Maya Amelia, seorang mahasiswi hukum Universitas Bangsa Mulya, tak pernah menyangka kalau takdir akan mempertemukannya dengan Adrian Martadinata pengacara muda,tampan,dan terkenal di kalangan sosialita.
Awalnya, Maya hanya mengagumi sosok Adrian dari jauh. Namun, karena sebuah urusan keluarga yang rumit, Adrian terpaksa menikahi Maya gadis magang yang bahkan belum lulus kuliah, dan tak punya apa-apa selain mimpinya.
Setelah Menikah Adrian Tak bisa melupakan Cinta Pertamanya Lily Berliana seorang Gundik kelas atas yang melayani Politisi, CEO, Pejabat, Dokter, Hingga Orang-orang yang punya Kekuasaan Dan Uang. Lily Mendekati Adrian selain karena posisi dirinya juga mau terpandang, bahkan setelah tahu Adrian sudah memiliki istri bernama Maya, Maya yang masih muda berusaha jadi istri yang baik tapi selalu di pandang sebelah mata oleh Adrian. Bahkan Adrian Tak segan melakukan KDRT, Tapi Ibunya Maya yang lama meninggalkannya kembali Greta MARCELONEZ asal Filipina untuk melindungi Putrinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jarak yang Tidak Terlihat
Cahaya temaram menyinari ruangan bergaya modern minimalis itu. Aroma lilin aromaterapi bercampur dengan wangi tubuh Lily yang lembut, mengisi udara. Ia mengenakan satin merah muda yang menempel di kulitnya seperti kabut tipis.
Adrian berdiri di ambang pintu, jas dan dasinya sudah ia lepas, digantung rapi di sandaran kursi. Ia menatap Lily yang mendekat dengan segelas wine di tangan.
"Masih suka Cabernet?" tanya Lily lembut.
Adrian mengambil gelas itu dan menyesapnya.
"Masih."
Lily tersenyum, lalu berjalan pelan ke arah sofa, menatap Adrian dari balik bahunya.
"Kamu masih menatapku seperti dulu..." bisiknya.
“Seolah aku sesuatu yang rumit, padahal kamu yang lebih rumit.”
Adrian tak menjawab. Ia hanya meletakkan gelasnya dan mengikuti Lily. Begitu ia duduk, Lily mendekat perlahan, duduk di pangkuannya tanpa canggung. Tangannya melingkari leher Adrian.
“Kamu lelah?” bisik Lily.
“Selalu,” jawab Adrian lirih.
Lily memiringkan wajahnya, mencium pelipis Adrian perlahan.
“Aku bisa bikin kamu lupa dunia…”
Adrian menatapnya dalam. Entah karena wine, kelelahan, atau luka yang belum selesai dari dirinya sendiri—ia tak menolak saat Lily mulai mencium bibirnya.
Ciuman itu dalam dan panjang. Meleburkan logika, menghapus bayang-bayang idealisme, termasuk wajah seorang gadis polos bernama Maya yang perlahan menghilang di sudut pikirannya malam itu.
Satin di tubuh Lily melorot perlahan. Lampu ruangan meredup otomatis.
Di antara keheningan dan desir napas, terdengar suara Lily membisikkan,
“Lupakan yang lain malam ini. Cuma aku…”
Dan malam itu, Adrian menyerah pada pelarian yang ia tahu hanya sementara.
Langit Jakarta terlihat samar dari balik tirai yang setengah tertutup. Lampu kamar diredam kehangatannya, menyinari dua tubuh yang terbaring dalam diam.
Lily menyandarkan kepalanya di dada Adrian. Napas mereka mulai tenang setelah badai hasrat mereda. Seprai putih yang berantakan menutupi sebagian tubuh mereka, menyisakan keintiman yang hanya bisa dirasakan dalam sunyi.
Adrian menatap langit-langit kamar. Matanya terbuka, tapi pikirannya mengembara entah ke mana. Lily menatap wajahnya dari samping.
“Kamu masih mikirin dia?” bisik Lily.
Adrian tak langsung menjawab. Jemarinya membelai rambut Lily, lembut tapi tak sepenuh hati.
“Aku cuma… capek,” ucapnya pelan.
Lily tertawa tipis, getir.
“Capek? Atau kosong?”
Adrian menoleh, menatap mata Lily yang teduh tapi menyimpan luka.
“Kamu tahu aku gak pernah bisa bohong.”
Lily menghela napas, lalu bangkit perlahan dari pelukannya. Ia berdiri, membiarkan seprai melorot dari bahunya. Siluet tubuhnya tergambar samar dalam cahaya lampu yang temaram.
“Kamu harus pilih, Adrian. Aku bukan pelarian, dan aku gak mau jadi bayangan,” katanya lirih sebelum berjalan ke kamar mandi.
Adrian tetap terdiam di ranjang. Di balik tubuh yang terpenuhi, ada kekosongan yang tak bisa disembunyikan.
Ia menutup matanya, dan untuk sesaat—bayangan Maya kembali muncul, singkat, tapi cukup untuk membuatnya sadar: sesuatu dalam dirinya belum selesai.
Kamar Lily – Masih Malam Hari
Lily keluar dari kamar mandi dengan rambut basah terurai, mengenakan gaun tidur tipis berwarna merah muda pucat.
