Mengandung Benih Presdir Dingin

“Mengusap perutmu?” ulang Sagara, seolah ingin memastikan ia tak salah dengar.

Alika mengangguk. “Katanya, itu bisa membuat janin merasa lebih tenang. Saya hanya ingin... merasakannya.”

Butuh beberapa detik bagi Sagara untuk bereaksi. Hingga akhirnya, ia menggeser duduknya, lalu perlahan mengulurkan tangan.

Tanpa banyak kata, Sagara menyentuh perut Alika dengan hati-hati, seperti takut menyakitinya. Gerakan itu kaku di awal, namun kemudian menjadi lebih lembut dan teratur.

Alika memejamkan mata. Ia membiarkan sentuhan Sagara menyentuh permukaan perutnya, memberi kehangatan yang tak pernah ia sangka akan datang dari pria itu.

Pria yang biasanya dingin dan tegas, kini duduk tenang di sampingnya, mengusap lembut perutnya yang masih sangat rata.

“Apa kamu sering merasa seperti ini?” tanya Sagara, suaranya lirih, nyaris berbisik.

“Tidak setiap hari,” jawab Alika tanpa membuka matanya. “Kadang datang tiba-tiba. Tapi biasanya akan hilang sendiri.”

Sagara mengangguk samar, walau Alika tak bisa melihatnya. Ia masih mengusap perut Alika, memandangi wajah istrinya yang tampak lebih tenang.

“Aku tidak tahu banyak tentang ini,” ucapnya pelan. “Tapi kalau kamu butuh sesuatu, bilang saja. Aku akan berusaha.”

Ucapan itu terdengar sederhana, dan cukup membuat dada Alika terasa sesak. Ia tidak menyangka, Sagara yang selama ini begitu tertutup, ternyata menyimpan sisi yang peduli.

Mungkin tidak ditunjukkan dengan kata manis atau perhatian yang hangat seperti dalam kisah cinta yang ia lihat di film, tapi lebih pada tindakan-tindakan kecil yang tulus.

“Terima kasih, Tuan,” bisik Alika.

“Panggil aku Sagara,” balas pria itu tiba-tiba. “Jangan terus-terusan memanggilku Tuan, kita sudah menikah.”

Alika membuka matanya dan menatap Sagara, sedikit terkejut. Ini pertama kalinya pria itu menyuruhnya memanggil dengan nama, bukan sebutan formal.

“Tapi saya belum terbiasa…”

“Biasakan!” potong Sagara. “Aku juga akan belajar terbiasa dengan semua ini. Meski tak ingin.”

Alika tidak ingin menuntut terlalu banyak. Cukup dengan sikap Sagara hari ini, ia merasa hatinya yang semula dipenuhi rasa takut dan asin dan mulai mencair sedikit demi sedikit.

Sagara menarik selimut dan menutupi tubuh Alika. “Sekarang tidurlah. Aku akan tetap di sini.”

“Anda tidak harus menemani saya sepanjang waktu.”

“Aku tahu,” sahut Sagara cepat. “Tapi aku ingin.”

Alika menatap wajah Sagara lama, lalu mengangguk dan memejamkan mata. Ada damai yang merambat perlahan ke dalam hatinya.

Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka yang mendadak itu, Alika merasa dirinya tidak sendiri. Ia merasa dilindungi.

Tidak hanya Alika, Sagara juga merasakan hal aneh saat mengusap perutnya. Ada perasaan hangat mengalir, yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Tiba-tiba, suara ponsel Alika memecah keheningan. Nada dering itu terdengar kencang di tengah suasana yang tenang.

Alika terkejut, buru-buru mengambil ponselnya yang tergeletak di meja samping ranjang.

Di layar ponsel, nama Rangga muncul, tapi Alika tidak segera mengangkatnya. Wajahnya berubah tegang.

Sagara menoleh ke arah Alika lalu melihat sekilas ke layar ponselnya. “Dari siapa?” tanyanya tanpa basa-basi.

Alika menelan ludah, dadanya berdebar kencang. Alika tahu, tidak mungkin menghindari pertanyaan itu, tapi ia juga tidak ingin membahas hal-hal yang bisa membuat situasi menjadi lebih rumit.

“Teman lama,” jawabnya singkat.

“Laki-laki atau perempuan?” Sagara kembali bertanya.

“Laki-laki!” seru Alika.

Sagara mengeraskan rahang.

“Kenapa tidak dijawab?”

“Saya tidak perlu menjawabnya karena tidak penting,” balas Alika sambil meletakkan kembali ponselnya di meja.

Ada sedikit getaran di suaranya, karena ia sadar posisi dirinya sekarang sudah berbeda. Dia bukan lagi Alika yang bebas, sekarang dia adalah istri Sagara.

“Seberapa lama kalian kenal”

Alika terkejut dengan pertanyaan itu, tidak menyangka Sagara akan terus menanyakan hal tersebut.

“Dulu sebelum kita menikah,” ucap Alika. “Saya sudah bilang itu tidak penting kan?! Kenapa anda terus bertanya!”

Sagara mengangguk, tanpa bertanya apa-apa lagi. Ia sangat tahu pernikahan ini terjadi bukan atas dasar cinta. Tapi itu tidak membuatnya untuk tidak bertanggung jawab.

“Baik. Kalau memang tidak penting, lupakan saja,” ucap Sagara.

Alika menghela nafas lega.

Sementara Sagara memutuskan untuk tidak ikut campur dalam urusan pribadi Alika lebih jauh.

Walaupun hubungannya dengan Alika tidak benar-benar dekat, dia bisa merasakan wanita itu sedang berusaha menyesuaikan diri.

Dan untuk saat ini, Sagara cukup memastikan keadaan bayi mereka baik-baik saja.

“Meski hanya teman lama, kenapa aku jadi kesal begini.” Sagara bergumam dalam hati.