Arga adalah remaja SMA yang selalu terlihat ramah dan polos, bahkan dikenal sebagai kuli pikul yang tekun di pasar tiap harinya. Namun di balik senyumnya yang tulus, Arga menyimpan rahasia kelam yang hanya diketahui sedikit orang. Ia diam-diam menyelidiki siapa dalang pembantaian keluarganya yang tragis, terbakar oleh tekad balas dendam yang membara. Perjalanan mencari kebenaran itu membawanya bertemu dua gadis tangguh bernama Kinan dan Keysha, yang ternyata juga anak-anak mafia dari keluarga besar yang menyamar sebagai murid SMA biasa namun tetap memiliki jiwa petarung yang kuat di sekolah. Bersama ketiganya, kisah penuh intrik, persahabatan, dan konflik berseteru di dunia gelap mafia pun dimulai, menyingkap tabir rahasia yang tersembunyi jauh di balik wajah polos mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komang basir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tawa puas
Tanpa ragu, Arga mengangkat kakinya lalu BRAKK! menginjak pundak anak bangor dengan keras.
“GUUAAHHHHH!!” jeritan itu melengking, memantul berkali-kali di sepanjang gang. Pundaknya terasa remuk, tubuhnya menekan keras ke beton, membuatnya tak bisa lagi menyeret diri.
Kedua tangan anak bangor meronta, mencoba menyingkirkan kaki Arga dari pundaknya, tapi sia-sia. Tenaganya sudah habis, sementara tekanan dari kaki Arga membuat tulang bahunya terdengar krek… krek… seperti kayu yang hampir patah.
Arga menunduk sedikit, wajahnya mendekat dengan tatapan tajam. “Sekarang... apakah kamu masih bisa lari?” bisiknya dingin, lalu ia menekan lebih keras.
Puas mendengar rengekan putus asa itu, Arga perlahan mengangkat kakinya dari pundak anak bangor. Dengan satu hentakan kasar, ia membalik tubuh korbannya hingga terlentang di lantai gang yang dingin dan lembap.
BRUKK! Tubuh anak bangor menghantam keras, napasnya tercekik sesaat.
Arga tertawa—keras, panjang, dan seram. “HAHAAHAHAHA!” Suaranya bergema di dinding sempit gang, membuat udara terasa makin mencekik.
Ia melangkah maju, berdiri tepat di atas tubuh anak bangor. Kedua kakinya menapak di sisi kanan dan kiri dada yang naik-turun panik. Perlahan, Arga menurunkan tubuhnya hingga duduk menekan perut lawannya.
“Uhhkkk…!” Anak bangor terbatuk keras, wajahnya memerah karena sesak. Matanya membelalak, menatap sosok yang selama ini ia kira cuma anak polos tak berdaya.
Raut wajahnya berubah penuh penyesalan, ketakutan bercampur dengan rasa tak percaya. "Bagaimana bisa… anak culun yang sering aku kerjai… ternyata iblis berwajah manusia?" ucap nya dalam hati.
Arga menunduk, menyeringai lebar, wajahnya hanya beberapa senti dari anak bangor. Nafasnya berat, dingin, dan menusuk. “Sekarang… siapa yang kelihatan penakut?” bisiknya pelan, tapi penuh ancaman.
Anak bangor itu sudah tak lagi punya tenaga untuk pura-pura gagah. Tangisnya pecah, suara rengekan mengiris udara sempit gang.
“Tolong… jangan siksa aku lagi… bunuh saja aku,” suaranya serak, memelas—seperti permohonan terakhir.
Bukan belas kasihan yang muncul di wajah Arga. Ia malah tertawa—senyum pendek, kasar, berderai seperti batu yang digesek. Tawa itu membuat darah di tubuh anak itu seakan beku.
“Kau yakin mau mati begitu saja?” Arga menyeringai, lalu mencondongkan badan, wajahnya dekat sekali. Napasnya hangat di telinga lawan. “Kalau aku bunuh kamu sekarang, kamu nggak bakal sempat menyesal. Nggak ada penyesalan yang bikin rasa bersalah itu jadi pelajaran.”
Tangan Arga mencengkeram kerah baju anak itu, tekanannya kuat, tapi bukan untuk mencekik—melainkan menegaskan siapa yang memegang kendali. Suara kain yang ditarik, napas yang tercekat, lalu deru langkah kaki yang makin jauh di kejauhan—semua terdengar jelas sampai membuat kepala berputar.
Anak bangor menutup mata, air mata bercampur lendir, nafasnya ngos-ngosan. “Ampun… aku menyesal… aku janji nggak akan ganggu lagi,” gumamnya, suaranya nyaris patah.
