Jika bukan cinta, lalu apa arti ciuman itu? apakah dirinya hanya sebuah kelinci percobaan?
Pertanyaan itu selalu muncul di benak Hanin setelah kejadian Satya, kakaknya menciumnya tiba-tiba untuk pertama kali.
Sayangnya pertanyaan itu tak pernah terjawab.
Sebuah kebenaran yang terungkap, membuat hubungan persaudaraan mereka yang indah mulai memudar. Satya berubah menjadi sosok kakak yang dingin dan acuh, bahkan memutuskan meninggalkan Hanin demi menghindarinya.
Apakah Hanin akan menyerah dengan cintanya yang tak berbalas dan memilih laki-laki lain?
Ataukah lebih mengalah dengan mempertahankan hubungan persaudaraan mereka selama ini asalkan tetap bersama dengan Satya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi Asti A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merindukan Kakak
Hanin akhirnya mengetahui bahwa Niken adalah dalang dibalik penyekapan dirinya. Dari yang didengar hanya masalah iri dan cemburu, dan mereka beralasan hanya bercanda. Sayangnya dua temannya tak setia pada Niken dan memojokkan Niken dengan melimpahkan kesalahan hanya pada gadis itu. Kabarnya Niken juga dibawa ke tempat khusus menangani anak-anak nakal khusus perempuan selama satu bulan. Lebih buruknya lagi, dia diputuskan Awan di depan Hanin saat berusaha mengganggunya beberapa hari yang lalu.
Hanin akhirnya tiba di depan ruang kelasnya yang sudah sepi. Sepertinya semua anak sudah masuk ke dalam kelas. Hanin menyiapkan diri, bersikap seolah tidak terjadi apa pun dengannya. Memeriksa wajahnya supaya tak tampak habis menangis.
Begitu membuka pintu semua memandang ke arah dirinya. Zaki dan Rio terlihat senang melihat kedatangannya. Melihat Hanin datang seorang diri, Rio dan Zaki langsung mencecarnya.
“Kau baik-baik saja, kan? Di jalan tidak ada anak-anak yang mengganggumu kan, Hanin?” tanya Rio sembari mengiringi langkah Hanin saat menuju tempat duduknya.
“Menurutmu apa ada yang berani? Aku kan adiknya Satya,” jawab Hanin penuh percaya diri.
Rio dan Zaki tersenyum lega mendengar jawaban Hanin, karena jika terjadi sesuatu dengan Hanin, Satya akan menyalahkan mereka berdua.
“Baguslah, tapi jika ada sesuatu yang terjadi, atau ada anak-anak yang berani mengganggumu kau harus bilang pada Kak Rio dan Kak Zaki ya, biar kami berdua yang menghadapinya,” ujar Rio dengan lagaknya sok keren dan berani. Hanin hanya mengulas senyum setelah itu menyibukkan diri dengan menyiapkan buku pelajaran.
Hanin tidak menceritakan apa pun tentang perlakuan Iren dan Lisa sebelumnya, Rio dan Zaki tidak akan tinggal diam, jelas akan melaporkan perbuatan mereka pada Satya.
Meskipun tidak suka dengan kelakuan dua anak Geng Rubah itu, tapi Hanin menganggap sikap Iren dan Lisa hanya bentuk pembelaan mereka pada Niken sahabat mereka saja. Jika dirinya memberitahu Rio dan Zaki, Satya sudah pasti akan mengetahuinya. Satya akan marah pada Iren dan Lisa, lalu membuat perhitungan dengan dua remaja itu nanti.
Seperti perintah Satya, Rio dan Zaki mulai mengikuti dan menjaga Hanin ke mana pun Hanin pergi, termasuk saat Hanin pergi ke kantin, mereka berdua selalu berada di samping Hanin bak pengawal.
“Bolehkan aku ikut gabung?”
Ketika berada di kantin, Awan tiba-tiba muncul langsung duduk di kursi kosong menyingkirkan satu anak siswi yang duduk di hadapan Hanin. Selayaknya pengawal Rio dan Zaki datang menghampiri, mengapit Awan dengan berdiri di sampingnya. Awan paham apa tujuan mereka berdua.
“Tenang saja, aku di sini hanya ingin menemani Hanin makan,” kata Awan.
“Kau bisa cari tempat lainnya dan bukan di sini,” kata Rio.
“Sorry, tapi tidak bisa, aku lebih nikmat kalau makan sambil memandang pacarku,” ucap Awan sembari tak lepas memandangi gadis manis di hadapannya itu.
Ditatap seperti itu dan senyuman manis Awan membuat Hanin salah tingkah tak berani melihat ke arah Awan. Berbeda dengan reaksi Rio dan Zaki
“Hai! Semenjak kapan Hanin jadi pacarmu, Hah? Jangan asal mengaku. Kalau Satya tahu ucapanmu itu wajahmu bisa bonyok nanti.” Rio emosi, tapi Hanin yang dibelanya justru tenang-tenang saja menyesap minuman dingin di hadapannya dan menikmati siomay kesukaannya, membuat Rio seperti tak ada harganya.
