Pengkhianatan itu bukan datang dari musuh, tapi dari orang yang paling dia percaya.
Vilya Ariestha Elora — dihancurkan secara perlahan oleh pacarnya sendiri, dan sahabat yang selama ini ia anggap rumah. Luka-luka itu bukan sekadar fisik, tapi juga jiwa yang dipaksa hancur dalam diam.
Saat kematian nyaris menjemputnya, Vilya menyeret ke duanya untuk ikut bersamanya.
Di saat semua orang tidak peduli padanya, ada satu sosok yang tak pernah ia lupakan—pria asing yang sempat menyelamatkannya, tapi menghilang begitu saja.
Saat takdir memberinya kesempatan kedua, Vilya tahu… ia tak boleh kehilangan siapa pun lagi.
Terutama dia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Bahaya Di Balik Senyuman
Sebelumnya, gaun itu telah disobek oleh Elena beberapa waktu lalu.
Rencana Elmira untuk menjadikan gaun itu bahan gosip pun gagal total.
Pada hari perjamuan, gadis itu mengenakan gaun cadangan dari Edgar dan tetap datang ke acara seperti biasa.
Melihat penampilannya yang rapi dan anggun, Elmira hampir tak bisa menahan amarah.
Sementara putrinya masih terbaring karena luka cambukan. Sebaliknya, gadis itu justru tampil memukau.
Tapi karena hari ini adalah hari ulang tahunnya, Elmira tetap memaksa diri untuk tersenyum.
Perjamuan kali ini memang untuk merayakan ulang tahun Elmira, tapi karena ia tak mempunyai kerabat yang benar-benar mendukungnya di tempat itu.
Ia pun duduk santai menikmati suasana. Tapi niatnya untuk bersantai rupanya tak bertahan lama.
“Vilya.”
Arabelle muncul dengan gaun hijau peppermint yang mencolok, ditemani beberapa gadis dari kalangan atas.
Mereka berdiri tepat di hadapannya.
Ia menatap rambut pendek Arabelle dan nyaris tertawa. Sekarang, melihat potongan barunya yang nyaris sebatas telinga, rasanya benar-benar aneh.
Sambil meletakkan gelas ke meja, Ia berkata ringan, "Gaya rambut baru ya? Kelihatan lebih… enerjik."
"Kau!" Arabelle mendelik, ingin rasanya ia langsung mencekiknya saat itu juga. "Kalau bukan karena kau memotong rambutku, aku nggak akan jadi begini!"
"Dasar!" Arabelle makin murka.
Ia benar-benar tak menyangka mulutnya benar-benar tajam.
"Jangan terlalu senang!" celetuk seorang gadis lain dengan gaun terbuka dan rambut pendek.
Ia berdiri di samping Arabelle. "Kamu itu cuma cewek tak tau diri, yang entah asalnya dari mana. Emangnya pantas nyebut diri sebagai Nona?"
"Kamu tahu asal-usul ku. Nona Jasmine, berarti kamu juga mengerti asal-usulmu?" Vilya menatap gadis itu santai. Semua orang tahu Jasmine Waverly diadopsi dari panti asuhan oleh CEO Waverly, lebih dari sepuluh tahun lalu. Itu bukan rahasia.
"Kau!" Wajah Jasmine langsung memerah sampai ke telinga.
Selama ini, tak ada yang berani menyinggung latar belakangnya. Bahkan ia sendiri hampir lupa. Tapi ucapan nya barusan menamparnya tanpa ampun.
"Lidahmu tajam juga," celetuk gadis lain di sebelah kanan Arabelle sambil menaikkan alis. "Aku jadi penasaran, kamu punya keahlian apa sampai bisa sesombong itu?"
Vilya menatap gadis itu dari atas ke bawah. Ia langsung mengenalinya—Putri Verena, bos Firma Hukum Argent Law di Kota Z.
Sebenarnya, pesta semewah ini tidak selevel dengan Verena, Ia sering menempel pada gadis-gadis dari keluarga terpandang seperti Arabelle agar bisa ikut ke mana-mana.
