Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hukuman Berat
Bulan penuh naik perlahan di langit gelap,
cahayanya membasuh halaman persembahan dengan kilau keperakan.
Asap dupa menari tipis di udara, bercampur wangi dupa bunga dan bau manis dari kue bulan persembahan yang memenuhi meja altar utama.
Semua dayang, kasim, dan pejabat ritual telah berlutut rapi.
Di antara mereka, Yu Zhen menunduk dalam diam di barisan Kediaman Barat, sebelah kanan altar utama.
Tangannya yang sehat mengatup, matanya tertuju lurus ke depan, mencoba mengikuti seluruh rangkaian dengan hati-hati.
Lonceng besar berdentang tujuh kali, menggetarkan dada semua yang hadir.
Kaisar melangkah ke depan, mengenakan jubah upacara bersulam naga emas.
Suaranya berat, namun tenang saat membuka acara:
"Hari ini kita mempersembahkan rasa syukur kepada Surga atas hasil panen di musim gugur ini,
dan memohon berkah panjang umur bagi seluruh negeri."
Semua kepala menunduk serempak,
suara angin malam seolah turut menunduk bersama.
Tabib besar kerajaan melangkah maju, membawa dupa suci.
Ia menyalakannya dengan bara istana, simbol murni yang hanya digunakan untuk upacara leluhur.
Begitu asap dupa mulai mengepul…
Bau itu menyeruak.
Bukan harum dupa.
Bukan manisnya kue bulan.
Tapi bau tengik yang menusuk,
seperti bau amis bercampur sesuatu yang busuk dan aneh.
Kaisar mengerutkan kening.
Pejabat-pejabat tinggi menoleh pelan, saling bertukar pandang dengan gelisah.
Tabib besar mencoba tetap tenang.
Ia mendekat ke altar, mencium lebih dekat...
dan wajahnya memucat.
Tangannya sedikit gemetar saat mengangkat sepotong kue bulan dari altar Kediaman Timur—altar persembahan milik Selir Ji'an.
Ia menuangkan cairan suci ke atas kue itu.
Di depan semua orang,
kue bulan itu berubah warna—
menghitam perlahan,
bau busuknya semakin pekat hingga menusuk hidung semua orang.
Desis ketakutan terdengar dari barisan dayang dan kasim.
Seseorang berbisik:
"Bahan najis... di persembahan suci?"
"Itu... dosa berat."
Tabib besar menunduk dalam-dalam, wajahnya pucat seperti kertas:
"Yang Mulia...
Persembahan Kediaman Timur tercemar parah.
Mengandung unsur haram yang menghina Upacara Surga."
Kaisar menatap tajam ke arah altar.
Suaranya, saat berbicara, bagaikan palu memukul tanah:
"Siapa yang bertanggung jawab?"
Ji'an—yang berdiri tegak di antara dayang-dayangnya—tercengang.
Wajahnya berganti pucat, lalu merah padam dalam sekejap.
Wajahnya—yang biasanya dipenuhi senyum percaya diri—sekarang pias, matanya bergerak liar.
Dalam hatinya, badai berkecamuk:
"Apakah... ini ulah Selir Xuan?
Apakah dia... membalas?
Aku menjebaknya... tapi dia lebih dulu menikam balik?!"
Amarah dan ketakutan bertabrakan dalam pikirannya.
Ji'an menatap ke arah Xuan,
seolah ingin menguliti wajah wanita itu untuk mencari jawaban.
Tapi Xuan berdiri diam di tempatnya,
seperti arca porselen halus—tak bergeming, tak tersenyum, tak juga marah.
Matanya tenang, setenang permukaan danau sebelum badai.
Tapi belum selesai keterkejutan itu—
Tabib besar memeriksa altar lainnya.
Ia mengambil kue dari altar Kediaman Barat, tempat persembahan Selir Xuan.
Meneteskan cairan suci...
Dan kali ini—meski tidak menghitam—kue itu berubah warna menjadi kehijauan samar.
Baunya pun tidak kalah menusuk.
Tabib besar berlutut lebih rendah lagi.
"Yang Mulia...
Persembahan Kediaman Barat juga tercemar."
Dua nama besar.
Dua selir agung.
Xuan pun tercekat. Tak lagi tenang.
"Aku..."
Ia masih sulit menerima.
Ia, yang sepanjang hidupnya selalu hati-hati.
Ia, yang tahu setiap jebakan di dunia istana.
Ia, yang bahkan telah memperingatkan Zhen untuk berhati-hati...
Sekarang, ia sendiri... berdiri di tengah dakwaan memalukan ini.
Xuan menunduk sedikit, kelopak matanya bergetar.
"Aku menyuruh Yu Zhen untuk mengawasi, meski ia baru pulih...
Tapi... mungkinkah...?"
Seketika pikirannya berontak.
Tidak.
Bukan Yu Zhen.
Xuan mengenang tatapan lurus gadis itu, caranya melindunginya saat Ji'an memberinya vas bunga phoenix, juga keberaniannya di parade lalu.
Orang sepolos itu...
tidak mungkin menusuk punggungnya.
Tidak.
