Elsheva selalu percaya keluarga adalah tempat paling aman.
Sampai malam itu, ketika ia menjadi saksi perselingkuhan terbesar ayahnya—dan tak seorang pun berdiri di pihaknya.
Pacar yang diharapkan jadi sandaran justru menusuk dari belakang.
Sahabat ikut mengkhianati.
Di tengah hidup yang runtuh, hadir seorang pria dewasa, anggota dewan berwajah karismatik, bersuara menenangkan… dan sudah beristri.
Janji perlindungan darinya berubah jadi ikatan yang tak pernah Elsheva bayangkan—nikah siri dalam bayang-bayang kekuasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yazh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan wanita baik-baik
.
.
.
Gwen sudah siap di depan minimarket dekat dengan Kafe Seulmate milik Elsheva, sebuah tempat tersembunyi yang kini berfungsi sebagai markas rahasia Heksa saat ia bersama Els. Untuk sementara, setidaknya begitu pikir Els. Tidak tahu dengan jalan pemikiran suaminya.
"Gwen, sudah sarapan, Kamu? Cari makan dulu," seru Heksa begitu asistennya keluar dari minimarket. Heksa sudah memegang beberapa potong roti di tangannya, tetapi ia terlihat sangat bersemangat. "Els aku larang masak tadi. Dia baru bangun."
"Belum, Boss. Mau saya carikan resto di sekitar sini?" tawar Gwen sedikit ragu. Ia tahu Heksa adalah tipe yang selalu tepat waktu, tetapi di luar dugaan, Heksa mengangguk cepat sambil membuka pintu mobilnya. Pria itu benar-benar sedang dalam mood yang sangat baik.
"Pilih resto mana, terserah, Kamu," ujar Heksa lagi saat mereka sudah berada di dalam mobil, nadanya terdengar santai.
"Baik, Boss," sahut Gwen dengan tenang. Ia tahu betul siklus mood Heksa. Setiap kali Bossnya menginap bersama Els, suasana hati Heksa pasti akan meluap positif keesokan harinya. Hal ini sangat kontras jika Heksa berada di rumahnya sendiri bersama Davina. Emosi negatif yang dibawa Heksa dari rumah pasti akan menciprati seluruh timnya. Yang paling terkena imbasnya jelas Gwen.
Kini, pria anggota dewan itu tengah bersenandung riang, mengikuti irama lagu jazz yang Gwen putar di dalam mobil, wajahnya sumringah dan tidak terlihat sedikit pun beban politik dan setumpuk pekerjaan yang kini menantinya di kantor.
***
Rutinitas Elsheva, si mahasiswa kedokteran, sangat padat hari ini. Setelah mengikuti kelas pagi, ia masih harus menemui dosen pembimbingnya bersama Profesor di laboratorium untuk persiapan penelitian. Hingga sore menjelang, mereka bertiga—Rubby, Belaa dan Helza—baru keluar dari kampus dengan kepala yang mengepulkan asap. Helza mencetuskan ide dadakannya, yaitu nongkrong di kafe, sekadar untuk makan ice cream demi mengusir kepenatan otak.
Mereka lantas berjalan menuju kafe kecil tidak jauh dari kampus, yang belakangan ini sedang hits menu barunya di kalangan mahasiswa. Mereka memilih area rooftop, tempat ternyaman untuk menghabiskan ice cream porsi jumbo favorit mereka. Karena, lokasinya dekat kampus otomatis kebanyak pengujung juga kebanyakan anak-anak kampus, entah untuk sekedar nongkrong atau saling berbagi keromantisan dengan pasangan masing-masing.
Perhatian Els terfokuskan pada beberapa pasang kekasih yang sedang bermesraan, tertawa, dan bercanda tanpa beban. Melihat mereka, senyum miris terukir di bibirnya. Alunan lagu romantis yang mengalun dari speaker kafe seolah sengaja menjadi backsound pendukung mereka, semakin menambah suasana yang kontras dengan kehidupan rahasia Elsheva dan kedua sahabatnya.
"Kenapa, Beb? Lo kenal?" Bella menyikut lengan Els, mengikuti arah pandangnya.
"Nggak, Beb," sahut Els, pandangannya masih tertuju pada pasangan itu dengan kerinduan yang tersembunyi. "Gue lagi mikir aja, coba kita bisa jadi mereka, ya? Bisa pacaran dengan leluasa, menikmati waktu dengan pasangan di mana pun, tanpa harus sembunyi-sembunyi kayak kita. Gue kadang pengin hidup normal kayak mereka juga. Kalian ngerasa gitu juga nggak, sih?"
Helza yang baru saja memasukkan satu suap ice cream ke dalam mulutnya, menyela. "Jalan cerita kita memang bukan kayak mereka, Beb. Tapi gue yakin, salah satu dari mereka pun pasti ada yang menginginkan hidup seperti kita, kalau saja mereka tahu. Yee kan?"
"Ya kali," balas Els lagi, kali ini tersenyum sinis. "Siapa yang mau hidup gaje kayak kita?"
