Wati seorang istri yang diperlakukan seperti babu dirumah mertuanya hanya karena dia miskin dan tidak bekerja.
Gaji suaminya semua dipegang mertuanya dan untuk uang jajannya Wati hanya diberi uang 200ribu saja oleh mertuanya.
Diam-diam Wati menulis novel di beberapa platform dan dia hanya menyimpan gajinya untuk dirinya sendiri.
Saat melahirkan tiba kandungan Wati bermasalah sehingga harus melahirkan secara Caesar. ibu mertua Wati marah besar karena anaknya harus berhutang sama sini untuk melunasi biaya operasi Caesar nya.
Suaminya tidak menjemputnya dari rumah sakit. saat Wati tiba dirumah mertuanya dia malah diusir dan suaminya hanya terdiam melihat istrinya pergi dengan membawa bayinya.
Bagaimana nasib Wati dan bayinya? Akankah mereka terlantar dijalanan ataukah ada seseorang yang menolong mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyuni Soehardi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 28
Fitri perlahan-lahan membuka matanya. Dia merasakan sekujur tubuhnya nyeri.
Dia melihat wanita yang menolongnya sedang mengaduk-aduk masakan didalam panci. Lalu dia melihat sekelilingnya. Sebuah gubuk kecil. Dia dibaringkan di dapur. Tempat yang paling hangat di rumah itu.
Bau masakan memenuhi ruangan dapur kecil itu.
“Ibu….” panggilnya lirih.
Wanita itu menoleh lalu menghampirinya. “Kau sudah bangun nak, kau pasti lapar. Aku sudah menyiapkan bubur untukmu. Tapi sebelumnya minumlah air putih dulu.”
Wanita itu menyendokkan air putih ke mulut Fitri kemudian menyuapinya dengan bubur encer.
“Saya ada dimana?” tanya nya lirih.
“Tubuhmu ditemukan oleh Bagas anakku saat dia mencari kayu bakar dihutan. Lalu suamiku dan Bagas membopongmu kemari. Namaku bu Julaiha biasa dipanggil mpok Leha.” Katanya memperkenalkan dirinya.
“Terimakasih banyak sudah menyelamatkan nyawaku.” Ucap Fitri dengan nada yang masih lemah.
“Sudah tidak usah terlalu dipikirkan. Sebagai sesama manusia sudah kewajiban kita saling menolong.” Kata mpok Leha.
Suaminya masuk ke dapur dan melihat Fitri sudah bisa berinteraksi. Dia pun mendekati Fitri.
“Neng sudah baikan? Saya mang Edun suami Leha.” katanya memperkenalkan diri.
“Terimakasih mang Edun sudah menyelamatkan saya,” kata Fitri.
“Iya sama-sama Neng, istirahat saja dulu disini Neng masih lemah.” Katanya lagi.
“Bu ini hasil berburu hari ini. Ayah dapat ayam hutan, dapat ada beberapa daun singkong dan ada juga singkongnya. Ada juga ubi ganyong.” Katanya.
“Wah hujan-hujan begini nikmatnya sore-sore minum teh jahe ditemani ubi ganyong rebus.” Kata mpok Leha.
“Neng nanti saya rebuskan ramuan biar kau lekas sembuh. Rasanya pahit tapi saya jamin kau bisa pulih dengan cepat.” Kata mpok Leha.
“Iya terima kasih pok. Namaku Fitri.” Jawabnya.
“Baik neng Fitri sekarang saya tinggal dulu ya, neng istirahat lagi saja.” katanya sambil membawa ayam hasil buruan suaminya keluar dari dapur.
Fitri memejamkan matanya tubuhnya masih sangat lemah. Dia diam-diam melakukan meditasi dengan mengatur pernafasan, mengosongkan pikirannya dan mencoba relax sampai dia tertidur kembali.
Dia terbangun saat mendengar suara orang bercakap-cakap.
“Neng Fitri sudah bangun mari makan Neng.” Kata mang Edun.
Fitri melihat formasi lengkap keluarga yang menyelamatkannya. Dia mencoba bangun. Pelan-pelan dan berhasil duduk. Dia menyandarkan tubuhnya pada dinding kayu ruang dapur itu.
Mpok Leha menghampirinya “syukurlah neng sudah bisa duduk. Neng harus makan supaya lebih kuat lagi fisiknya. Sebentar saya ambilkan makanan.”
Mpok Leha kembali dengan membawa bubur yang diberi kuah lodeh daun pakis dan mulai menyuapi Fitri.
Fitri makan hingga tidak terasa sepiring bubur sudah dia habiskan.
Mpok Leha memberinya segelas air putih.
“Nanti kalau sudah tidak terlalu kenyang minum jamu buatan saya ya neng. Saya jamin hanya dalam beberapa hari neng Fitri sudah bisa jalan.” Katanya.
Fitri hanya mengangguk dan kembali membaringkan tubuhnya. Dia teringat akan suaminya dan anaknya. Dia bertekad harus segera sembuh biar bisa secepatnya pulang ke rumah.