Arga menatapnya lama, matanya seperti menimbang harga darah dan dosa. Lalu, dengan gerakan lambat yang penuh ritual, ia melepaskan pegangan kerah itu. Suara kain bergeser, tubuh anak itu terkulai di lantai.
Darah masih mengalir di beberapa luka, hanya bunyi napas yang berat dan rintih yang menggema.
Meski kerah baju sudah dilepaskan, sejatinya Arga hanya memberi jeda tipis agar anak bangor bisa bernapas dan menaruh harapan kosong. Saat anak itu mengira sudah diampuni, bahkan sempat tersenyum kecil dengan wajah berlumur air mata, Arga justru mencondongkan tubuh, matanya berkilat.
Tanpa aba-aba, BUGH! tinju kanan Arga mendarat telak di wajahnya. Disusul pukulan kiri, lalu kanan lagi, bertubi-tubi tanpa jeda.
DUAK! BUGH! PLAK! CRACK!
Suara benturan tulang dan cipratan darah bercampur jadi satu, memenuhi gang sempit yang sunyi. Hidung anak bangor seketika patah, darah muncrat mengalir membasahi bibirnya. Bibir pecah, gigi bergemeretak, wajahnya kian tak berbentuk.
“Hahaha… lihat dirimu sekarang!” Arga tertawa seram, suaranya pecah, lebih mirip jeritan iblis yang menikmati penderitaan mangsanya. Setiap kali tangannya menghantam, bahunya bergetar keras, napasnya memburu, tapi senyum puas tak pernah lepas dari wajahnya.
Anak bangor hanya bisa merintih, matanya separuh terpejam, berusaha menutup wajah dengan tangan—namun Arga langsung menepis kasar dan kembali menghantam. BUK! BUGH! Darah muncrat ke arah baju seragam Arga, meninggalkan bercak gelap.
Di tengah pukulan brutal itu, suara retakan tulang pipi terdengar jelas—KREKK!—membuat anak bangor menjerit parau sebelum suaranya patah karena darah memenuhi tenggorokan.
Arga berhenti sejenak, menatap wajah yang kini lebam dan nyaris tak dikenali, lalu menunduk dengan senyum licik.
“Aku bilang kan… kematian instan itu terlalu mudah buatmu.”
Ia mengangkat tangan lagi, bersiap melanjutkan hujan pukulan. Gang sempit itu kini dipenuhi bau anyir darah, rintihan samar, dan tawa seram yang membuat udara terasa makin menyesakkan.
Pukulan demi pukulan yang mendarat tak kenal ampun akhirnya membuat anak bangor itu mulai kehilangan kesadaran. Kedua matanya sayu, hampir terpejam sepenuhnya, sementara tangan kirinya terkulai jatuh, menyusul tangan kanan yang sudah patah lebih dulu. Tubuhnya hanya bisa pasrah menerima setiap hentakan brutal dari Arga.
Namun Arga tidak berhenti. BUGH! DUAK! CRACK! Tinju keras terus menghajar wajah lawannya hingga terdengar suara tulang wajah yang retak. Wajah anak bangor sudah tak lagi bisa dikenali—remuk, berlumuran darah, dan tak berbentuk manusia.
Napas terakhir anak bangor terenggut begitu saja. Tubuhnya terdiam kaku, tak ada lagi erangan, tak ada lagi perlawanan.
Barulah Arga menghentikan pukulannya. Tangannya gemetar berlumuran darah, dadanya naik-turun cepat, napasnya memburu keras seperti baru saja keluar dari neraka. Ia menatap wajah korban dengan senyum puas yang dingin, senyum yang lebih mirip kilatan kebencian ketimbang kemenangan.
“Heh… akhirnya diam juga kau,” gumam Arga pelan, senyumnya melebar meski wajahnya dipenuhi cipratan darah lawannya.
Dengan napas ngos-ngosan, ia bersandar sebentar, menikmati hasil dari amarah yang ia lepaskan sepenuhnya. Gang sempit itu kini sunyi mencekam, hanya menyisakan bau anyir darah yang menusuk hidung.
Dengan senyum puas yang masih menempel di wajahnya, Arga menunduk sejenak melihat sekujur tubuhnya—seragam sekolah, tangan, bahkan wajahnya dipenuhi bercak merah yang sudah mengering sebagian. Bau anyir menusuk hidungnya, namun ia justru tersenyum lebih lebar.
“Lebih baik aku pulang saja… kondisi ini jelas nggak memungkinkan buat masuk sekolah,” gumamnya tenang, seolah-olah yang baru saja terjadi hanyalah hal biasa.
Arga pun melangkah keluar dari gang sempit itu. Setiap langkahnya melewati tubuh-tubuh yang terkapar tak bernyawa, darah merembes di jalanan sempit, menambah aroma kematian di udara. Sesekali ia melirik sebentar ke mayat-mayat itu dengan tatapan dingin, lalu kembali berjalan santai, seakan tidak ada beban sama sekali.
