🍁Ketika kesetiaan diragukan, nasib rumah tangga pun mulai dipertaruhkan.
-
-
Bukan pernikahan impian melainkan sebuah perjodohan. Aini harus menikah dengan anak dari sahabat lama Ayahnya atas permintaan sang Ayah yang tengah terbaring lemah dirumah sakit.
Berbeda dengan Aini yang berusaha menerima, Daffa justru sebaliknya. Dinginnya sikap Daffa sudah ditunjukkan sejak awal pernikahan. Meskipun begitu Aini tetap mencoba untuk bertahan, dengan harapan mereka bisa menjadi keluarga yang samawa dan dapat menggapai surga bersama.
Dan ketika cinta itu mulai hadir, masa lalu datang sebagai penghalang. Keutuhan cinta pun mulai dipertanyakan. Mampukah Aini bertahan ditengah cobaan yang terus menguji kesabaran serta mempertahankan keutuhan rumah tangganya?
📝___ Dilarang boom like, menumpuk bab apalagi sampai kasih rating jelek tanpa alasan yang jelas. Silahkan membaca dan mohon tinggalkan jejak. Terimakasih 🙏🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 : Butuh penjelasan.
Jarum jam sudah menunjuk di angka sepuluh malam, beberapa kali Aini melirik ke arah handphonenya yang terus berdering diatas meja samping tempat tidurnya. Sengaja dia abaikan panggilan dari suaminya karena dia belum siap membahas tentang apapun untuk saat ini.
Diatas ranjang sempitnya Aini berbaring, matanya masih enggan untuk terpejam meskipun dia sudah berusaha untuk memejamkannya. Kebiasaan menunggui suaminya sebelum tidur membuatnya tidak bisa memejamkan mata begitu saja, dan rasa kantuk hilang saat memikirkan suaminya sekarang sedang apa.
Selain itu badannya juga terasa pegal-pegal, sejak kemarin dia belum benar-benar beristirahat. Ditambah lagi sore tadi Hana datang kerumah bersama teman-temannya yang bekerja di pabrik untuk melayat.
Tak kunjung ngantuk, Aini kembali duduk dan meraih ponselnya. Sengaja dia alihkan pengaturan handphonenya ke mode pesawat supaya Daffa tidak lagi mengganggunya dan mulai membuka galeri ponselnya.
Sebuah senyuman tipis terukir diwajah saat jari jempolnya dengan lihai menggulir satu persatu foto yang ada di galeri, disana banyak foto kenangan dirinya bersama dengan mendiang ayahnya. Hingga tak terasa air matanya kembali menetes ketika dia kembali teringat dengan ucapan ayahnya saat di rumah sakit beberapa waktu lalu.
"Ai... Jangan pernah merasa pernikahan kalian ini sebagai beban. Apapun yang terjadi didalam rumah tangga kalian, kamu harus bisa mempertahankannya. Mungkin sekarang kalian masih kaget dengan hubungan yang baru kalian jalani ini. Tapi percayalah, Allah sedang menunjukkan jalan-Nya, dan kalian ditakdirkan bersama dalam ikatan suci pernikahan."
Sekilas ucapan itu kembali terngiang, mungkin tidak ada salahnya juga dia memberikan kesempatan bagi Daffa untuk menjelaskan. Meskipun penjelasannya nanti akan terdengar menyakitkan, tapi dia tidak bisa juga terus-terusan menghindar.
Dan pagi ini, usai menjalankan sholat subuh, Aini mengeluarkan motor supra milik mendiang ayahnya dari ruangan depan. Sebenarnya Aini bisa mengendarai motor sendiri, hanya saja memang cuma ada satu motor dan biasanya dipakai oleh ayahnya untuk bekerja hingga dia selalu pulang pergi ke pabrik bersama dengan Hana.
"Mau pulang, Nak? Nggak minta suami kamu buat jemput saja?" Ratri datang dengan membawa dua cangkir teh ditangannya dan meletakkannya diatas meja yang ada diteras rumah.