"Sumpah, serius!" Bella meletakkan sendoknya. "Lo nggak tahu aja dunia malam mereka. Mereka rela menjajakan diri dengan para laki-laki hidung belang dengan bayaran yang nggak seberapa. Atau kadang mereka having sex sukarela dengan pacar mereka hanya bermodalkan cinta. Halah, bullshit! Cinta nggak ada uang juga nggak punya kekuatan, hahaha!" Bella bisa berujar demikian, karena ia memang sering mendengar cerita di balik wajah-wajah palsu mahasiswa.
"Mesum, dasar!" timpal Els, terkejut dengan nada blak-blakan temannya.
"Hei, mirror please!" balas Bella, tak mau kalah. "Mending kita, mesumnya tersalurkan dengan baik, ya kan? Daripada dipendam, bikin penyakit! Dosa iya, penyakitan juga. Kalau kita kan jelas, dosa iya, tapi nggak penyakitan dan menguntungkan juga. Apalagi sensasinya lebih berasa, hahaha!"
Seseorang menghampiri mereka dari belakang, membuat ketiga gadis itu langsung mengatupkan bibir mereka bersamaan, berharap dia tidak mendengar perbincangan vulgar barusan. Apa anggapan mereka coba kalau mendengar percakapan mesum mereka?
"Hai, Els. Kalian nongkrong di sini juga?" seru seorang laki-laki. Itu Alan, senior mereka di kampus, orang kesekian yang mencoba mendekati Els. Beberapa kali ia mengajak Els jalan langsung, memberi hadiah juga.
"Hai, Kak Alan. Iya nih, lagi pengin ice cream aja," jawab Els, memberikan senyum sopan. Alan lantas bergabung, dan mereka mulai mengobrol seputar kehidupan kampus dan penelitian. Pembicaraan yang terkesan formal, padahal mereka bertiga sengaja mencari pelarian dari dunia perkampusan.
Lima belas menit kemudian, di kafe yang sama, Els kembali dipertemukan dengan mimpi buruknya, Samudera Mahatma. Dengan entengnya, pria itu menghampiri mereka dan menarik kursi untuk bergabung di meja Els dan teman-temannya.
"Hai, Els," sapa Samudera dengan senyum yang terlalu tenang. Mungkin ketika dia sedang berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa pun akan tetap setenang itu ekspresinya.
"Mm, sorry, gue balik dulu deh kayaknya. Capek banget nih," potong Els, langsung bangkit dari kursinya. Ia tidak mau membuang waktu semenit pun bersama pria itu.
"Maaf, aku ganggu kalian, ya?" tanya Samudera, suaranya rendah. Ia tahu kalau Els masih belum nyaman berada di dekatnya.
"Nggak kok, kalian lanjut aja. Gue memang harus pulang, kafe hampir tutup nih," ucap Els cepat, seraya melirik arloji di tangannya. Ia berusaha menghindar, namun Bastara bergerak cepat, menahan lengannya. Melihat ketegangan itu, Bella, Helza, memilih berpamitan dan meninggalkan mereka berdua. Termasuk Alan, meski keberatan untuk beranjak, tapi ia juga tidak punya keberanian yang besar untuk melawan Samudera.
"Mau Kak Samudera apa, sih?" Els berdecak tidak suka, menarik lengannya dari cengkeraman Samudera.
Samudera kembali tersenyum tenang tanpa berkata-kata, menunjuk kursi agar Els kembali duduk. "Aku pengin ngobrol sama kamu bentar. Kalau Heksa marah, biar aku yang jelasin nanti."
Elsheva mendengkus kasar. Terpaksa, ia duduk kembali. "Elsheva, aku benar-benar peduli sama kamu. Mm, oke, aku suka sama kamu," akunya tanpa basa-basi. "Entah kenapa, aku percaya kamu perempuan yang baik, Elsheva."
"Gue bukan perempuan baik, Kak!" potong Rubby cepat. Dia sudah tidak sabar ingin melarikan diri. Walaupun wajah Samudera lebih tampan dan menggoda dari Heksa, untuk saat ini, pria ini terlihat mengerikan di mata Els, seperti kebanyakan pria yang terobsesi dengannya.
"Queen, aku suka memanggil kamu itu. Kamu tahu kan Heksa bukan orang biasa? Siapa pun bisa mengenali dia. Kalau kamu sampai ketahuan berhubungan dengan dia, kamu dalam masalah besar. Aku tahu dia pasti akan menyembunyikan kamu dengan sangat baik, tapi kemungkinan buruk apa pun bisa terjadi," kata Samudera dengan serius, resiko gadis itu terlalu besar kalau terus mempertahankan posisinya saat ini.
"Kak Samudera, asal lo tahu, hidup gue jauh lebih bermasalah sebelum gue ketemu Heksa, oke! Thanks udah peduli sama gue, tapi please, mulai sekarang biarin gue berada dalam lingkaran ini. Lo nggak usah ikut masuk ke dalamnya. Lo tahu sendiri risikonya, kan? Apalagi kalian saudara. Jadi, jauhi Gue!" Els tidak memberi kesempatan Samudera untuk menyela atau membalasnya. Ia sudah bergegas meninggalkan pria itu, dengan pikiran yang jauh lebih berisik di kepalanya.
.
.
.
semangat kakak 🤗🤗