Begitu sampai ke jalan raya, tatapan orang-orang langsung tertuju padanya. Para pejalan kaki spontan berhenti, sebagian menutup mulut menahan jeritan saat melihat seragam putihnya yang kini berubah menjadi merah.
Beberapa pengendara motor melambatkan laju kendaraan, menatapnya dengan wajah bingung bercampur takut. Ada yang berbisik-bisik, ada juga yang langsung menjauh, khawatir jika darah yang menempel di tubuh Arga bukan sekadar luka kecil.
Namun Arga tetap melangkah santai.
Senyumnya tidak hilang, tatapannya lurus ke depan. Ia tak peduli dengan sorotan ngeri dari orang-orang di sekitarnya. Justru dalam hati, ia merasa puas karena aura ketakutannya berhasil menyebar ke siapa pun yang melihatnya.
Sesampainya di perumahan sepi yang sudah lama ditinggalkan, Arga melangkah pelan menuju rumah kotor yang kini ia tempati. Bau debu bercampur lembap langsung menyergap begitu ia mendekat ke pintu depan. Tangannya yang masih berlumur darah hendak meraih gagang pintu, tapi tiba-tiba berhenti di udara.
—Tok… tok…
Ada suara samar dari dalam rumah. Tidak seperti suara kayu tua yang berderit, tapi lebih menyerupai langkah ringan atau benda kecil yang bergeser.
Arga menyipitkan mata. Perlahan ia memiringkan kepalanya, berusaha menangkap lebih jelas arah suara itu. Nafasnya ia tahan, tubuhnya menegang seakan setiap syaraf sedang bersiap menghadapi serangan mendadak.
Dengan sangat hati-hati, ia memutar gagang pintu. Krekkk… engsel tua mengeluarkan suara lirih. Arga langsung mendorongnya perlahan, cukup untuk menyelipkan kepalanya ke dalam.
Ruang tamu terlihat kosong. Sofa tua masih di tempatnya, karpet tipis penuh debu tak bergerak sedikit pun. Namun suara itu masih ada—gemerisik halus, kali ini jelas berasal dari arah ruangan lain, tepatnya dapur yang samar terlihat dari lorong sempit.
Arga menahan senyum tipis, matanya menyala tajam. Tubuhnya melangkah setenang mungkin, setiap langkah diperhitungkan agar tidak menimbulkan suara. Tangannya meraih gagang pisau lipat di pinggang, bersiap kapan saja bila harus menancapkannya.
Di saat Arga melangkah makin dekat, suara gesekan itu mendadak lenyap, berganti dengan sebuah suara yang sangat ia kenali.
“Jangan mengendap-endap kayak gitu… aku tahu kamu yang datang.”
Suara itu jelas terdengar dari arah dapur. Nada tenangnya membuat tubuh Arga yang tadinya tegang langsung mengendur. Bibirnya terangkat tipis, seolah rasa waspada yang sempat memenuhi dadanya kini perlahan memudar.
“Oh, jadi kamu…” gumamnya pelan.
Arga pun melangkah kembali, kali ini tanpa ragu dan tanpa gerakan pelan. Ia berjalan santai melewati lorong, melepas genggaman pada pisau lipat di pinggangnya. Setiap langkahnya menginjak lantai berdebu meninggalkan jejak noda merah dari darah yang mengering di tubuhnya.
Semakin dekat ke dapur, semakin jelas bayangan seseorang yang berdiri di dalam, seolah sudah menunggunya sejak tadi.
Setelah sampai di depan pintu dapur, Arga berdiri mematung sejenak. Pandangannya tertuju pada seorang wanita yang tengah sibuk membuka bungkusan di atas meja kayu tua. Pakaian serba hitam yang ia kenakan membuat sosoknya tampak menyatu dengan bayangan ruangan, semakin menambah aura misterius.
Wanita itu sama sekali tidak menoleh, seolah tak peduli dengan kehadiran Arga yang berdiri hanya beberapa langkah di belakangnya. Suara plastik yang diremas dan kain yang disibakkan terdengar jelas, menyusup ke telinga Arga yang masih menahan napas.
Dengan langkah mantap, Arga maju perlahan, noda darah di tubuhnya meninggalkan bekas di lantai kusam. Tatapannya tajam, penuh curiga, lalu dari bibirnya keluar suara berat yang mengiris keheningan.
“Ngapain kamu di sini?” ujar Arga, nadanya datar tapi berisi tekanan, seakan siap menghadapi apa pun jawaban yang keluar dari wanita itu.
nunggu banget nih lanjutannya