Kerajaan itu berdiri di atas darah, dusta, dan pengkhianatan.
Putri Mahkota yang logis dan penuh tanggung jawab mulai goyah ketika seorang tabib misterius menyingkap hatinya dan takdir kelam yang ia sembunyikan.
Putri Kedua haus akan kekuasaan, menjadikan cinta sebagai permainan berbahaya dengan seorang pria yang ternyata jauh lebih kuat daripada yang ia kira.
Putri Ketiga, yang bisa membaca hati orang lain, menemukan dirinya terjerat dalam cinta gelap dengan pembunuh bayaran yang identitasnya bisa mengguncang seluruh takhta.
Tiga hati perempuan muda… satu kerajaan di ambang kehancuran. Saat cinta berubah menjadi senjata, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13 : Pergilah Sejauh Mungkin
Arion tertegun melihat sosok asing itu berdiri terlalu dekat dengan Veyra. Seketika, ia melepaskan pelukan dari Lyanna dan menghunus pedangnya, ujungnya terarah lurus ke arah pria tersebut.
“Siapa kau? Menjauh darinya!” seru Arion tegas.
Pria itu hanya melirik sekilas, sorot matanya tajam menusuk. Dengan gerakan perlahan namun penuh tekanan, lengannya melingkari tubuh Veyra dari belakang, seolah menegaskan bahwa ia sama sekali tak gentar. Suara tawanya rendah, dingin, menyusup ke udara.
“Putri ini sudah mengambil targetku... lain kali berhati-hatilah bila kita bertemu kembali.”
Tanpa menunggu jawaban, ia melepaskan cengkeramannya. Jubah hitamnya berayun seiring langkah mundurnya, lalu sosok itu berbalik dan lenyap dalam bayang-bayang, meninggalkan ketegangan yang menggantung.
Veyra menunduk, menatap bangsawan yang tergeletak di bawah kakinya. Perlahan, kepalanya terangkat. Pandangannya kosong, namun tajam, seolah membakar arah pria misterius yang baru saja pergi. Jemarinya mengepal kuat, sebelum akhirnya ia melirik Arion dengan tatapan keras.
“Urus bangsawan bajingan ini,” ucapnya datar namun penuh amarah.
Tanpa menunggu, Veyra menghampiri Lyanna yang kini berjongkok di samping gadis malang itu. Ia ikut berlutut, matanya menelusuri memar-memar di lengan si gadis yang gemetar. Lyanna segera menuangkan air ke dalam cawan kecil, menyodorkannya dengan lembut.
“Minumlah. Kau aman sekarang,” katanya menenangkan.
Dengan tangan bergetar, gadis itu meneguk air sedikit demi sedikit, lalu berbisik lirih, “Terima kasih...”
Veyra menatapnya dengan dahi berkerut. “Siapa kau? Dan bagaimana bisa bangsawan itu mengganggumu?” tanyanya penuh selidik.
Lyanna cepat-cepat menyentuh lengannya, memberi isyarat agar Veyra tidak menekan gadis itu. “Bukan sekarang. Dengarkan baik-baik, ini adalah penari asing yang kita cari,” bisiknya pelan.
Veyra tertegun. Matanya bergeser ke arah Lyanna, tak percaya bagaimana kakaknya bisa mengetahui hal itu. Bahkan sang penari sendiri ikut terheran.
“Bagaimana... kau bisa tahu?” suaranya gemetar.
Lyanna tersenyum tipis. “Saat kau datang ke istana dengan tudung menutupi wajahmu, aku mengenalimu. Memar di tanganmu tidak bisa menipu mataku.”
Mendengar itu, penari itu semakin terkejut. Menyadari siapa yang berdiri di hadapannya, tubuhnya langsung bergetar hebat. Ia menunduk dalam-dalam, lalu berlutut dan bersujud di tanah.
“Ampuni aku, Yang Mulia... maafkan aku. Aku tak bermaksud melakukan ini. Aku terpaksa... aku tidak punya pilihan,” suaranya pecah di antara isak.
Kepalanya menunduk begitu rendah hingga menyentuh tanah, membuat Lyanna tergesa mengangkatnya kembali dengan lembut.
“Cukup, jangan lakukan itu. Kami tidak datang untuk menghukummu. Kami hanya ingin bertanya... meski tak menyangka akan menemukanmu dalam keadaan begini.”
Lyanna menatap matanya dengan penuh ketulusan, lalu bertanya, “Katakan padaku, apakah semua ini ada hubungannya dengan pria tadi?”
Veyra menoleh dengan sorot mata tajam, suaranya terdengar dingin.
“Tidak. Semua ini ulah bangsawan keparat itu. Dia yang menyuruh... dia yang memaksa gadis ini.”
Lyanna menoleh tajam ke arah adiknya.
“Veyra, jangan asal menebak,” ucapnya dengan nada peringatan.
Namun Veyra hanya memutar mata, ketegangan di wajahnya sedikit mereda. Ia menunduk mendekati sang penari, suaranya lirih namun menusuk.
“Kalau begitu... apakah aku salah menebak, jika sebenarnya bajingan itu memang memaksamu?”
Gadis itu terdiam, bibirnya bergetar seakan hendak menjawab namun urung. Kesunyian itu cukup bagi Veyra untuk menarik napas panjang, lalu menghela pelan. Tanpa berkata lagi, ia meraih kalung berlian yang melingkar di lehernya.
Lyanna terkejut, matanya membesar.
“Veyra... apa yang kau lakukan?” tanyanya tak percaya.
Tanpa menjawab, Veyra menggenggam jemari si penari, lalu menaruh kalung itu di telapak tangannya. Dengan lembut, ia menutup jari gadis itu agar menggenggamnya erat. Sorot matanya dingin, namun dalam nada suaranya terselip ketulusan.
“Bawalah ini. Dan pergilah sejauh mungkin dari tempat ini, jika kau merasa hidupmu tak lagi aman di sini.”
Gadis itu terperanjat, menatap Veyra dengan mata berkaca-kaca, seakan tak percaya seorang putri bisa memberinya sesuatu begitu berharga.