Di tahun 2070, nama Ethan Lawrence dirayakan sebagai pahlawan. Sang jenius muda ini telah memberikan kunci masa depan umat manusia: energi tak terbatas melalui proyek Dyson Sphere.
Tapi di puncak kejayaannya, sebuah konspirasi kejam menjatuhkannya.
Difitnah atas kejahatan yang tidak ia lakukan, sang pahlawan kini menjadi buronan nomor satu di dunia. Reputasinya hancur, orang-orang terkasihnya pergi, dan seluruh dunia memburunya.
Sendirian dan tanpa sekutu, Ethan hanya memiliki satu hal tersisa: sebuah rencana terakhir yang brilian dan berbahaya. Sebuah proyek rahasia yang ia sebut... "Cyclone".
(Setiap hari update 3 chapter/bab)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28: Makan Malam yang Dingin
Pesan itu muncul di layar pribadi Ethan pada hari Jumat sore, sebuah anomali di antara aliran data teknis dan memo resmi. Itu dari Luna.
`Makan malam. Apartemen Nate. Malam ini. Jam 7. Wajib hadir. Bawa dirimu yang dulu.`
Ethan menatap pesan itu lama. Dia belum berbicara dengan Nate sejak konfrontasi sengit mereka di kantornya seminggu yang lalu—Nate tidak menjawab panggilannya, dan Ethan terlalu sibuk (atau terlalu pengecut) untuk menemuinya langsung. Dia tahu Nate marah. Dia tahu dia telah menyakitinya.
Dan Luna... dia tahu Luna pasti merasakannya. Luna selalu menjadi perekat emosional mereka, barometer sensitif yang bisa mendeteksi badai bahkan sebelum awan berkumpul.
Dia hampir mengetik balasan—*Maaf, Lun, terlalu sibuk. Rapat mendadak.*—alasan standar yang kini dia gunakan untuk menghindari dunia luar.
Tapi kemudian dia melihat bagian terakhir dari pesan itu. `Bawa dirimu yang dulu.`
Itu menusuknya. Apakah dia sudah begitu berubah? Apakah "Direktur Pradana" telah sepenuhnya menelan Ethan?
Dia menghapus draf balasannya. Dia mengetik satu kata: `Oke.`
Dia bahkan mengambil langkah ekstra: dia meninggalkan kantornya satu jam lebih awal, pukul 18:00—sebuah tindakan yang membuat Kenji hampir pingsan karena kaget. Dia tidak naik pod Direktur-nya. Dia naik kereta Maglev umum ke Zona-B, mencoba merasakan kembali bagaimana rasanya menjadi... normal.
Perjalanan itu canggung. Orang-orang mengenalinya. Mereka berbisik. Beberapa mencoba mengambil foto sembunyi-sembunyi. Tidak ada yang berani mendekat. Dia adalah spesimen langka di habitat umum. Dia merasa lebih terasing daripada saat dia sendirian di kantornya.
Dia tiba di depan pintu 14B tepat pukul 19:00. Dia ragu-ragu, lalu mengetuk—tidak menggunakan panel aksesnya.
Pintu terbuka. Luna berdiri di sana. Dia tersenyum, senyum yang sedikit dipaksakan, tetapi tulus. "Kau datang."
"Kau bilang wajib," kata Ethan, mencoba tersenyum balik.
"Masuklah."
Apartemen Nate tampak... berbeda. Lebih rapi. Papan investigasi digitalnya dimatikan. Tidak ada lensa kamera yang bertebaran. Bahkan ada taplak meja kecil di meja kopi. Baunya juga berbeda—bukan kopi basi, tapi sesuatu yang harum. Ayam panggang?
"Wow," kata Ethan. "Apa yang terjadi di sini? Apa Nate akhirnya menyewa pembersih?"
"Aku yang melakukannya," kata Luna dari dapur kecil. Dia sedang mengeluarkan ayam panggang emas dari oven. "Dan jangan biasakan. Ini hanya untuk acara khusus."
"Acara khusus?"
"Ya," katanya, tidak menatapnya. "Malam ini kita akan menjadi normal. Tidak ada Dyson Sphere. Tidak ada politik. Tidak ada investigasi. Hanya... kita."
Saat itulah Nate keluar dari kamarnya. Dia mengenakan kemeja bersih—sebuah keajaiban tersendiri—tetapi ekspresinya kaku. Dia mengangguk singkat pada Ethan. "Eth."