Bukan Zhen.
"Kalau begitu... siapa?
Siapa yang berani mengotori altar Kediaman Barat? Ji'an sendiri juga terseret masalah ini.."
Kedua altar rusak.
Dan Surga... murka.
Di atas panggung altar,
meja persembahan Permaisuri Agung tetap berdiri megah—
tak ternoda.
Demikian pula meja persembahan Selir Muda baru,
yang menjadi kesayangan Kaisar belakangan ini.
Keduanya bisa saja dicurigai kedua selir yang kini bersalah.
Gemuruh kecil merambat di antara barisan bangsawan dan selir:
"Kediaman Timur... dan Kediaman Barat...?"
"Bencana macam apa ini?"
"Bagaimana bisa kedua kediaman besar sekaligus...?"
Xuan berdiri kaku.
Tangan dalam lengan bajunya mengepal erat.
Bahkan dari tempatnya, Yu Zhen bisa melihat bagaimana tubuh wanita itu sedikit gemetar—entah oleh marah, takut, atau malu.
Sementara Ji'an,
matanya berkilat bagaikan binatang terpojok.
Dia tahu. Dia sadar.
Entah bagaimana... jebakan yang ia pasang untuk orang lain,
telah melilit kakinya sendiri.
Dua kecurigaan saling beradu dalam sunyi.
Tapi waktu tidak mau menunggu mereka berpikir lebih lama.
Kaisar melangkah ke depan,
jubah hitamnya berkibar pelan.
Suaranya seperti gemuruh petir yang ditahan:
"Kediaman Barat. Kediaman Timur."
"Dua altar tercemar.
Dua rumah gagal menjaga penghormatan untuk Surga."
"Aku ingin mendengar alasan kalian. Sekarang."
Semua kepala menunduk lebih dalam.
Dayang dan kasim Kediaman Barat, Kediaman Timur—semua gemetar,
tak ada yang berani bersuara.
Ji'an ingin bicara, ingin membela diri,
ingin menuduh Xuan—
tapi suara itu mati di tenggorokannya.
Sebab ia sadar:
Jika ia menuduh tanpa bukti, itu bunuh diri.
Dan bukti... tidak ada.
Yu Zhen, dari tempatnya, mendongak pelan.
Melihat Selir Xuan berdiri di tengah semua sorotan,
sendirian...
dan diam.
Ada sesuatu di dada Zhen yang bergetar.
"Kalau begini terus... Nyonya Xuan bisa dihukum berat.
Bahkan... dibuang.
Atau... dihukum mati kalau dianggap menghina Surga."
Napas semua orang menahan di tenggorokan.
Mereka menatap bocah dayang itu—Yu Zhen—yang kini berdiri sendirian di tengah lapangan batu,
bagaikan seekor burung kecil yang tersesat di tengah badai para raksasa.
Namun sebelum Yu Zhen sempat membuka suara...
Kasim Agung melangkah maju, membawa gulungan sutra putih bertinta hitam.
Dengan suara berat yang menggema ke seluruh halaman,
ia membacakan aturan leluhur:
"Menurut hukum keluarga kekaisaran,
siapa pun yang mempersembahkan sesajen tercemar kepada Surga,
dihukum seratus cambukan rotan kekaisaran."
Suara itu bergema mengiris.
Semua orang di paviliun saling bertukar pandang ngeri.
Seratus cambukan.
Bahkan pria kuat bisa mati dalam hukuman ini.
Apalagi wanita.
Kasim Agung melanjutkan, suaranya tetap berat, tak memberi belas kasihan:
"Atau...
sebagai pengganti,
kehormatan keluarga akan dicabut.
Gelar dan kedudukan dihapus.
Turun derajat sebagai rakyat biasa."
Tangannya menutup gulungan perlahan.
"Pilihan ada di tangan yang bersalah."
Seolah waktu berhenti.
Di atas altar, Kaisar duduk diam seperti gunung batu.
Tak satu pun emosi terbaca di wajahnya.
Di bawah, kedua sosok wanita itu membeku:
Xuan, yang selalu menjunjung harga diri dan martabat tanpa cela.
Ji'an, yang hidup dan bernapas demi kekuasaan.
Masih trauma dengan kesalahan diri
Sudah pencet bintang 5 untuk seorang author
Begitu muncul hanya 3.
Dan akhirnya kena block.
Berasa berdosa sama sang author
Vote terimakasih untukmu
Sekalipun cara yg di tempuh salah.
Orang tak bersalahpun menjadi korban
Hingga menjatuhkan menjadi keharusan
Riwayat sebuah propinsi kaya yg rakyatnya menderita
Kesenjangan yg di sengaja
yang memaksakan kehendak lewat cara tetcela.
Demi keamanan dan kenyamanan Yu zhen
Semoga Yu Zhen tetap baik baik
Tolong jangan bermain dengan perasaan dulu..
Sebelum semua baik baik saja
Kalem tapi tegas
Tetaplah tumbuh dengan karaktermu
cerita bagus begini kenapa sedikit sekali peminatnya
Semoga rasa yg ada,tak berbuah petaka kedepannya