Sore itu cuaca dingin sekali Fitri mencoba untuk duduk ditepi balai bambu tempat dia dibaringkan saat terluka. Dia memakai baju milik mpok Leha.
“Mpok saya ada dimana ini?” Tanyanya saat mpok Leha menyodorkan segelas minuman jahe panas. Dia menerimanya dan menyesapnya. Air jahe mengalir menghangatkan dadanya.
“Ini Sukabumi neng.” Jawabnya sambil mengupas ubi ganyong dan memberikannya kepada Fitri.
“Apa di desa ini jauh dari kota pok?
“Lumayan tapi jalan ke kota sudah bagus kok ada ojek juga.” Jawab mpok Leha.
“Mpok apa mpok masih menyimpan baju yang saya pakai waktu saya kecelakaan dulu?”.
“Ada neng, sebentar.” Jawab mpok Leha sambil berdiri dan berlalu dari hadapan Fitri.
Tak lama kemudian dia kembali membawa baju dan kartu hitam kecil lalu menyerahkannya kepada Fitri.
“Alhamdulillah ya Allah. Terimakasih mpok.” Jawab Fitri. Sambil mendekap kartu black card miliknya.
Dulu saat dia akan membayar makanan untuk arisan di resto dia mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan black card-nya pada kasir. Tapi belum selesai membayar handphonenya berdering. Kemudian dia memasukkan dompetnya dan mengeluarkan handphonenya untuk menjawab telpon masuk.
Dia menerima bill dan black card-nya kembali tapi dia memasukkannya kedalam saku celananya dan memasukkan handphonenya ke dalam tas. Tas nya hilang tapi black card nya selamat. Paling tidak black card-nya bisa membiayai perjalanan dia pulang.
Malam itu mpok Leha memasak gulai ayam dengan rebusan daun singkong. Fitri sudah mulai belajar berjalan. Dia bisa berjalan dengan menggunakan tongkat.
Fitri keluar menuju ruang keluarga yang tidak terlalu luas disitu dia melihat Bagas sedang belajar. Fitri menanyakan apakah Bagas memiliki handphone. Ternyata anak itu tidak memilikinya begitu pula orang tuanya.
Fitri kembali ke dapur tempatnya tidur. Dia melihat keluar dari pintu dapur namun tidak dapat melihat apa-apa. Rupanya kabut turun tidak ada yang bisa dilihatnya kecuali kegelapan. Di rumah mungil itu sudah ada penerangan listrik, kemungkinan tidak terlalu terpencil tempatnya.
Keesokan harinya Fitri membasuh mukanya dengan sabun dan merapikan rambutnya kemudian dia ingin jalan-jalan diluar rumah.
Dia bertemu dengan Bagas yang akan berangkat sekolah. Fitri menyapanya "selamat pagi Bagas sudah mau berangkat ke sekolah ya? naik apa kalau ke sekolah?"
"Selamat pagi kak Fitri. Sepertinya kakak sudah sehat. Bagas ke sekolah jalan kaki saja. Dekat kok."
"Gas pulang sekolah bisa temani kakak ke kota tidak? Kira-kira ada mobil yang bisa disewa ke kota sebentar ada tidak ya?" tanya Fitri.
"Coba nanti saya tanyakan ke ayah kak. Bagas berangkat dulu ya assalamualaikum."
"Waalaikumsalam hati-hati." balas Fitri.
Siang hari saat mang Edun pulang untuk makan siang dia bertanya kepada Fitri apakah Fitri akan ke kota."
"Iya mang, saya harus mengabarkan keadaan saya kepada keluarga saya dan ada beberapa yang ingin saya beli dikota." jawab Fitri.
"Bu bagaimana kalau siang ini kau yang mengantar neng Fitri ke kota naik mobilnya juragan Bisri?" tanya mang Edun kepada istrinya.
"Iya baiklah pak, ibu juga sudah lama tidak jalan-jalan. Jam berapa mobilnya menjemput?" tanya istrinya.
"Sebentar lagi datang tunggu saja. Nanti minta dikawal sama sopirnya juragan Bisri takutnya neng Fitri jatuh atau kenapa-kenapa."
"Iya kang," jawab istrinya
"Ayo neng habis makan siang kita bersiap-siap." kata istrinya dengan bersemangat.
Tubuh Fitri dan mpok Leha tidak berbeda jauh Fitri memakai gamis mpok Leha yang masih bagus, dan meminjam tasnya juga."
"Neng sopirnya sudah datang menjemput kita ayo kita jalan ke ujung gang mobilnya menunggu didepan gang." kata mpok Leha.
Fitri tertatih-tatih berjalan mengikuti mpok Leha. Akhirnya sampai juga di depan mobil jenis van mpok Leha masuk ke mobil duluan tapi Fitri kesulitan naik kedalam mobil karena kakinya masih sakit untuk menapak pada telundakan mobil Van itu dan menumpu berat badannya.
Sopir itu akhirnya menggendong Fitri dan mendudukkannya di kursi disebelah mpok Leha.