"Nate," balas Ethan, merasa canggung.
Keheningan yang tidak nyaman menggantung di antara mereka. Keheningan yang dulunya tidak pernah ada. Dulu, mereka bisa mengisi keheningan dengan ejekan, lelucon, atau sekadar keberadaan yang nyaman. Sekarang, keheningan itu terasa berat, dipenuhi dengan hal-hal yang tidak terucapkan.
"Ayamnya sudah siap!" kata Luna ceria, mencoba memecah ketegangan. "Nate, bantu aku membawa piring. Ethan, kau bisa duduk."
Mereka duduk di meja makan kecil yang reyot di sudut ruangan—meja yang biasanya hanya digunakan Nate untuk menumpuk surat. Luna telah menyalakan lilin. Itu adalah upaya yang menyentuh hati untuk menciptakan keintiman, tetapi entah bagaimana itu hanya membuat kecanggungan semakin terasa.
Luna menyajikan ayam, kentang panggang, dan salad. Makanan sungguhan. Bukan bubur nutrisi atau makanan cepat saji.
"Ini... luar biasa, Lun," kata Ethan tulus, merasakan perutnya keroncongan. Dia tidak ingat kapan terakhir kali dia makan makanan rumahan.
"Terima kasih," kata Luna. "Aku belajar dari Nyonya Petrov."
Mereka mulai makan dalam diam. Hanya suara denting garpu di piring.
"Jadi," kata Luna akhirnya, mencoba memulai percakapan. "Bagaimana... harimu, Eth?"
"Sibuk," jawab Ethan otomatis. Lalu dia sadar. *Tidak ada pekerjaan.* "Maksudku... baik. Tenang."
"Tenang?" Nate mendengus pelan. "Kudengar kau hampir menyebabkan kerusuhan di tim plasmamu kemarin."
Ethan menegang. "Itu hanya... perbedaan pendapat ilmiah. Sudah diselesaikan."
"Begitukah caramu menyebutnya?" kata Nate. "Clara mendapat salinan log rapat itu. Kedengarannya lebih seperti kau membungkam perbedaan pendapat."
"Itu tidak benar!" balas Ethan, nadanya sedikit terlalu defensif. "Frost mencoba menyabotaseku! Aku hanya..."
"Frost memang brengsek," Nate mengakui. "Tapi mungkin dia ada benarnya kali ini? Mungkin kau bergerak terlalu cepat?"
"Aku tahu apa yang kulakukan!"
"Apa benar?" Nate meletakkan garpunya. "Karena dari tempatku duduk, kau tampak seperti sedang berlari menuju tebing sambil menutup mata."
"Nate," kata Luna memperingatkan.
"Tidak, Lun," kata Nate, tidak mengalihkan pandangannya dari Ethan. "Dia perlu mendengarnya. Kau dikelilingi oleh ular, Eth. Rostova. Thorne. Dan kau bertingkah seolah kau kebal. Kau tidak."
"Aku tidak naif," kata Ethan dingin. "Aku tahu risikonya."
"Kau tahu?" Nate tertawa getir. "Kau menandatangani laporan Thorne tanpa membacanya! Aku melihatnya! Kau memberi mereka izin untuk membunuh orang-orang itu di Mars!"
"Aku tidak tahu!" teriak Ethan, berdiri dari kursinya. "Aku tidak tahu apa yang ada di lampiran itu!"
"Itu bukan alasan!" balas Nate, juga berdiri. "Itu tugasmu untuk tahu! Kau Direkturnya! Kau yang bertanggung jawab!"
"BERHENTI!"
Teriakan Luna mengejutkan mereka berdua. Dia berdiri di antara mereka, matanya berkaca-kaca karena frustrasi dan kesedihan.
"Cukup," katanya, suaranya bergetar. "Aku mencoba... aku hanya mencoba untuk satu malam... agar kita bisa menjadi *kita* lagi."
Dia menatap Ethan, lalu ke Nate. "Lihat diri kalian. Kalian bersaudara. Kalian seharusnya saling mendukung, bukan saling menyerang."
Keheningan kembali turun, kali ini dipenuhi rasa malu.
Ethan perlahan duduk kembali. Nate tetap berdiri, tetapi dia membuang muka, tinjunya mengepal di sisinya.
