuma butuh bukti buat bersihin nama gue."

Bu Sari diam sebentar, kayak mikir. "Mas, biasanya kami tidak kasih rekaman sembarangan. Ini privasi pengunjung juga."

Dadada Asep langsung turun. "Bu, please... Gue mohon. Ini penting banget buat gue. Keluarga gue lagi gak percaya sama gue gara-gara foto itu. Gue cuma butuh bukti kalau gue gak ada di sini."

[Tambahin, bilang lo mau bayar kalau perlu.]

"Gue... Gue bersedia bayar, Bu. Berapa pun. Asal gue bisa liat rekamannya."

Bu Sari ngeliatin Asep lama. Matanya kayak baca sesuatu.

"...Oke. Ikut saya."

Di ruang belakang yang sempit, Bu Sari nyalain komputer tua. Layarnya flicker sebentar sebelum muncul menu CCTV.

Asep berdiri di samping, jantungnya deg-degan parah.

[Tenang. Lo bakal dapat buktinya.]

Bu Sari buka rekaman tanggal kemarin, muter ke jam 3 sore. Layar nunjukin sudut cafe dari atas—meja, kursi, pintu masuk keliatan jelas.

Asep ngeliatin layar dengan napas tertahan.

Jam 3:00... 3:15... 3:30...

Gak ada Aksa.

Gak ada Rendra.

Gak ada siapa-siapa yang mirip mereka.

"Lanjut lagi, Bu. Sampe jam 5," pinta Asep.

Bu Sari ngelanjutin. Jam 4:00... 4:30... 5:00...

Tetap gak ada.

Asep ngerasain dadanya lega setengah mati. "Bu, ini... Ini bisa di-copy gak? Gue butuh bawa ini ke keluarga gue."

Bu Sari angguk. "Bisa. Tunggu sebentar."

Dia copy rekaman ke flashdisk, terus kasih ke Asep.

"Mas, saya harap ini bisa bantu." Bu Sari senyum tipis. "Saya pernah kena fitnah juga waktu muda. Rasanya... pahit."

Asep pegang flashdisk itu erat, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Bu. Terima kasih banget..."

[Udah, buruan balik. Tunjukin ke Papa Arjuna sebelum Rendra bikin ulah lagi.]

Dalam perjalanan pulang, Asep ngerasain beban di dadanya sedikit berkurang. Dia pegang flashdisk itu kayak pegang harta paling berharga.

Tapi tiba-tiba hpnya bunyi.

Pesan dari nomor gak dikenal.

"Kamu pikir CCTV itu cukup? Papa Arjuna butuh lebih dari itu. Selamat berjuang, adikku sayang."

Asep ngerasain darahnya naik.

Rendra.

[Anjir, dia udah tau lo ke cafe?!]

"Dia... Dia ngikutin gue?!" Asep langsung ngeliatin kaca spion, cari mobil mencurigakan.

[Atau dia pasang orang buat ngawasin lo. Rendra tuh licik, bro. Dia gak bakal diem aja.]

Asep ngerasain tangannya dingin. Dia udah dapet bukti, tapi kenapa rasanya... bahaya makin deket?

1
Dewiendahsetiowati
mantab Asep
Dri Andri: makasih ya kak
total 2 replies
Dewiendahsetiowati
hadir thor
Dri Andri: terimakasih kak dewi
total 1 replies
Tình nhạt phai
Keren banget, semoga ceritanya terus berkualitas author!
Dri Andri: Oke simak lebih dalam yahh
total 1 replies
DreamHaunter
Pengen lebih banyak!
Dri Andri: Oke selanjutnya saya bikin bayak kata yaa
simak terus yah
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!