Follow IG othor @ersa_eysresa
Anasera Naraya dan Enzie Radeva, adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Namun tepat di hari pernikahan, sebuah tragedi terjadi. Pesta pernikahan yang meriah berubah menjadi acara pemakaman. Tapi meskipun begitu, pernikahan antara Ana dan Enzie tetap di laksanakan.
Namun, kebahagiaan pernikahan yang diimpikan oleh Ana tidak pernah terjadi. Karena bukan kebahagiaan yang dia dapatkan, tapi neraka rumah tangga yang ia terima. Cinta Enzie kepada Ana berubah menjadi benci di waktu sama.
Sebenarnya apa yang terjadi di hari pernikahan mereka?
Apakah Ana akan tetap bertahan dengan pernikahannya atau menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Acuh
Enzi hanya bisa menatap punggung Ana yang menghilang di lantai atas, kemarahannya mendidih. Dia merasa diremehkan, dan itu adalah perasaan yang paling dibenci Enzi. Ia baru saja akan melangkah menuju tangga untuk mengejar Ana dan menuntut penjelasan, namun tangan Amel menahannya.
"Zi, jangan sekarang," bisik Amel lembut, menarik lengan Enzi ke sofa. Dia memaksakan Enzi untuk duduk kembali. "Kau sedang dikuasai amarah. Jangan biarkan dia melihatmu kehilangan kendali, Ana akan semakin takut padamu. Beri dia waktu untuk tenang."
Amel duduk di samping Enzi, mengusap lengan pria itu perlahan. "Kau harus terlihat berkuasa, bukan pria yang panik karena diabaikan istrinya. Beri dia waktu. Aku yakin dia hanya sedang menguji seberapa jauh batas kesabaranmu."
Enzi mengangguk, napasnya masih terengah-engah. Amel benar. Dia harus terlihat berkuasa di rumah ini, bahkan atas dirinya.
"Kau benar," desis Enzi, menatap Amel dengan pandangan yang masih tajam. "Aku akan bicara dengannya setelah makan malam. Dia harus tahu konsekuensi dari melawan dan bertindak seenaknya di rumah ini."
Amel tersenyum kecil. "Tentu saja. Dan dia juga harus tahu, konsekuensi dari meninggalkanmu sendirian. Kau pantas mendapatkan pendamping yang setia dan penurut, Zi." Amel menyulut api kebencian itu lagi dengan sangat halus. "Wanita yang mencintaimu, tidak akan membuatmu merasa menjadi beban. Dia akan mendukungmu, bukannya lari dan menghamburkan uangmu untuk drama murahan seperti itu."
Kata-kata Amel menghapus sisa-sisa rasa bersalah Enzi terhadap Ana. Ya, Ana yang salah. Ana yang dingin, Ana yang membuat suasana hatinya buruk, Ana yang mendorongnya ke pelukan wanita lain.
"Siapkan meja makan, Mel," ujar Enzi dingin. "Aku tidak akan menunggu. Aku akan makan malam bersamamu."
Makan malam pun disiapkan Bi Darmi, Bi Marni dan Amel, bukan Ana. Setelah semua siap, Enzi dan Amel menikmati makanan mewah di meja makan yang besar itu berdua. Enzi sesekali melirik ke arah tangga, menanti Ana turun. Namun, yang di tunggu tak kunjung turun.
Pukul delapan malam. Pukul sembilan malam. bahkan hingga hampir pukul sepuluh malam.
Enzi sudah menghabiskan makan malamnya dan sudah menahan kesabarannya, tapi Ana tak kunjung turun. Amel terus menghibur dan memanjakannya, tetapi itu tidak cukup untuk meredam rasa frustrasi Enzi karena diabaikan oleh istrinya.
"Sudah cukup," kata Enzi, menggebrak meja dengan kepalan tangan, membuat Amel terlonjak kaget. "Dia pikir dia bisa bersembunyi dariku? Aku akan menemuinya sekarang juga."
Enzi melangkah cepat menuju tangga. Amel menatap punggungnya dengan senyum puas. Tugasnya selesai, api sudah tersulut sempurna.
Enzi tiba di kamar Ana, Dia tidak mengetuk tapi menggedor pintu dengan brutal.
"Ana! Buka pintu! Sekarang!" teriak Enzi.
Pintu itu terbuka. Ana berdiri di ambang pintu, berpakaian piyama lengkap, wajah dan ekspresinya sedingin es. Dia memegang sebuah buku tebal, buku mode yang baru dibelinya, sebagai tameng tak terlihat.
"Apa maumu? kenapa menggedor kamarku seperti seorang preman. " tanya Ana, suaranya datar, tanpa emosi.
Enzi mendorong pintu itu hingga membentur dinding, melangkah masuk, menjulang di hadapan Ana. Dia meraih lengan Ana dengan kasar.
