Selama tujuh tahun, Reani mencintai Juna dalam diam...meski mereka sebenarnya sudah menikah.
Hubungan mereka disembunyikan rapi, seolah keberadaannya harus menjadi rahasia memalukan di mata dunia Juna.
Namun malam itu, di pesta ulang tahun Juna yang megah, Reani menyaksikan sesuatu yang mematahkan seluruh harapannya. Di panggung utama, di bawah cahaya gemerlap dan sorak tamu undangan, Juna berdiri dengan senyum yang paling tulus....untuk wanita lain.
Renata...
Cinta pertamanya juna
Dan di hadapan semua orang, Juna memperlakukan Renata seolah dialah satu-satunya yang layak berdiri di sampingnya.
Reani hanya bisa berdiri di antara keramaian, menyembunyikan air mata di balik senyum yang hancur.
Saat lampu pesta berkelip, ia membuat keputusan paling berani dalam hidupnya.
memutuskan tidak mencintai Juna lagi dan pergi.
Tapi siapa sangka, kepergiannya justru menjadi awal dari penyesalan panjang Juna... Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 : Reani Wijaya
Sorotan lampu berubah arah ketika Reani melangkah menuju panggung kecil yang sudah disiapkan untuknya—panggung yang ia sebut sebagai “pertunjukan malam ini”.
Gaun merah gelapnya berkilau ketika ia naik satu per satu anak tangga.
Musik ballroom otomatis meredup—seolah tahu bahwa seseorang dengan kekuatan besar baru saja mengambil alih pusat perhatian.
Semua tamu berhenti berbicara.
Semua mata mengikuti tiap gerakannya.
Reani berdiri tegak.
Anggun dan tidak sedikit pun gentar.
Ia mengambil mikrofon.
Suaranya lembut… namun menggema ke seluruh ruangan.
“Selamat malam.”
Ruangan langsung senyap.
“Tadi ada sedikit… kekacauan,” ia tersenyum tipis, “namun saya rasa itu membuat malam ini semakin hidup.”
Beberapa tamu tertawa kecil canggung.
Juna dan Renata menunduk—telur di rambut dan jas mereka belum kering sepenuhnya.
Reani melanjutkan.
“Malam ini saya berdiri di sini bukan hanya sebagai Direktur baru Tekno Air…”
Ia berhenti sejenak, menatap lurus para tamu.
“Namun sebagai perkenalan resmi saya.”
Ia menghembuskan napas pelan.
“Saya—Reani Wijaya.”
Bisik-bisik langsung tersulut.
“Keluarga Wijaya…?”
“Yang punya Wijaya Corp itu?”
“Serius? Yang nomor satu di Roan itu?”
Reani meneruskan dengan nada elegan.
“Ayah saya adalah Johan Wijaya.”
Sorot matanya beralih pada Johan, yang berdiri gagah bersama Sisilia.
“Ibu saya, Sisilia Subrata.”
Sisilia tersenyum kecil, melambai dengan elegan.
“Dan keluarga kami adalah pemilik Wijaya Corporation,”
ruangan terdiam total,
“perusahaan peringkat satu di seluruh negara Roan.”
Seperti ada gelombang listrik yang berdenyut melewati seluruh ballroom.
Beberapa tamu spontan berdiri.
Beberapa lainnya terperangah.
Sebagian melirik Juna dan Renata—melihat bagaimana warna wajah mereka memudar habis.
Reani tersenyum lembut, nada suaranya meningkat sedikit.
“Saya meminta maaf jika selama ini identitas saya tidak diketahui, karena keluarga kami memang… jarang tampil di depan publik.”
Ia menaikkan alis, menatap tepat ke arah Juna.
“Dan saya rasa, mulai malam ini… semua orang akhirnya paham,
bahwa keberadaan saya di Tekno Air bukanlah kebetulan.”
Doroti sudah berdiri di bawah panggung, menahan tawa—bangga setengah mati.
Reani kembali ke mikrofon:
“Mulai hari ini, saya berharap kita dapat bekerja sama dengan lebih jujur, lebih profesional, dan lebih bersih dari apa pun yang… merusak nama baik perusahaan.”
