Melati berubah pendiam saat dia menemukan struk pembelian susu ibu hamil dari saku jas Revan, suaminya.
Saat itu juga dunia Melati seolah berhenti berputar, hatinya hancur tak berbentuk. Akankah Melati sanggup bertahan? Atau mahligai rumah tangganya bersama Revan akan berakhir. Dan fakta apa yang di sembunyikan Revan?
Bagi teman-teman pembaca baru, kalau belum tahu awal kisah cinta Revan Melati bisa ke aplikasi sebelah seru, bikin candu dan bikin gagal move on..🙏🏻🙏🏻
IG : raina.syifa32
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raina Syifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Wajah Melati memancarkan senyum lebar saat pintu terbuka. Ayah dan ibunya berdiri di ambang, mata mereka berbinar penuh kehangatan. “Ya Allah, kamu pulang, nak!” suara bunda Dyah bergetar sedikit saat memeluk putrinyaerat-erat.
“Kemarin bunda sama ayah baru rasan-rasan rencana ke Jakarta minggu depan. Tak taunya kamu malah datang. Bunda sempat khawatir, sudah seminggu ini kamu nggak kasih kabar. Biasanya tiap dua hari kamu pasti telepon.”
"Harusnya bunda inisiatif telepon, kalau Melati nggak telpon."
"Kamu ini."
Bunda Dyah mencubit punggung putrinya melepaskan pelukannya, lalu pandangannya beralih ke Revan, menantunya.
“Gimana kabarmu, nak?” Revan tersenyum ringan sambil mengulurkan tangan, pelan mencium punggung tangan kedua mertuanya bergantian.
“Baik, Bun, yah” jawabnya dengan suara hangat, sedikit canggung namun tulus.
Dyah menatap cucunya yang mungil, Ayana, tertawa di pelukan suaminya. Matanya lalu menyapu ke halaman rumah, mencari wajah cucunya yang lain, yang tak tampak. "Kok cuma nduk kecil yang diajak? Yang lain pada kemana?" tanyanya penasaran.
Melati segera menjawab sambil menundukkan kepala, “Sekolah, Bun.”
Kening Dyah berkerut tipis, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Tak biasanya anak dan menantunya tak membawa semua anak-anaknya.
Perempuan paruh baya itu menatap Melati lebih lama, suara lembut tapi penuh perhatian keluar dari bibirnya, “Kalian berdua nggak lagi ada masalah, kan?”
Melati terdiam sejenak, seperti menelan sesuatu yang berat, sebelum akhirnya menggeleng pelan. “Nggak kok, Bun. Melati cuma kangen rumah sama masakan bunda.”
Raut wajah Melati yang sedikit sendu membuat ibunya tak bisa langsung mengusir rasa gelisah itu.
Melati berganti menatap ayahnya yang menggendong Ayana, pria itu terlihat sangat merindukan cucunya. Melati tersenyum, “gimana kabar ayah? Sakit pinggang ayah nggak kambuh lagi kan”
Rama menggeleng. “Enggak nak, setelah ayah rajin terapi seperti saran suami kamu, Alhamdulillah sakit pinggang ayah sudah agak mendingan, nggak kayak dulu. Ayo masuk, kebetulan bunda kamu masak kesukaan kamu, mungkin bundamu tau kamu bakal pulang hari ini.”
Melati tiba-tiba menyela dengan suara pelan tapi menusuk tepat di jantung Revan, "Firasat seorang ibu itu peka bun, apalagi kalau putrinya sedang tidak baik-baik saja." Ucapnya tanpa di sengaja.
Revan mendadak terhenti, matanya menatap sendu ke arah istrinya. "Sayang?" tanyanya serak.
Melati terkejut dengan ucapannya sendiri, dadanya berdebar. "Maksudku, Mas... Bunda tahu kalau anaknya ini sedang sangat merindukannya."
Bunda Dyah mengarahkan tatapan lembut tapi waspada pada putrinya, mencoba membaca rahasia di balik kata-katanya. " Benat kamu nggak apa-apa, to nduk?" suaranya hangat tapi penuh harap.
Melati menahan diri, mengangguk cepat, "Enggak apa-apa, kok, Bun." Bunda Dyah tersenyum tipis, tapi matanya tak bisa menyembunyikan kerut kecil tanda keraguannya.
"Ayo masuk, dari tadi malah asyik ngobrol diteras." Ajak ayah Rama pada anak dan menantunya.
Revan menyeret kopernya masuk ke kamar, kamarnya dan istrinya tiap kali berlibur ke Jogja.
Setelah meletakkan koper, ia kembali menyusul yang lain. Rama, ayah Melati, menyela, “Kalian berdua lama di sini, kan?”
Melati menoleh santai sambil menyunggingkan senyum tipis, “Kalau aku sih lama, tapi Mas Revan... Nggak tau yah, kayaknya nunggu telepon dadakan baru bisa pulang.” Ucapan itu seperti jarum yang menusuk.
Revan yang baru saja keluar dari dalam tiba-tiba diam, wajahnya membeku tanpa balas sepatah kata pun.
Bunda Dyah, penasaran melihat perubahan suasana, ikut bertanya, “Telepon dadakan dari siapa?”
Melati hanya melirik sekilas ke arah suaminya yang sedang menatapnya tanpa berkedip. “Biasa, Bun. Dari kantornya di Bandung,” jawabnya datar, seolah itu hal biasa. Keheningan itu menggantung, penuh arti yang tak terucap.
