NovelToon NovelToon
Jejak Luka Sang Mafia

Jejak Luka Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Nikah Kontrak / Cinta Paksa
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Sonata 85

Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Balik Luka yang Tak Terucap

Rumah sakit itu tampak sepi menjelang sore. Suara alat monitor berdetak lembut berpadu dengan bau antiseptik yang menusuk hidung. Di antara deretan kamar, langkah Vanesa terdengar mantap meski jantungnya penuh sesak. Ia baru saja meninggalkan Gavin dengan hati yang remuk—bukan karena baru dikhianati, tapi karena luka lama yang kembali ditorehkan.

Kamar 305. Ia berdiri sejenak di depan pintu, menarik napas dalam-dalam, lalu mendorongnya perlahan.

“Papi...?” panggilnya ragu.

Di dalam, Krito Banu membuka mata pelan. Wajahnya masih pucat, tetapi ada senyum tipis mengembang begitu melihat putrinya.

“Papi!” Vanesa berlari kecil dan langsung memeluk tubuh sang ayah yang lemah di ranjang. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia menangis tanpa suara. Air mata jatuh satu per satu ke bahu ayahnya.

“Papi sudah siuman... syukurlah...” bisiknya lirih.

Krito membelai rambut anaknya lembut, seperti dulu saat Vanesa kecil dan takut petir.

“Bagaimana kamu, Nak? Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya.

Vanesa menelan ludah, mengusap air mata, lalu tersenyum kecil. “Aku... aku baik. Cuma terharu karena Papi bangun.” Suaranya goyah. Sebuah kebohongan putih untuk menyembunyikan badai yang masih bergemuruh di dadanya. Vanesa tidak ingin menceritakan kalau dia telah melewati badai demi demi keluarganya. Ia bahkan telah membuah harga diri demi kesembuhana ayahnya.

‘Pergorbanananku tidak sia-sia. Papiku sudah sehat kembali itu sudah cukup bagiku’ bisiknya pelan.

“Nak, apa semuanya baik-baik saja?”

Vanesa mengukir sebuah senyuman indah, agar papinya percaya kalau dirinya baik-baik saja. Setidaknya itu yang terlihat dari luar. Tidak ada yang tahu kalau Vanesa sudah melewati penderitaan bahkan hinaan dari Gavin demi keluarganya.

“Semuanya baik Pi. Aku sangat bahagia melihatmu sembuh.”

Krito mengangguk pelan, matanya menyelami wajah Vanesa. “Kamu terlihat lelah. Terlalu banyak menanggung beban sendiri, ya?”

Vanesa hanya menunduk.

“Papi yakin kamu bisa menghadapinya. Kamu anak Papi, kamu kuat,” ucap pria itu sambil menggenggam tangan putrinya.

Vanesa menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan tangis. “Aku butuh Papi... aku butuh kalian mendampingiku.”

Krito meraih sebuah map kecil dari laci dan menyodorkannya.

“Aku tahu kamu bisa melakukannya, Nak,” katanya tenang namun mantap.

Vanesa membuka map itu perlahan. Isinya selembar kertas bertuliskan kode nama, jalur transaksi, dan sebuah catatan kecil di pojok kiri: Percayalah hanya pada dirimu sendiri.

Wajah Vanesa berubah tegang. “Bagaimana Papi tahu semua ini?”

Krito tersenyum kecil. “Jangan remehkan Papi. Meskipun sakit, telingaku masih tajam.”

Vanesa memotret isi kertas itu dengan ponselnya, lalu merobeknya kecil-kecil dan membuangnya ke wastafel. Tangannya bergetar. Ia tahu Gavin bisa mengawasi dari mana saja, dan ini terlalu penting untuk jatuh ke tangan yang salah. Rupanya diam-diam, laki –laki itu menyusun strategi perang.

Belum sempat ia mengucap terima kasih, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.

[Kamu di mana?]  dari Gavin.

Ia mendesah pelan, lalu mematikan ponsel dan menyimpannya dalam tas. “Aku tidak ingin diganggu saat bersamamu, Papi,” katanya, lebih kepada dirinya sendiri.

Tapi waktu bahagia mereka hanya sekejap. Ketika Vanesa keluar dari kamar ayahnya, seorang pria tinggi tegap dengan jaket kulit hitam sudah berdiri di lorong rumah sakit.

“Maaf, Ibu Vanesa. Pak Gavin meminta saya menjemput Anda,” ucapnya sopan.

Vanesa menyipitkan mata. “Katakan padanya, saya akan datang nanti.”

“Saya hanya menjalankan perintah. Ibu ikut dengan baik, atau saya terpaksa menggunakan cara lain.”

Wanesa menoleh ke sekeliling. Lorong itu cukup lengang, tapi ia tak ingin membuat keributan di tempat ayahnya dirawat. Dengan gigi terkatup, ia berkata tajam, “Biar saya pamit dulu.”

“Tidak perlu. Saya tidak di sini untuk mendengarkan keluhan Ibu,” sahut pria itu, namun nadanya tetap sopan. “Saya Topan, suruhan Pak Gavin. Tugas saya membawa Anda, bukan membuat kekacauan.”