"Kenapa kamu tidak turun?! Kamu pikir kau bisa mengabaikanku di rumahku sendiri?! Kamu sengaja melakukan ini, Ana?!"
Ana tidak melawan. Dia menarik napas dalam, dan yang mengejutkan Enzi, ekspresi menantangnya menghilang. Dia memamerkan kekalahan yang dingin.
"Aku minta maaf, Mas," ujar Ana, suaranya pelan dan rendah, penuh kepalsuan yang meyakinkan. "Aku memang salah. Aku seharusnya tidak bertindak sejauh itu dengan melanggar laranganmu dan membuat kekacauan di gerbang. Untuk masalah makan malam, maaf, aku sedang tidak lapar. Apalagi melihat ada wanita lain disana. "
Enzi terkejut oleh pengakuan itu. Dia telah mempersiapkan diri untuk pertengkaran besar, namun Ana justru menyerah. Rasa puas memenuhi dirinya. Pelajarannya berhasil.
"Tentu saja kau salah!" Enzi masih mempertahankan nada kerasnya, meski nada kemenangan sudah terdengar jelas. "Kau melanggar aturan dan membuat keributan di rumah ini! Tentang Amel, dia adalah tamuku! Sekarang, katakan padaku, apa yang akan kau lakukan?"
"Tamu? atau teman tidurmu? ups.! " Fia meralat ucapanya.
"Kau, "
Ana menundukkan kepalanya sedikit, memejamkan mata seolah akan menerima pukulan dari Enzi. "Aku tahu aku tidak punya pilihan, Mas. Aku akan patuh. Aku tidak ingin membuatmu semakin marah dan lelah. Aku akan menghormati tamumu, dan aku akan meminta izin sebelum keluar rumah."
"Bagus," desis Enzi, melonggarkan cengkeramannya pada lengan Ana. Dia merasa menjadi pemenang mutlak. "Dan aku ingin kamu tidur di kamar utama malam inj. "
Ana menggelengkan kepalanya. "Beri aku waktu, mas. Aku hanya... masih shock dengan semua yang terjadi. Aku butuh waktu untuk mencerna semua ini dan membersihkan pikiranku. Setelah itu, aku janji, aku akan menjalankan semua kewajibanku, termasuk bersikap baik pada Amel."
Dia menggunakan rasa stocknya sebagai alasan untuk batas waktu agar Enzi tidak mengganggunya lagi
"Aku tidak ingin membuatmu marah lagi, mas. Wku hanya meminta waktu untuk sendiri. Setelah itu, aku janji, tidak akan ada lagi perlawanan. Aku akan patuh."
Mendengar kata patuh dan janji , Enzi merasa menang total. Dia merasa telah menjinakkan istrinya. Dia melihat ini sebagai kembalinya kekuasaan. Dia melepaskan Ana sepenuhnya.
"Baik," kata Enzi, suaranya kini tenang, namun dipenuhi peringatan. "Aku akan memberimu waktu untuk menenangkan diri. Aku akan melihat sebatas mans ksmu akan patuh. Jika kau melanggar lagi, aku tidak akan segan-segan memberimu hukuman yang jauh lebih berat daripada ini. Kau mengerti?"
Ana menatapnya lurus, matanya dingin. "Aku mengerti,"
Enzi berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Ana di sana. Dia berjalan menuruni tangga dengan langkah percaya diri.
Amel menyambutnya dengan senyum lebar. "Kau berhasil, Zi! Aku tahu dia akan luluh."
"Tentu saja," jawab Enzi, "Dia tahu siapa yang dia lawan. Dia meminta waktu untuk kembali patuh. Aku harap kamu tidak mengganggunya, biarkan dia menenangkan hatinya terlebih dulu.
"Tentu saja, kau bisa percaya padaku, "
Sementara Enzi dan Amel merayakan kemenangan palsu mereka di lantai bawah, di kamar utama, Ana menutup dan mengunci pintu. Dia bersandar di sana, jijik dengan dirinya sendiri karena harus memamerkan kepatuhan, pada suaminya yang brengsek itu.
Ana menangis tanpa suara, bukan karena sedih, tetapi karena rasa muak yang mendalam yang ia rasakan.
"Aku Mundur untuk menyerang," gumamnya dalam hati. "Aku harus bertahan selama dua hari lagi, menjaga diri dan martabatku, sampai berkas itu siap. Setelah itu, kau akan melihat apa arti kepatuhan yang sesungguhnya, Enzi. Dan akan ku pastikan, kamu pasti akan menyesal seumur hidupmu. Dan saat itu tiba, tidak akan ada jalan untuk kembali"
Biar Enzi hidup dalam penyesalan nya.
😁🤣
dobel up thor sekali" tak tiap hari jg🤭🥰🥰 thank you thor 🙏🥰