Kalimat itu ditusukkan tepat ke jantung Renata.
Renata gemetar, wajahnya pucat pasi.
Reani lalu sedikit menunduk.
“Terima kasih.”
Tepuk tangan pecah.
Kuat. Panjang. Penuh penghormatan.
Beberapa tamu bahkan memuji keras:
“Pantas saja percaya diri…”
“Keturunan Wijaya… gila ini levelnya tinggi sekali.”
“Direktur baru ternyata pewaris kerajaan bisnis terbesar…”
Sebelum Reani sempat turun dari panggung, Juna melangkah cepat, wajahnya kusut campur panik.
Ia langsung menarik pergelangan tangan Reani, cukup keras hingga beberapa tamu terkejut.
“Reani… apa maksudmu semua ini?” suaranya bergetar.
Reani menoleh perlahan, tatapannya dingin, membunuh.
Juna menelan ludah lalu menggertakkan gigi.
“Kenapa kamu tidak pernah mengatakannya padaku? Bahwa kau… keluarga Wijaya yang terkenal itu.”
Reani mendekat, napasnya kasar.
“Bukankah nama belakangku juga Wijaya!?”
Reani tersenyum sinis. “Dan kau pikir semua yang bermarga Wijaya itu otomatis keluarga ku?”
“Tapi… kau tak pernah mengatakan bahwa keluarga mu kaya, kau menipuku Reani!”
Beberapa tamu menahan napas melihat keberanian—atau kebodohan—Juna bicara begitu keras.
Reani mencabut tangannya dengan halus, kemudian berkata pelan tapi tajam seperti belati:
“Kau gila? Menipu?”
Ia maju selangkah.
“Jelas-jelas kau lah laki-laki brengsek yang menipu aku. Tujuh tahun menikah, Juna. Tujuh tahun penuh kebohongan.”
Juna terdiam setengah detik… lalu wajahnya memerah.
Reani menambahkan:
“Dengar baik-baik.”
Nada suaranya berubah ke nada peringatan.
“Jangan lupa hadir dalam sidang sepuluh hari lagi.”
Wajah Juna berubah bengis.
“REANI!”
Ia mengangkat tangan—hampir menamparnya di depan publik.
Namun—
BUGGG!!
Doroti muncul dari samping seperti petir.
Tinju kecilnya, tapi sangat terlatih, menghantam perut Juna tepat dan keras.
Juna tertekuk, hampir jatuh berlutut, memegangi perutnya sambil terbatuk.
“A-akh… Doroti! Gila kau!?”
Suaranya pecah.
Doroti menatapnya dengan jijik.
“Kau coba sentuh Rea lagi, aku patahin tanganmu.”
Renata menjerit kecil, mundur beberapa langkah.
Semua tamu terpaku.
Ada yang menahan tawa, ada yang merekam diam-diam.
Reani akhirnya kembali menatap Juna—dingin, elegan, dan tanpa simpati sedikit pun.
“Juna…”
Ia merendahkan suara, tapi setiap kata menusuk.
“Ku harap kamu tidak akan menyerah terlalu cepat.”
Senyumnya tipis, mengerikan bagi lawannya.
“Karena ini semua baru permulaan.”
Ia mendekat cukup dekat hingga Juna bisa mencium wangi parfumnya.
“Masih banyak pembalasan yang akan kau, Renata…”
tatapannya pindah ke Renata yang pucat ketakutan,
“dan keluargamu terima.”
Reani melangkah pergi bersama Doroti, meninggalkan Juna terbungkuk, Renata gemetar, dan seluruh ballroom tenggelam dalam bisik-bisik.
“Gila… Reani Wijaya itu… ngeri banget.”
“Juna tamat sudah.”
“Keluarga Wijaya? Habis mereka.”
___
Di sudut ballroom yang mulai kembali riuh, Renata berdiri dengan tangan gemetar. Rambutnya yang sempat ditarik Doroti masih berantakan, wajahnya pucat.
Ia merogoh tasnya, mengambil ponsel, dan langsung menekan kontak orang suruhannya.