“Saya tahu, aku sudah sering melihatmu berkeliaran di samping Bosmu.”

“Baik, kalau sudah tau.”

Vanesa mengangkat dagu. “Kau selalu seformal ini kepada semua wanita yang dibawa bosmu?”

Topan menatapnya tenang. “Tidak semua wanita seperti Anda, Bu Vanesa. Tapi perintah adalah perintah.”

Vanesa melangkah dengan enggan. Sepanjang perjalanan, ia diam. Mobil meluncur cepat menuju wilayah yang sangat ia kenal—rumah lamanya bersama Damian.

Kini, rumah itu telah berubah. Tak ada lagi kesan hangat. Cat tembok diganti abu tua. Tirai ditutup rapat. Semua yang dulu membawa kenangan kini terasa asing.

Topan membuka pintu mobil untuknya. “Silakan masuk, Bu.”

Gavin sudah menunggunya di dalam, berdiri di balik meja ruang tengah dengan tatapan seperti elang mengintai mangsa.

“Topan, kembali ke kantor. Aku ingin bicara empat mata,” ucap Gavin pelan tapi tegas.

“As you wish, Sir.” Topan membungkuk sedikit lalu pergi.

Vanesa duduk di sofa tanpa undangan. Matanya menyapu ruangan penuh kenangan itu.

“Apa yang kau inginkan dariku kali ini?” tanyanya tajam.

Gavin tak langsung menjawab. Ia menuangkan wine ke gelas kristal bening, lalu berjalan perlahan mendekat.

“Masih memikirkan dia?” tanyanya dingin.

Vanesa menatap gelas itu. Ia mengenal benda itu. Gelas yang ia dan Damian beli saat bulan madu.

“Kau tahu apa yang kusesali dari semuanya, Gavin?” ucap Vanesa pelan namun jelas. “Bukan tentang kehilangan Damian... tapi karena aku pernah percaya padamu.”

Gavin tertawa kecil, suara rendah dan sinis. “Kau percaya karena kau butuh perlindungan. Tapi sekarang kau lupa siapa yang membuatmu tetap hidup.”

Vanesa bangkit berdiri, berdiri tepat di hadapan pria itu.

“Kalau kau pikir bisa mengendalikanku seperti boneka, kau salah besar.”

Sebelum Gavin sempat membalas, suara ketukan keras terdengar dari pintu.

Mereka berdua saling menatap. Wajah Gavin mengeras. “Siapa yang berani datang ke sini malam-malam begini?”

Vanesa mundur setapak. “Kau takut? Bukankah kau menguasai segalanya?”

Gavin mengabaikannya dan melangkah ke pintu.

Saat di buka, Raga datang membawa kotak. Laki-laki itu pamit pergi.

Gavin membawa kotak ke dalam, lalu meminta Vanesa membuka.

Vanesa tidak langsung membukanya, dia menatap Gavin dengan ragu. “Apa ini?”

Gavin tersenyum samar “Buka aja. Itu aku pesan khusus untuk kamu.”

Vanesa menahan nafas, ia belum tahu apa isi kotak,  tapi pirasatnya mengatakan ada sesuatu di sana. Dengan sikap pelan-pelan ia membuka kotak. Ternyata isinya sebuah kain tipis berbahan satin berwarna putih gading. Sebuah linggeria seksi.

“Itu akan jadi seragammu jika aku memintamu  bersamaku,” ucap Gavin

‘Kurang aja, Buat apa dia memberiku pakaian seperti ini, emangnya aku wanita panggilan’  Vanesa berucap dalam hati.

Namun, untuk saat ini  ia tidak bisa membantah, hanya diam menatap kain itu dengan sikap pasrah.

“Kenapa? Kamu keberatan melakukan tugasmu?”

Vanesa menggeleng pelan. “Baiklah.”

Ia akan melakukan semuanya untuk saat ini, jika waktunya sudah tiba nanti Vanesapu akan melawan nantinya. Untuk saat ini ia hanya bisa menuruti semuanya.

Bersambung

1
Bella syaf
capek, tapi mengaduk perasaanku 😭
Bella syaf
aku sedih terus baca ini ya Allah 😭
Bella syaf
sakitnya sampe ke pembaca Thor 😭
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini
Bella syaf
penuh perhitungan, hitung semua Gavin 🤭
Bella syaf
tapi penghinaan mu kejam Gavin, aku bacanya sakit hati
Bella syaf
vanes kamu ngeselin bgt
Bella syaf
kelam banget 🥲
Bella syaf
Thor, kasian vanesha 🥲
Bella syaf
rahasia apakah?
Bella syaf
sedih ngebayangin jadi vanesha
Bella syaf
ini relate ya sama kehidupan asli, kebanyakan begini lelaki skrg
Bella syaf
awal cerita yang bagus, kasihan Gavin dan vanesha 🥲
Hesty
gavin egois thor... punyaistri 2....
Mamanya Raja
lanjut Thor sepertinya ceritanya bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!