NovelToon NovelToon
MAS BERONDONG, I LOVE YOU

MAS BERONDONG, I LOVE YOU

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Berondong / Beda Usia / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Persahabatan / Enemy to Lovers
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Nanadoongies

Orang bilang Abel yang jatuh cinta duluan dengan gombalan-gombalan itu, tapi Abi juga tahu kalau yang rela melakukan apa saja demi membuat Abel senang itu Laksa.
.
Berawal dari gombalan-gombalan asbun yang dilontarkan Abel, Laksa jadi sedikit tertarik kepadanya. Tapi anehnya, giliran dikejar balik kok Abel malah kabur-kaburan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanadoongies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 28

Sebelum itu.

Bian refleks mengerutkan dahi ketika ia tidak menemukan Abel di antara orang-orang itu. Hal lain yang lebih mengejutkan adalah, tidak ada satu pun dari mereka yang membawa kayu.

“Kenapa pada tangan kosong semua?!”

“Kayu bakarnya dibawa Kak Abel. Katanya, kami suruh kumpulin aja biar Kak Abel yang angkut ke sini.”

“Abel?” Bian hampir meledak, namun ia masih berusaha menahan diri. “Kata siapa Abel bakal angkut kayu bakarnya? Gue izinin dia datang cuma buat lihat-lihat doang, kenapa malah jadi tukang angkut kayu?”

“Kak Dinda yang nyuruh, Kak. Kami mah ngikut aja daripada kena marah.”

“Dinda ...” Bian memijat pangkal hidungnya sembari memejamkan mata. “Berani-beraninya dia bikin masalah di belakang gue.”

“Biaaaan.” Dari kejauhan Dinda melambai tinggi-tinggi, kaki kirinya sedikit pincang, namun semua orang juga tau kalau tindakan itu hanya akal-akalannya saja.

“Kaki gue kayaknya agak keseleo deh, Bi. Tadi waktu mau angkut kayu tiba-tiba Abel—”

“Abel mana?”

“Bi, lihat kaki g—“

“ABEL MANA?!”

Dinda sedikit terlonjak, begitu mengangkat kepala dia menemukan Bian yang siap memangsa kapan saja.

“Gue tanya Abel ada di mana. Nggak denger gue ngomong apa?!”

“Abel masih di hutan. Dia ngotot pengen angkut kayu padahal udah gue bilangin buat nggak kerja terlalu keras, tapi dia malah tolak mentah-mentah sampai kaki gue ikut kena imbasnya.”

Bian menyeret Dinda menuju tenda sekretariat. Tarikan yang kelewat sembrono membuat anggota OSIS lain jadi ciut.

“Bian, pelan-pelan. Tangan gue sakit kalau lo tarik kayak gitu.”

Dinda terdorong ke tengah tenda, membuat beberapa orang beringsut mundur bahkan keluar dari pintu belakang.

“Bian, lo mau ngapain?”

“Siapa yang nyuruh lo ninggalin Abel dan semua kayu bakar itu?” Bian berjongkok di hadapan Dinda, tatapan tajam, suara dingin, serta tangan yang siapa memusnahkan gadis itu kapan saja.

“Gue ... gue, ‘kan, udah bilang kalau Abel ngotot pengen angkut semuanya. Setelah lo pergi, Abel ngajak gue debat bahkan sempat ngatain gue curi spotlight dia. Yang salah bukan gue, Bi. Gue malu karena dilihatin sama anak kelas sepuluh makanya iyain permintaan dia.”

“Lo tau dia habis sakit kepala.” Suara Bian terdengar semakin dingin, Dinda jadi gemeteran karenanya.

“Nggak usah lebay!” Dita menyahut dari pintu belakang. “Alika yang mukanya pucat bahkan hampir pingsan aja masih bela-belain kerja, sedangkan Abel yang kelihatan sehat wal'afiat kayak gitu malah disuruh diem doang. Lo tahu, Bi? Abel ngaku nggak bisa tidur semalaman karena mau modusin Laksa. Kapan sih lo nyadar kalau itu anak emang nggak beres?”

“Jangan mentang-mentang lo nggak suka sama Abel, lo bisa ngomong seenaknya tentang dia.”

“Lah, kenyataannya lo selalu terbodohi sama sikap Abel yang demen pura-pura itu.”

Dita kini berhadapan dengan Bian, tak terlihat gentar meskipun Bian menatapnya cukup tajam.

“Sejak kita sampai di sini, Abel nggak bantu kita, ‘kan? Dia malah apelin Laksa, haha hihi seolah gue sama yang lain itu babunya dia. Dan lo masih nggak sadar juga kalau selama ini Abel cuma manfaatin perasaan lo buat lepas dari tanggung jawabnya? Bodoh!”

“Kalau lo nggak tau apa-apa, mending diem.”

“Terus gue harus terima kenyataan kalau lo selalu condong ke Abel mentang-mentang lo suka sama dia?” Dita menunjuk dada Bian dengan kencang.