“Stop terlalu banyak makan yang berlemak, Hanin, nanti kau bertambah gemuk.” Tiba-tiba Awan menarik piring berisi siomay itu ke hadapannya dan dia mulai menikmati siomay itu.
Hanin mendengus, menarik kembali piring siomay ke hadapannya. Menghalangi Awan mengambilnya kembali. Awan tersenyum smirk, membuat jantung Hanin berdegup tak karuan.
“Jadi kau tidak suka gadis gemuk? Meskipun itu juga adalah diriku?” tanya Hanin basa-basi.
“Kalau itu kau, tidak ada masalah, kau tetap terlihat cantik meskipun gemuk. Jadi apakah kau sudah bersedia menjadi pacarku?” tanya Awan tiba-tiba. Rio memutar bola matanya serasa mau muntah mendengar rayuan Awan. Perkataan Awan sudah jelas hanya ucapan gombal dari seorang perayu ulung.
“Maaf, tapi aku belum bisa menjawabnya.” Hanin beranjak, mengajak teman-temannya meninggalkan kantin, demikian dengan Rio dan Zaki ikutan pergi. Sebelum meninggalkan kantin, Rio memberikan isyarat jari jempol terbalik pada Awan.
Awan masih duduk di tempatnya. ‘Jawaban menggantung,’ batinnya.
Tampaknya usaha Awan tak berhenti sampai di situ. Hanin yang masih belum memberikan kepastian membuat Awan tak berhenti terus mengejarnya. Ketika pulang sekolah Awan pun menawarkan diri untuk mengantar Hanin pulang.
“Ayo, Hanin, biar aku antar, aku bisa menjagamu sampai rumah,” ucap Awan di atas motornya mengiringi langkah Hanin saat mereka di tempat parkir.
“Tidak bisa, aku dijemput Pak Joko,” sahut Hanin. Berjalan dengan cepat kemudian melongok ke arah jalan di mana Pak Joko menunggunya. Hanin menarik nafas lega akhirnya pria itu datang juga, atau dia akan dibuat bosan terus dikejar-kejar Awan.
Melihat Hanin masuk mobil Awan berhenti mengejarnya. Namun, diam-diam dia mengikuti mobil yang membawa Hanin dengan jarak yang cukup jauh hingga dia mendapatkan keinginannya, yaitu mengetahui rumah gadis yang sedang dikejarnya itu. Setelah tahu alamat rumah Hanin, Awan pergi meninggalkan tempat itu tanpa ada yang melihatnya.
••
Sampai di rumah Hanin langsung masuk kamar ingin segera menghubungi Satya. Merebahkan tubuhnya yang masih mengenakan seragam, lalu membuka ponselnya.
‘Ponsel kakak masih belum aktif, apa masih di perjalanan? Atau mungkin dia baru sampai dan sedang tidur?’ Hanin berbicara dengan dirinya sendiri.
Hanin memutuskan mengirimkan pesan pada Satya untuk segera menelepon jika sudah sampai. Begitu pesan terkirim, Hanin beranjak bangun dan pergi ke kamar mandi. Ponselnya Ia letakkan di atas kasur begitu saja, dan satu panggilan masuk tanpa Hanin ketahui.
Lima menit kemudian Hanin keluar mengenakan pakaian santai kaos oblong warna putih dan Stretch hitam. Ia kembali mengecek ponselnya dan wajahnya berubah muram. Dia kecewa saat melihat panggilan Satya yang tidak terjawab.
Mendapatkan panggilan Miranda, Hanin turun untuk makan siang. Kali ini dia tidak ingin terlewat lagi dari panggilan Satya, dia terus membawa-bawa ponselnya di mana pun dia berada.
Baru ketika malam hari saat Hanin sedang belajar, Satya kembali menghubunginya. Mengubah raut wajahnya yang muram menjadi semringah.
“Kak Satya ke mana saja? dari tadi Hani sudah menunggu kakak menelepon.”
“Kau yang ke mana? Tadi Kakak menelepon kau tidak mengangkatnya.”
“Hani sedang di kamar mandi, Kak.”
“Sekarang lagi apa?”
“Belajar.”
“Belajar, atau main ponsel?”
“Belajarlah, Kakak!” seru Hani geregetan ”Tapi, banyak tugas, dan Hani sulit mengerjakannya.”
“Coba kakak lihat?”
Hanin kemudian mengubah panggilan itu menjadikan video call hingga dia bisa melihat wajah Satya yang mengenakan kaos oblong putih yang biasa dia pakai saat tidur. Posisi Satya sedang berbaring di ranjang bersandar pada tumpukan bantal.