"Maaf, Lun," bisik Ethan.
Nate tidak mengatakan apa-apa. Dia berjalan ke jendela dan menatap ke luar, ke lampu-lampu Zona-B yang ramai.
Luna duduk kembali, nafsu makannya hilang. Ayam panggang yang lezat itu kini terasa seperti abu di mulut mereka.
Mereka menghabiskan sisa makan malam dalam keheningan yang menyakitkan. Luna mencoba beberapa kali lagi untuk memulai percakapan ringan—tentang film baru, tentang teman lama dari panti—tetapi kata-katanya menggantung di udara, tidak dijawab.
Setelah makan malam, Nate segera masuk ke kamarnya, menutup pintu di belakangnya. Suara ketukan keyboard yang marah terdengar dari dalam.
Ethan membantu Luna membereskan piring dalam diam.
"Aku gagal, ya?" kata Luna pelan, saat mereka berdiri di depan wastafel dapur yang kecil.
"Bukan salahmu," kata Ethan. "Ini... rumit."
"Selalu rumit dengan kalian berdua," kata Luna. Dia bersandar di meja dapur, menyilangkan lengannya, menatap Ethan dengan ekspresi sedih. "Apa yang terjadi padamu, Eth?"
Ethan berhenti mengeringkan piring. "Apa maksudmu?"
"Kau," katanya. "Kau berbeda. Kau jauh. Bahkan saat kau di sini... kau tidak benar-benar di sini." Dia ragu-ragu. "Kau tampak... takut."
Ethan tertawa kecil tanpa humor. "Aku punya alasan untuk takut."
"Aku tahu." Dia melangkah lebih dekat. "Tapi kau tidak harus menghadapinya sendirian. Kau punya aku. Kau punya Nate."
"Nate membenciku."
"Dia tidak membencimu," kata Luna. "Dia marah. Dia terluka. Dia takut kehilanganmu—kehilangan *kita*. Sama sepertiku."
Ethan menatapnya. Dia ingin memberitahunya segalanya. Tentang Thorne. Tentang Rostova. Tentang memo itu. Tentang rasa bersalah yang menggerogotinya.
Tapi dia tidak bisa. Itu akan menempatkannya dalam bahaya. Itu akan menghancurkan citranya tentang dirinya.
"Aku baik-baik saja, Lun," katanya, mencoba tersenyum meyakinkan. "Hanya... banyak tekanan."
Luna menatapnya lama, matanya mencari sesuatu di matanya. Dia jelas tidak mempercayainya. "Tekanan mengubah orang, Eth," katanya pelan. "Jangan biarkan itu mengubahmu menjadi seseorang yang tidak kukenal."
Kata-kata itu—begitu mirip dengan peringatan Nate—menusuknya lagi.
"Aku masih aku," katanya, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri daripada Luna.
Luna mengulurkan tangan dan menyentuh lengannya. "Aku harap begitu." Dia menarik tangannya. "Aku harus pergi. Aku ada piket pagi di rumah sakit."
"Aku akan mengantarmu."
"Tidak perlu," katanya. "Aku bisa naik Maglev." Dia berhenti di pintu. "Bicaralah padanya, Eth." Dia mengangguk ke arah kamar Nate. "Sebelum terlambat."
Dia pergi, meninggalkan Ethan sendirian di apartemen yang kini terasa dingin dan asing.
Dia berdiri di sana sejenak, mendengarkan suara ketukan keyboard Nate yang marah dari kamar sebelah. Dia tahu Luna benar. Dia harus bicara pada Nate. Dia harus memperbaiki ini.
Tapi dia tidak bisa. Belum. Tidak sampai dia punya rencana. Tidak sampai dia bisa menawarkan Nate lebih dari sekadar permintaan maaf—dia harus menawarkan keadilan.
Dia berjalan ke pintu. Dia tidak mengucapkan selamat tinggal pada Nate. Dia hanya pergi, menyelinap kembali ke malam Zona-B, kembali ke menara gadingnya yang sepi.
Makan malam itu seharusnya menjadi momen rekonsiliasi. Sebaliknya, itu hanya menggarisbawahi betapa jauhnya mereka telah terpisah. Retakan pertama telah menjadi jurang. Dan Ethan berdiri sendirian di satu sisi, menatap ke seberang kegelapan.