“Lo itu pemimpin, Bian Arshaka. Tugas lo buat rangkul anggota dan selalu adil sama semuanya. Sering ngatain nggak becus tiap ada yang bikin kesalahan, terus emangnya lo udah oke? Kalau nggak mampu jadi ketua, mundur. Dito yang cengengesan kayak orang sinting bahkan jauh lebih kompeten dari lo.”

Setelah mengatakan itu, Dita mengajak Dinda pergi. Diikuti oleh Anna dan Risty yang sebelumnya tak berani mengatakan apa-apa, memang jago kandang, jadi maklum saja.

“Lo nggak apa-apa?”

Dinda menyentakkan tangan Dita. Keduanya mungkin punya visi yang sama, tapi tak pernah berada dalam satu kubu.

“Ngga usah sok dekat sama gue.”

“Oh, wow! Bahkan setelah gue tolongin lo tetep galak juga, ya?” Dita terkekeh, “minimal bilang makasih nggak sih? Atau lo udah lupa gimana cara melakukan itu?”

“Ngapain lo ajak gue ke sini?”

“Gue rasa, kita punya musuh yang sama. So, kenapa kita nggak kerja sama aja?”

“Geng ala-ala lo itu punya rencana apa? Ngga yakin bisa bikin Abel berhenti cari gara-gara.”

“Tinggal lo mau kerja sama gue atau nggak, kalau nggak, gue mampu buat eksekusi sendiri.”

“Udah lah, Din. Yang bisa bantu lo buat balas dendam cuma kami doang,” ujar Anna.

“Betul. Kalau lo diem doang, keburu Abel makin semena-mena sama kita. Mumpung Dita udah punya rencana, kenapa nggak sekalian gabung aja?” Risty ikut menyahut, wajahnya tak kalah berusaha meyakinkan seperti Anna. “Semakin banyak orangnya, semakin mudah buat menaklukan musuh kita. Gue rasa, Bian juga nggak akan berani kasih SP buat kita berlima.”

Dinda terdiam cukup lama, sampai akhirnya ia benar-benar menyetujuinya.

***

Agenda jurit malam telah selesai. Saatnya beristirahat sebelum kembali melakukan perjalanan esok pagi. Sebagian besar, mulai berbaring di tempat tidur masing-masing, namun tak sedikit juga yang masih kelayapan sampai depan api unggun.

“Bel?”

Yang dipanggil kontan menoleh, Dinda datang dengan dua susu kotak berbagai rasa. Oh, ia bilang ingin bicara berdua sampai Anjani dan Dito harus menyingkir dari sana.

“Kenapa?”

“Gue minta maaf udah bikin lo angkut kayu sendirian. Seharusnya gue nggak terlalu cemburu sampai nggak bisa berpikir jernih kayak gitu. Sorry, ya?”

“Meskipun agak bikin pegel karena harus bolak-balik, tapi seenggaknya gue ikut berkontribusi. Lagian, ada yang bantuin juga kok, jadi gue nggak bener-bener sendirian.”

“Sekali lagi maaf, ya?”

“Santaaai.”

Setelah meletakkan susu kotak ke atas pangkuan Abel, Dida akhirnya kembali membuka suara setelah terdiam cukup lama.

“Tadi ada yang bilang kalau properti jurit malam masih ada yang ketinggalan di hutan, lo mau temenin gue buat cek ke sana nggak? Emang agak nyeremin kalau masuk hutan jam segini sih, tapi gue beneran nggak bisa tenang kalau masih ada yang ketinggalan. Kalau lo ngga mau juga nggak masalah, gue bisa ngecek sendiri kok.”

“Boleh. Tadi Anjani sama Dito juga ngomongin itu.”

“Nah, iya, ‘kan? Berangkat sekarang aja gimana sebelum makin kemaleman?”

“Ayokkk.”

Abel tak sempat memikirkan kemungkinan lain, hanya berharap bisa menemukan benda itu secepatnya dan kembali dalam keadaan selamat. Ketimbang takut dengan hantu dan sejenisnya, Abel lebih takut akan bertemu hewan liar dan ditelan mentah-mentah.

“Propertinya di section berapa?”

“Yah, gue lupa nanya nih, tapi kayaknya agak ke tengah deh, Bel. Kalau lo takut langsung pulang aja, gue berani sendiri kok.”

“Nanggung.”

Karena terlalu memperhatikan depan, Abel sampai tak menyadari kedatangan tiga orang lain dengan tali dan penutup mata di tangan. Begitu hampir menoleh, mereka segera mengikat tangan Abel dan menggiringnya ke bawa pohon besar.

“Kalian mau ngapain gue?!”

“Umm, mau ngapain, ya?” Anna segera menoleh ke arah teman-temannya. “Enaknya diapain nih, Guys? Kita iket di bawah pohon biar didatengin sama harimau aja nggak sih? Auuuuum~”

“Emang gue salah apa sama kalian? Lepasin gue nggak?! Gue bilang lepasin gue?!”

“Uh, nanti dulu nggak sih? Minimal lo tidur di sini sampai besok pagi biar rasain gimana dinginnya omongan Bian tadi siang,” ucap Dita.

“Bener tuh! Gara-gara muka sok polos lo itu, Bian dorong gue sampai jatuh ke tanah. Udah dibaikin bukannya berterima malah tambah nggak tahu diri.”