Aini yang baru saja selesai memanasi mesin motornya bergegas menghampiri sang ibu dan duduk di salah satu kursi kayu yang ada disana, "Iya Bu, aku punya tanggung jawab yang harus aku jalani,"
Ratri tersenyum, dia ikut duduk di kursi lainnya, "Jangan gegabah mengambil keputusan dan jangan segampang itu mengambil kesimpulan. Mungkin saja kemarin nak Daffa sudah bicara jujur, coba kalian bicarakan lagi baik-baik dan jangan pakai ego dan emosi,"
Aini mengangguk, suasana hatinya memang sudah sedikit lebih tenang, meskipun rasa kecewa pasti masih ada, "Itu yang mau aku lakukan, Bu. Ibu tidak apa-apa kan kalau aku tinggal sendiri dulu?"
"Tidak apa-apa, Nak. Lakukanlah kewajiban kamu sebagai seorang istri, masalah itu untuk dihadapi, bukan untuk dihindari. Sekarang pulanglah, suami kamu sudah menunggu,"
Aini lebih dulu menyeruput tehnya sebelum pamit pulang. Pagi itu jalanan belum terlalu ramai karena memang baru jam setengah enam pagi, bahkan mungkin sebagian orang masih terlelap dan masih bergulat dengan mimpi-mimpi indahnya.
-
-
-
Daffa sudah siap dengan style kerjanya, matanya sedikit memerah dan terasa berat karena memang semalaman dia tidak bisa tidur sama sekali. Dan pagi ini dia berniat untuk menemui Aini lebih dulu sebelum pergi ke kantor, tidak bisa dia didiamkan lama-lama seperti ini, rasanya seperti ada yang hilang dari hidupnya.
Makanan dimeja makan tak tersentuh sama sekali, hanya dia pandangi sejak setengah jam yang lalu, sama sekali tidak menggugah selera makannya.
Dia melihat kearah jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit, mungkin sebaiknya dia pergi menemui Aini sekarang. Tak ingin menunggu terlalu lama lagi Daffa bergegas bangun dan meninggalkan ruang makan, namun langkahnya terhenti saat dia membuka pintu depan dan melihat sebuah motor melaju pelan memasuki halaman rumahnya. Sedikit terkejut juga karena yang menaiki motor itu ternyata adalah istrinya.
Selesai memarkirkan motornya, Aini membuka helmnya dan bergegas untuk turun. Dia menghampiri Daffa yang masih berdiri mematung di depan pintu. Diraihnya tangan suaminya dan diciumnya punggung tangannya dengan takzim sembari mengucapkan salam.
"Kamu sudah sarapan, Mas?" tak ada kemarahan, namun tatapannya tetap menghindar. Meskipun begitu dia tetap sopan saat bertanya.
Pertanyaan seperti ini yang justru membuatnya serba salah dan jelas semakin merasa bersalah, "Ai, kenapa tidak menelfon kalau mau pulang, kan bisa Mas jemput,"
"Nggak apa-apa, Mas, udah sampai juga. Kamu udah mau berangkat?" kali ini dia memberanikan untuk menatap, hingga matanya bertemu dengan mata Daffa yang sedikit memerah dan terlihat begitu lelah. Mungkinkah suaminya ini tidak tidur semalaman?
"Kamu tidak tidur, Mas?" tanyanya, agak sedikit khawatir juga, tapi wajahnya tetap terlihat datar seolah tidak ingin terlalu menunjukkan kekhawatirannya dihadapan suaminya ini.
"Tidur kok, habis sholat subuh tidur sebentar," jawabnya jujur, karena setelah menjalankan dua rakaatnya dia memang sempat memejamkan mata sebentar sebelum akhirnya memilih bersiap-siap karena ingin cepat-cepat menemui Aini tadi.
Aini mengangguk-anggukkan kepalanya pelan, lalu kembali menatap mata suaminya, kali ini tatapannya terlihat lebih tegas. Karena saat ini dia butuh penjelasan, dan dia sudah menyiapkan hatinya untuk mendengar apapun yang akan diceritakan oleh suaminya nanti.
"Kalau begitu sudah siap untuk bercerita kan? Aku ingin mendengar penjelasan tentang apa yang terjadi malam itu antara kamu dan mantan istri kamu Mas. Ceritakan sedetail-detailnya tanpa ada yang ditutup-tutupi lagi dariku,"
...💧💧💧...
. tapi aku ragu celine bakal sadar sebelum dapet karma instan🤧🤧