Dulu, ia juga tahu, Verena memanfaatkan banyak koneksi untuk bisa naik jadi pengacara terkenal. Tapi baginya, orang sepertinya tak layak untuk diladeni.
Apalagi kalau hanya ikut-ikutan mencari keributan.
Melihat dirinya diabaikan, Verena mengepalkan tangan.
“Oh, ternyata Nona ini merasa penting banget ya!” sindir seorang gadis lain dengan rambut digelung rapi.
“Mana Elena? Kok nggak kelihatan?”
“Kayla, kamu belum tahu ya?” Arabelle langsung menyambar, “Tangannya itu lihai banget. Pintar menjebak dan main licik.”
Vilya menghela nafas nya pelan. “Kalau soal tipu muslihat, nggak ada yang bisa ngalahin Nona Arabelle.” Ia menyipitkan mata.
“Lagian, kamu masuk kamarku tengah malam buat apa? Jangan-jangan ada hobi tersembunyi?”
Ia bahkan melangkah mundur dua langkah dengan ekspresi heran.
Arabelle berteriak marah. “Kalau pun aku punya hobi aneh, nggak mungkin ke kamu juga!”
“Ya, kalau pun kamu punya hobi itu, nggak usah diumumin sekencang ini,” balasnya datar.
Arabelle baru sadar, karena suaranya tadi, semua orang di perjamuan jadi menoleh padanya. Ia buru-buru menutup mulut, panik, ingin menjelaskan tapi tidak tahu harus mulai dari mana.
"Arabelle." Suara tenang itu datang dari seorang gadis bergaun putih yang baru saja mendekat. Ia berjalan anggun sambil membawa segelas anggur merah di tangan. Rambut panjangnya terurai lembut, dan mata memancarkan ketenangan. Riasan tipis dan senyum lembut di wajahnya memancarkan pesona elegan.
"Kakak!" Matanya langsung berbinar melihat siapa yang datang. Ia cepat-cepat melangkah maju—kakaknya itu pernah bilang akan membantunya membalas dendam.
"Mami mencari mu. Ayo sana." ucap Avaline sambil tersenyum tipis.
"Oke." Ia paham maksud kakaknya. Ia pun segera berbalik dan pergi, berharap perhatian semua orang cepat beralih darinya.
Para wanita muda bangsawan yang tadi datang bersama Arabelle hanya tersenyum menyapa Avaline, sebelum bubar mereka berpencar untuk mencari teman bicara lain.
Sementara itu, Jasmine menggigit bibir saat menatap Avaline. Meski wajah gadis itu tampak ramah dan lemah lembut, ia selalu merasa ada yang tidak beres.
Tatapannya membuatnya gelisah—terasa seperti sedang ditelanjangi dari dalam. Entah kenapa, dia merasa ada bahaya yang tersembunyi di balik senyum manis itu.
Ia pun buru-buru menjauh dan kembali menatap mereka dari kejauhan. Mereka berdiri saling berhadapan.
Banyak orang yang tahu bahwa Avaline adalah gadis anggun dan berpendidikan. Tapi Vilya tahu lebih dalam—di balik penampilan lembut itu, tersembunyi ambisi dan bahaya yang tak biasa.
Bagi orang luar, Avaline selalu tampil sempurna—anggun, ramah, dan sopan. Tapi di balik semua itu, ada sisi gelap yang tak banyak orang tahu. Di rumah, ia sering mencambuk pelayan sesuka hati. Kalau ada yang berani tidak setuju dengannya, ia bisa balas dendam dengan cara paling kejam. Dulu dia pernah memukuli seseorang sampai mati. Tapi keluarganya segera menutupi masalah itu, jadi tak ada yang tahu.
Sekarang Ia datang sendiri padanya, Vilya tahu situasinya nggak bisa dianggap enteng. Kalau bisa memilih, satu orang yang paling ia hindari adalah perempuan itu.
Di kehidupan sebelumnya, Avaline memang tidak pernah ikut menindasnya secara langsung.
Apalagi selama itu ia selalu hidup dalam bayang-bayang Arabelle. Selama adiknya bahagia, Avaline tentu takkan peduli dengan siapa pun yang ada di bawahnya.