Terdengar nada sambung.
Sekali…
Dua kali…
Tiga kali…
Tidak dijawab.
Renata menggigit bibir bawahnya, napasnya memburu.
Ia mencoba lagi.
Nada sambung masih berjalan—tetapi tetap tidak diangkat.
Renata menutup mulutnya dengan tangan.
“Tidak… tidak mungkin… kenapa mereka tidak merespons?”
Ia mencoba menelpon nomor lain.
Yang ini bahkan langsung tidak aktif.
Sebuah firasat buruk merayap naik di tulang belakangnya.
Seperti ada tangan dingin yang mencengkeram tengkuknya.
“Juna…” bisiknya ketakutan, mendekati pria itu.
Juna masih membungkuk memegangi perutnya, wajahnya memerah menahan marah dan malu.
Ia mengangkat kepalanya perlahan.
“Ada apa?” suaranya serak.
“Orang-orang itu… tidak bisa kuhubungi.”
Renata menelan ludah.
“Mereka seharusnya bergerak malam ini, tapi… tidak ada satu pun yang menjawab. Nomornya… bahkan ada yang tidak aktif.”
Juna menatapnya.
Tatapan itu bukan simpati.
Bukan juga kemarahan.
Tatapan itu adalah… kesadaran.
Kesadaran bahwa Renata telah mengacaukan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang bisa ia kendalikan.
Renata berbisik lagi, lebih lirih.
“Juna… aku takut. Apa yang terjadi pada mereka? Jangan bilang… Reani—”
“Sudah.” Juna memotong, suaranya rendah.
“Berhenti menyebut namanya.”
Renata terkejut.
“Jun… kau marah padaku?”
Juna berdiri perlahan. Wajahnya gelap.
Dendam dan amarahnya mengalir pada dua arah sekaligus—pada Reani… dan pada Renata.
“Renata…”
Ia mendekat, nadanya getir.
“Kau membuatku terlihat seperti badut di depan ratusan orang.”
Renata mundur satu langkah.
“B-bukan salahku! Semua karena Reani dan—”
“Salahmu,” potong Juna tajam.
“Kalau kau tidak menggodaku! Aku tidak akan mengkhianati Reani.”
Renata gemetar.
“Jun… aku hanya ingin melindungi kita. Kau tahu aku melakukannya karena cinta.”
“Cinta?”
Juna tertawa pendek—sinis, pedih.
“Cinta apa itu, Renata? Cinta yang membuat kita terlihat seperti pasangan murahan di depan publik?”
Renata memegang lengannya.
“Jun… kau masih mencintai Reani?? Kau ingin kembali padanya? Meski dia—”
“Cukup!!”
Renata terdiam ketakutan.
Juna memalingkan wajah.
“Aku… aku tidak bisa bertindak sekarang.”
Suaranya melemah.
“Reani pasti memanfaatkan ku nanti... Dia ingin aku menyerah duluan.”
Renata menatapnya, hampir menangis.
“Lalu… apa yang akan kau lakukan?”
Juna mengepal kuat.
“Aku… hanya perlu menunggu. Saat dia lengah… aku akan membalas.”
Tatapannya gelap, tapi ada getir yang jelas.
“Tapi aku juga… masih berharap dia memaafkan aku.”
Ia menunduk.
“Tujuh tahun bersama… aku… tidak bisa menghapus itu begitu saja.”
Begitu kata-kata itu keluar, Renata merasa seluruh isi dadanya runtuh.
Karena ia akhirnya menyadari.
Bukan hanya rencananya yang gagal.
Bukannya hanya suruhannya yang lenyap entah kemana.
Ia juga kehilangan kendali atas Juna.
Renata berbisik pelan, suaranya pecah.
“Jun… jangan tinggalkan aku…”
Tapi Juna tidak menjawab.
Ia hanya memandang jauh ke depan ballroom, ke arah tempat Reani berdiri bersama keluarga besar Wijaya—tempat dimana ia tidak lagi bisa menyentuhnya.
Dan rasa putus asa mulai menggerogoti Renata seperti racun lambat.
bersambung....