"Ooo...dari kantor to kirain dari simpanannya," ucap Bunda Dyah berkelakar.
"Ya nggak mungkin Bun, mantu bunda yang ganteng ini punya simpanan, bisa dipastiin aku akan kehilangan dia selamamya," ujar Revan, duduk di dekat istrinya, dan mengecup keningnya.
"Ck...iya iya bunda percaya dan gimana bucinnya kamu sama anak bunda, bunda masih inget tuh, dulu kamu bela-belain tidur di teras demi dapetin maaf dari anak bunda."
Tiba-tiba seorang anak kecil berhijab berusia 7 tahun masuk membawa rantang dua susun sambil mengucap salam. "assalamu'alaikum Mbah, ini ada sayur gudek dari eyang ti."
"Waalaikumsalam, Icha. Makasih nduk Cang ayu. Bilang sama eyangmu, Mbah terima kasih ya. Rantangnya besok ya, besok Mbah isi."
Gadis kecil itu mengangguk dan menoleh pada Revan dan Melati yang begitu asing baginya.
"Oh iya ini Tante Melati dan Om Revan."
"Alyssa om, Tante," ucap Gadis kecil itu sopan lalu mencium punggung tangan sepasang suami istri itu.
Melati menatap gadis kecil itu saat berpamitan pulang, ada sesuatu yang membuat wajahnya terasa familiar akan tetapi ia lupa mengingatnya. "Dia siapa, Bun?" tanyanya dengan nada ragu.
Bunda Dyah tersenyum pelan, matanya menerawang sejenak. "Oh, itu anak pertama Evan. Kamu masih ingat Evan, kan? Anaknya Bude Suci. Sekarang mereka tinggal lagi di sebelah rumah kita."
Melati mengernyit, mencoba mengingat lebih jauh. "Mas Evan yang tinggal di Solo itu, ya Bun?"
"Iya, yang dulu pernah bikin suamimu cemburu itu lho sampe bela-belain pulang dari luar negri," jawab Bunda Dyah, kerlingan matanya mengarah ke wajah menantunya yang memerah, karena malu atau rasa cemburu itu datang kembali.
"Oh jadi mereka tinggal disini lagi." Tanya Melati, tak peduli dengan suaminya yang dibakar api cemburu.
Bunda Dyah mengangguk pelan, wajahnya tampak berat. "Iya, sekarang kedua anak Evan tinggal sama bude Suci. Evan sibuk ngurus perceraian dengan istrinya."
Mata Melati melebar, membekap mulutnya, "Astaghfirullah, kok bisa, Bun?" suaranya bergetar antara prihatin dan tak percaya.
Bunda Dyah menghela napas, matanya menjauh. "Biasalah, masalah orang ketiga."
Melati menatap tak percaya, seolah ingin menangkap kata-kata itu lebih jelas. "Perselingkuhan, Bun? Mas Evan yang selingkuh?"
Bunda Dyah menggeleng cepat, bibirnya mengecil. "Bukan dia, Nak. Itu istrinya. Evan mana mungkin selingkuh, tampangnya alim gitu," jawabnya sambil melirik ke arah menantunya yang duduk di samping putrinya.
Revan buru-buru menyahut, nada suaranya sedikit tegas, "Bunda kok ngeliat ke Revan, Revan nggak selingkuh."
Melati tersenyum pahit, matanya berkilat tajam, “Mungkin wajah mas yang tampang peselingkuh," sindirnya pelan.
Revan menatap Melati dengan pandangan lembut, tangannya merangkul bahunya, "Nggak mungkin, sayang. Cinta aku cuma buat kamu seorang."
"Baguslah," sahut Melati dingin, hal itu membuat bunda Dyah menatap curiga pada anak dan menantunya.
Tiba-tiba Rama, ayahnya Melati menyela
"Sudah-sudah malah ngomongi urusan rumah tangga orang, kamu ini kebiasaan Bun, nanya A, jawabannya A sampai Z."
***
Revan merangkul pinggang Melati dengan erat, matanya tak lepas dari putri kecil mereka yang tengah terlelap di buaian. "Sayang, besok Mas balik ke Jakarta. Kamu ikut Mas lagi ya, Mas nggak bisa jauh dari kamu," ucapnya dengan suara lembut, penuh harap.
Melati yang membelakangi Revan, masih sibuk menyusui Ayana. Ia terdiam sesaat, lalu menarik napas panjang seolah menenangkan hatinya yang bergemuruh .
"Aku masih ingin di sini, Mas , sampai rinduku pada ayah bunda terobati. Lagipula, kamu pasti sibuk dengan urusanmu di Bandung kan?" jawabnya pelan, tapi cukup mengusik Revan.
"Mas nggak ke Bandung lagi kok, perusahaan cabang disana mulai stabil."
"Yakin sudah selesai mas?"
"Iya."
'sampai kapan kamu menyembunyikan simpananmu itu?'
revan pulsa jgn sembunyikan lg msalah ini terlalu besar urusannya jika km brbohong terus walau dg dalih g mau nyakitin melati ,justru ini mlh buat melati salah pham yg ahirnya bikin km rugi van
sebgai lelaki kok g punya pendirian heran deh sm tingkahnya kmu van, harusnya tu ngobrol baik" sm melati biar g da salah paham suka sekali trjd slh pham ya.