“Mana tugasnya? Tunjukkan padaku!” pinta Satya saat menyadari Hanin justru memperhatikan dirinya.
Hanin buru-buru mengarahkan kamera pada bukunya supaya Satya bisa melihatnya. Satya kemudian menjelaskan rumus dan cara mengerjakan tugas matematika itu.
“Bagaimana? Sudah paham?” tanya Satya.
Hanin garuk-garuk kepala sambil memanyunkan bibirnya. Dia merasa masih sulit memahaminya, atau dia terlalu malas berpikir karena Satya tidak berada bersamanya.
Hanin kembali mengarahkan kamera pada dirinya. Seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi terlihat ragu. Melihat sikap Hanin dan raut wajahnya, Satya bisa menebak apa yang adiknya itu pikirkan saat ini.
“Kenapa diam? Sekarang aku matikan ponselnya dan kerjakan tugas itu.”
“Tunggu! Jangan dulu dimatikan. Hani sudah menunggu kakak dari tadi masa sudah dimatikan?”
“Kerjakan dulu tugasnya baru nanti kita bicara lagi.”
“Nanti saja ya, Kak, sebentar saja, Hani masih kangen dengan Kak Satya.” Hanin merengek.
“Hani, ..., lihat, jam berapa sekarang.” Satya menunjuk pada jam di tangannya.
“Iya, ..., iya,” sahut Hanin kesal.
Hanin memanyunkan bibirnya, kemudian mematikan ponsel dengan kecewa. Dia mulai mengerjakan tugas sekolah seperti yang diajarkan Satya padanya.
Sambil mengerjakan tugas, Hanin berulang kali menyapu kedua matanya yang basah. Dia teringat dengan perlakuan Iren dan Lisa yang kasar padanya. Andai saja ada Satya, dirinya tidak akan pernah mengalami hal itu. Meskipun dimarahi Satya sekalipun Satya belum pernah melakukan seperti yang dilakukan Iren dan Lisa.
Hanin selalu diperlakukan lembut seperti seorang putri oleh Satya dan keluarganya, karena Hanin yang manja dan selalu bersikap seperti anak kecil. Dia pun tak pernah menyakiti orang lain.
Hanin ingin berbicara dengan Satya dan menceritakan semuanya, tapi Satya sulit untuk diajak berbicara.
‘Kau ini bukan gadis yang pintar, kau juga manja. Tanpa Satya kau tidak akan dikenal di sekolah.’
Hanin teringat dengan ucapan Iren, hatinya semakin sedih.
••
Sementara Satya masih berkumpul bersama siswa-siswi lain, belajar bersama dalam satu ruangan.
Ketika jam sembilan malam, setelah semuanya tidur, Satya duduk di teras di luar ruangan. Dia mengecek kembali ponselnya. Namun, tak ada pesan maupun telepon dari Hanin. Satya ingin menghubungi, tapi dia takut justru mengganggu belajarnya Hanin. Meskipun dia tahu di jam Sembilan ada kemungkinan Hanin sudah menyelesaikan tugas sekolahnya.
Sampai jam menunjuk pukul sepuluh malam, Hanin masih tak juga menghubunginya. Satya agak kecewa, lalu dia masuk ruangan dan merebahkan tubuhnya.
••
Pagi hari Hanin terbangun dengan kaget oleh bunyi alarm di jam 04.15 menit. Seperti biasa dia hanya mematikan bunyinya yang berisik, lalu tidur lagi sekitar sepuluh menit.
Hanin bangun dengan tubuh pegal gara-gara semalaman dia tidur sambil duduk di kursi dekat meja belajar. Kedua matanya juga tampak sembab. Dia menggerutu karena melewatkan tidur dengan nyaman di kasur empuknya.
Usai mandi dan mengenakan seragam sekolah dan merasa diri sudah rapi dia meraih tas, lalu memasukkan semua buku yang dia gunakan semalam untuk belajar. Juga, ponselnya ke dalam tasnya, tanpa melihat pesan maupun panggilan yang masuk. Hanin sangat buru-buru.
Dengan langkah setengah berlari dia menuruni tangga menuju ruang makan.
“Jangan lari, Hani, kau kan baru sembuh,” ujar Miranda mengingatkan.
“Hani sudah baikkan, Mama tenang saja,” ucapnya sembari menarik kursi meja makan.
“Tetap saja kau harus berhati-hati,” imbuh Elvan yang sudah duduk lebih awal.
Miranda terlalu sibuk menyiapkan makanan, sementara Elvan berulang kali menerima telepon dari kantornya. Membuatnya tak fokus saat sarapan.
Sementara Hanin dia baru ingat sesuatu. Dia beranjak dan menyudahi makannya yang belum selesai kemudian kembali lagi ke kamarnya dengan terburu-buru.