Cahaya lampu redup memantul lembut di kulitnya. Di atas ranjang, Adrian masih berbaring menyandar pada bantal, kali ini dengan senyum tipis yang belum juga pudar dari wajahnya.
Lily mengamati ekspresi itu dari kejauhan—senyum tenang, bukan sekadar kelelahan fisik seperti biasanya. Ada sesuatu yang berbeda.
Ia naik ke ranjang, menyusup ke dalam selimut, lalu merebahkan diri di sisi Adrian, memeluk perut pria itu pelan.
“Kamu keliatan bahagia malam ini,” gumam Lily.
Adrian menoleh, mengangkat alis.
“Emangnya biasanya aku keliatan kayak gimana?”
Lily tersenyum kecil, menelusuri dada Adrian dengan jemarinya.
“Biasanya... kamu ada di sini, tapi pikiran kamu entah ke mana. Dingin. Kosong. Tapi malam ini... kamu hangat. Kamu hadir.”
Adrian tertawa pelan, lalu mengecup kening Lily.
“Mungkin... aku mulai sadar apa yang aku punya,” bisiknya.
Lily menatapnya dalam diam. Ia tahu Adrian bukan pria yang mudah diikat. Tapi malam ini, ia merasakan sesuatu yang jarang: ketulusan, meski hanya setitik. Dan itu cukup untuk membuatnya bertahan.
“Kalau kamu bahagia malam ini, aku juga,” kata Lily. “Aku gak minta apa-apa, cukup jangan pura-pura ada.”
Adrian menghela napas pelan. Ia tidak menjawab, hanya memeluk Lily lebih erat. Dalam diam, ia mencoba mengabaikan bayangan Maya yang perlahan memudar di sudut pikirannya.
Malam pun berlanjut dalam keheningan, tanpa janji, tanpa ikatan. Hanya tubuh yang saling mengisi, dan hati yang mencoba berdamai dengan kenyataan.
*
*
*
*
Warung Makan Ahmad – Malam Hari
Lampu warung meredup. Hanya tersisa dua pelanggan yang masih mengaduk teh manis sambil menyendok nasi goreng di piring mereka.
Di sudut dapur terbuka, Maya menggulung lengan kemejanya, mengumpulkan piring-piring kotor ke dalam ember cucian. Sesekali ia menguap, lelah tapi puas.
Ahmad, ayahnya, menyapu bagian depan warung. Setelah selesai, ia menarik kursi plastik dan duduk, mengelap pelipisnya dengan handuk kecil. Usianya tampak di garis wajah dan rambut yang mulai memutih.
“Capek, May?” tanyanya lembut.
Maya tersenyum kecil sambil mengangguk. “Dikit... Tapi seneng juga. Tadi lumayan rame.”
Ahmad tersenyum tipis. Ia menyulut rokok kretek, asapnya melayang pelan ke langit-langit. Matanya menatap kosong ke jalan yang mulai lengang.
Beberapa detik hening, sampai Maya akhirnya membuka suara.
“Tadi siang aku ke apartemen Tiara... Minta tolong soal uang kuliah semester ini.” Ia jeda sejenak, lalu menambahkan dengan nada lebih pelan, “Terus... aku lihat Adrian Martadinata di sana.”
Ahmad menoleh cepat. “Adrian Martadinata? Yang sering muncul di TV itu?”
Maya mengangguk, pipinya sedikit memerah. “Iya. Ternyata dia kenal sama keluarganya Tiara.”
Ahmad mendengus pelan. “Hati-hati, May. Orang besar begitu kadang kelihatannya manis, tapi belum tentu bisa dipercaya. Jangan dekat-dekat, takutnya gak sepadan.”
Maya tertawa kecil, lalu duduk di sebelah ayahnya, memeluk lututnya sendiri. “Ya ampun, Yah... Aku cuma kagum. Gak lebih.”
Ahmad menatap anak gadisnya lekat-lekat. Ada kekhawatiran, ada cinta, dan ada ketakutan akan dunia yang bisa dengan mudah memakan kepolosan. “Kagum boleh. Tapi jangan sampai kagummu bikin kamu lupa siapa dirimu.”
Maya menunduk pelan, lalu mengangguk. “Aku tahu, Yah. Aku anak warung. Tapi juga anakmu. Gak akan lupa.”
Ahmad menghela napas, lalu menepuk bahu Maya dengan lembut. “Itu yang bikin Bapak tenang.”
Di luar, gerimis mulai turun, memantul di atap seng dan jalanan aspal. Warung perlahan ditutup dengan tirai logam. Satu per satu lampu dipadamkan.
Di dalam hati Maya, kekaguman pada Adrian tetap menyala seperti sisa bara di ujung rokok ayahnya—kecil, hangat, tapi belum tentu aman bila dibiarkan menyala terlalu lama.
Pinginnya gak panjang-panjang awalan ceritanya...
malah kadang suka lebih seru kalau awalan nya langsung yg konflik atau sudah jadi nya aja 👍😁
Ditengah atau setelahnya baru dehh bisa di ceritakan lagi sedikit atau pelan-pelan proses dari awalan Konflik tsb 👍😁🙏
kalau di awalin sebuah perjalanan cerita tsb,kadang suka nimbulin boring dulu baca nya... kelamaan ke konflik cerita tsb nya 🙏🙏🙏