Dinda mengikat kaki Abel cukup kencang, bersamaan dengan Anna dan Risty yang menyumpal mulut dan memberikan penutup mata.

“Lo baik-baik di sini, Bel. Siapa tau nanti ada pahlawan kesiangan yang mau menyelamatkan lo di sini.”

“Pahlawan berbentuk harimau, tapi.” Semua orang kontan tertawa dengan ucapan Risty.

“Makanya jadi orang nggak usah sombong. Mampus lo tidur di sini sendirian.” Dita sempat menoyor kepala Abel sebelum bergegas pergi.

“Bye-bye, Loser.”

Abel hanya bisa menangis. Kaki dan tangan terikat, mata ditutup begitu saja, bahkan untuk berteriak meminta tolong saja ia tak mampus.

Abel berusaha membuat semua macam suara, siapa tahu Tuhan berbaik hati mengirimkan malaikat untuk menolongnya. Berkali-kali namun tidak ada satu pun yang datang. Apa mungkin, Abel akan betul-betul bermalam di sana?

Bermenit-menit menunggu, sampai akhirnya Abel mendengar langkah kaki mendekat, diikuti teriakan kencang syarat akan rasa defensif dan pelindungan.

Laksa?

Laksa itu lo, ‘kan?

Abel semakin kencang membenturkan kepala ke batang pohon, sampai sosok itu semakin dekat ke arahnya.

“Lo ... manusia, ‘kan?”

Ketika Abel menangis karena rasa syukur, Laksa malah mengatainya sebagai kunti gentayangan.

“Eunggh.”

“Jangan nangis terus elah. Lo bikin badan gue makin merinding.” Abel sedikit geli ketika Laksa meraba kakinya. “Oh, napak tanah. Berarti lo manusia tulen.”

“Eungghhh~”

“Gue nggak tau lo mau ngomong apa.” Laksa mendengus, masih sedikit ragu-ragu untuk bergerak lebih dekat. “Kaki? Oh, lo mau dibebasin? Lagian ngapain kelayapan sampai sini sih, ngerepotin orang lain aja.”

Abel terisak lagi.

“Jangan nangis mulu. Gue, ‘kan, udah bilang jangan nangis terus biar suasananya nggak makin horor. Iya, iya, gue lepasin kaki sama tangan lo tapi diem dulu. Suara nangis lo jelek!”

Saat ikatan itu terlepas, Abel segera menghambur ke pelukan Laksa dan menangis kencang di sana. Karena begitu takut, tubuhnya sampai gemetaran hebat.

“Nggak usah modus!”

Laksa hampir mendorongnya, ketakutan Abel lebih menguasai kondisi mereka.

“Laksaaa.”

Laksa jimpit baju Abel dan menariknya ke belakang.

“ELOO?!” Dia geleng-geleng kepala seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ditemukannya.

“Nggak di tenda, nggak di sini, ketemunya selalu lo, lo, lo dan lo. Lo nggak dengerin omongan gue tadi pagi, ya? Berhenti ngintilin gue, Abel Kalula!”

Ketika Abel menangis lagi, kali ini lebih kencang, Laksa mulai meraup wajahnya dengan gerak frustasi.

“Gue bilang jangan nangis!”

“Kenapa malah tambah dikencengin sih?”

“Lo nggak dengerin omongan gue, ya? Berhenti. Nangis. Kayak. Orang. Gila. Gue iket ke pohon lagi kalau lo nangis kayak gini.”

“Takuuut.”

“Salah siapa kelayapan sampai sini.”

“Laksa, jangan jauh-jauh.”

“Ogah deket-deket sama lo.”

“Laksaaaa~”

Pada akhirnya, Laksa terpaksa pasrah karena enggan mendengar tangis Abel yang sumbang itu.

“Diem! Gue bilang diem!”

“Jangan jauh-jauh, gue takut dimakan harimau.”

“Senter lo mana?”

“Nggak bawa.”

“Emang nggak guna.”

“Laksa, jang—“ tangis Abel terdengar lagi, kali ini lengan Laksa dijadikan tumpuan kepalanya.

“Jangan nangis muluuuuu. Lo mau gue lempar ke tengah hutan biar dimakan sama harimau dan kawan-kawannya?”

“Engga.”

“Makanya diem.”

“Laksa, dingin.”

“Bodo amat.”

Lama-lama, Abel tak terdengar protes lagi. Saat menoleh, Laksa mendapati si hebring itu tengah terlelap di lengannya.

“Oy! Yang nyuruh lo tidur siapa!"

Ah, sial! Laksa jadi harus menggendong karung goni sepanjang jalan.

1
ren_iren
kok aneh, padahal laksa liat Abel diikat sm tutup matanya masih aja dimarahin...
ren_iren: nanti bucin mampus sampe keurat2 nadi kapok lo sa.... 🤭
total 2 replies
Nanadoongies
kritik dan saran sangat amat dianjurkan, ya. jadi jangan sungkan buat ngoceh di kolom komentar.
Nanadoongies
Jangan lupa tinggalkan jejak, teman-teman
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!