Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.
mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28
Tampak cekatan Naira menyiapkan sepiring mie instan untuk Artha. Ya, hanya sebungkus mie yang tersedia di rumah kontrakannya. Dia tidak tahu jika Artha ternyata kabur tidak membawa apa apa selain ponsel dan motor.
"Ini, makanlah!" kata Naira seraya meletakkan segelas air dan seporsi mi goreng instan.
"Thanks, gue udah laper banget." Artha bersiap dalam waktu singkat, lalu tanpa menunggu mi agak dingin, langsung menyeruputnya menggunakan garpu.
Naira bisa melihat jika Artha saat ini tengah kepalaran. Biasanya Artha saat makan memiliki tatakrama dalam menikmati hidangan, tetapi hari ini lelaki itu tampak terburu-buru.
"Lo laper banget, ya?" Naira menunggu sembari bertopang dagu.
"Heem, begitulah!" jawab Artha singkat.
"Gue dua hari ini makan seadanya. Jadi ya sudah bisa dilihat gimana perkembangan kesehatan gue."
"Lo nggak pulang?" Naira bertanya setelah Artha menyelesaikan satu suapan terakhir. Walaupun sebungkus mie instan rasanya masih kurang, lelaki itu harus cukup puas dengan semua yang ada.
Artha menggeleng lemah, menyeruput minuman yang sudah Naira sediakan di atas meja.
"Gue malas ketemu Papa."
"Artha!"
Menghela napas sekali, Artha mengembuskan napasnya berat.
"Papa nggak pernah ngertiin gue. Dia selalu melihat gue dari sisi buruknya. Papa nggak pernah ngerti dan nanya alasan gue ngelakuin itu. Dia delalu ngenggep gue biang rusuh, nggak ada aturan. Tapi tidak pernah sekali pun mau mencari tahu alasan di balik apa yang sudah gue lakuin."
Naira mencoba mengerti di mana posisi Artha. Lalu, dia mengangguk kemudian.
"Gimana Papa lo ngerti, sementara lo nggak bilang?"
Naira menopang kedua tangan di atas meja, menatap Artha dengan lurus nan tajam.
"Mereka sayang sama lo. Mungkin itu cara mereka nunjukin kasih sayangnya buat lo."
"Gue nggak yakin." Artha langsung menyela.
"Papa hanya ingin mencetak generasi penerusnya saja. Papa ingin ada yang bisa meneruskan perusahaan yang sudah lama berdiri itu. Sementara gue nggak ada keinginan untuk ke sana. Gue pengen ngelakuin apa yang gue mau. Nggak harus menjadi pengusaha seperti apa yang Papa lakukan."
"Jadi lo maunya apa?" Naira menyentuh tangan Artha, menatap lekat lelaki di depannya itu.
" Sekarang lo bayangain. Lo posisiin diri lo sebagai orang tua lo! Lo posisiin diri lo sebagai Papa. Gimana
perasaan lo ngelihat anak lo tawuran seperti itu. Lo marah, enggak? Lo kesel enggak? Enggak mungkin lo bakal diam aja, nggak marah sama anak lo!"
"Gue nggak tahu." Artha menanggapi dengan malas.
"Lo tahu. Tapi lo nggak peduli. Ta, dengerin gue!" Naira masih menahan tangan Artha dalam genggamannya.
"Lo beruntung punya orang tua lengkap yang sayang banget sama lo, peduli dengan masa depan lo. Bahkan, asal lo tahu. Saat Papa nyari keberadaan lo, dia udah nyiapin banyak dana untuk membungkam mulit semua orang. Lo nyaris bunuh anak orang, Ta! Lo tahu enggak? Orang tua mana yang terima lihat anaknya dipukulin. Ya, walaupun sebenarnya yang melakukan gara-gara mereka duluan. Tapi lo yakin mereka peduli akan hal itu"
Artha masih diam. Kepalanya menunduk, menatap tangan yang sejak tadi berada dalam genggaman tangan Naira.
"Mereka enggak akan peduli siapa yang salah. Mereka hanya tahu bahwa lo yang sudah membuat anak mereka babak belur. Lo tahu enggak, setiap lo ada masalah dan berbuat ulah, siapa yang pertama kali datang menyelesaikan? Lo inget, enggak?"
"Maksud lo?"
Naira memukul pelan tangan Artha yang digenggamnya. Lantas, bibirnya melanjutkan bicara.
"Saat kita digerebek warga, kita hanya tahu semua beres, kan? Lo pikir siapa yang mengatur semuanya? Siapa yang udah nyelesaiin masalah di antara kita sampai warga yang hadir bungkam akan pekara?"
Artha menjawab lirih.
"Papa!" Matanya memejam. Mau mengelak pun, itu kenyataan. Setiap kerusuhan yang selama ini dia lakukan, selalu papanya yang datang mengurus semua. Entah menggunakan jalur negoisasi, maupun membayar denda.
“Itu lo tahu! Dan lo akan menyesal suatu saat jika lo sadar, tetapi Papa udah nggak ada di dunia ini. Gue udah ngalamin, Ta. Bahkan, gue udah kehilangan keduanya Mama dan Papa. Rasanya sakit ditinggal mereka berdua di saat gue sangat membutuhkan dukungan orang tua. Gue nyesel karena belum bisa menjadi yang terbaik dan
ngebanggain mereka selama keduanya masih hidup."
"Nai!" panggil Artha pelan, menatap Naira yang tiba-tiba meneteskan air mata.
"Gue hanya nggak pengen lo nyesel saat semua itu udah terjadi. Bahagiain orang tua lo yang sayang sama lo dengan cara mereka."
Artha mengangguk, lalu mengusap rambutnya kasar.
"Gue nggak tahu, Nai. Posisi gue sulit. Saat banyak anak-anak sok jagoan tiba-tiba nyerang temen-temen, gue nggak mungkin diam saja. Gue pasti harus balas agar mereka semua nggak lagi berani bikin ulah."
"Lo yakin?" tanya Naira dengan alis terangkat.
"Maksud lo?"
"Lo yakin, setelah lo memenangkan tawuran atau perkelahian semacamnya mereka jadi takut sama lo, dan enggak berani macam-macam sama setiap anggota yang berada di bawah kepemimpinan lo."
Artha hanya diam, tetapi telinganya masih mendengar serentetan perkataan Naira.
"Enggak, kan? Pada kenyataannya, tawuran hanya menimbulkan kerusuhan, pertengkaran, juga dendam. Saat lo menang, musuh lo akan nyari cara supaya bisa ngehancurin lo! Balas dendam sama lo. Dan semua ini akan berlanjut terus dari generasi ke generasi. Sampai kapan permusuhan itu akan berakhir?"
"Gue tahu. Emang itu yang biasa terjadi. Tapi gue nggak pernah nyari gara-gara ataupun balas dendam sama mereka."
"Dan mereka yang nyari gara-gara sama lo?"
"Ya, memang begitu adanya. Gue cuma mempertahankan diri, membela diri demi semua anggota di bawah kepemimpinan gue. Gue nggak akan tinggal diam jika mereka disakiti."
Naira mengangguk paham. Situasi memang rumit, tetapi orang dewasa hanya menganggap semuanya kesalahan anak-anak muda. Namun, bukankah setiap masalah pasti memiliki jalan keluar?
"Ta, lo punya bokap yang keren. Mengapa lo nggak jujur aja saat ada yang nyakitin temen-temen lo! Libatkan bokap lo! Gue yakin kalau Papa Ravindra akan senang hati membantu jika itu membuat lo nggak akan tawuran lagi."
"Apa?" Artha sempat terkejut dengan pendapat Naira.
"Ayo, kita pulang! Bukankah rumah terbaik adalah keluarga. Mama dan Papa udah nungguin lo! Mereka akan bahagia kalau udah lihat lo balik."
Artha menggeleng lagi.
"Papa yang ngusir gue. Lo nggak tahu apa kalau gue diusir dari rumah."
"Tahu. Dan mereka akan dengan senang hati nerima lo kembali. Artha, bisa nggak sih kamu nggak keras kepala kalau dibilangin?"
"Nai!"
"Gue juga bakal marah sama lo jika lo terus-menerus kayak gini. Gue akan nerima Julian buat gantiin lo!"
"Apa?" Saat itu juga mata Artha melebar. Julian bakal ngegantiin dia ngelindungi Naira. Gila! Itu jelas saja tidak boleh. Julian tidak layak kalau disuruh ngegantiin posisi Artha.
"Pulang enggak?" tanya Naira mengabaikan raut terkejut Artha.
"Kalau lo nggak pulang, gue juga nggak akan pulang. Biar aja kita kelaperan bareng bareng di sini!" Naira melanjutkan.
"Hari ini gue mau di sini. Lo mau nemenin, kan?" Artha membalas tatapan Naira. Dia mencoba memikirkan semua yang baru saja Naira katakan. Mungkin, dengan bersikap terbuka pada papanya, bisa memudahkannya menghadapi permasalahan yang ada.
"Heem, baiklah!" Naira akhirnya setuju.
Setidaknya dia cukup lega mendengar Artha mau memikirkan perkataannya. Paling tidak, lelaki itu tak sekaku apa yang selama ini Naira kira.
"By the way, gue nyariin lo ke rumah Kak Mesa."
"Apa? Ngapain lo ke sana?" tanya Artha kemudian .
"Gue nyari lo! Gue udah nyari lo ke mana-mana tapi nggak ketemu. Nanya ke temen-temen lo juga nggak ada yang tahu. Akhirnya gue ke rumah Kak Mesa." Naira mengulum senyum, lalu menatap Artha dengan tatapan penuh.
"Gue nggak tahu mengapa dia ngasih tahu gue tentang masalah ini." Perkataan Naira membuat kening Artha mengernyit.
"Masalah apa? Mesa ngomong apa?"
“Dia... masih sayang sama lo! Dan dia kembali ke sini buat lo."
"Apa? "