NovelToon NovelToon
Masa Lalu Pilihan Mertua

Masa Lalu Pilihan Mertua

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Poligami / Selingkuh / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami
Popularitas:12.6k
Nilai: 5
Nama Author: Thida_Rak

Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.

Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.

Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.

Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28 Masa Lalu Pilihan Mertua

Setelah Arman dan Raya kembali, Diva sudah lebih dulu berada di dalam kamar yang hening. Sunyi yang menyelimuti ruangan itu seolah memperkuat rasa perih yang kembali mengoyak hatinya. Betapa tidak, Arman yang masih sah menjadi suaminya tega membawa perempuan lain ke hadapan keluarga, dan memperkenalkannya tanpa ragu. Kecewa itu tak terbendung. Di momen itu pula, Diva semakin yakin bahwa keputusan untuk berpisah dari Arman adalah langkah yang paling tepat.

---

POV Diva Luka yang Tak Terucap

Aku berdiri di hadapan mereka Arman dan wanita itu. Mereka tampak utuh, seolah-olah aku ini hanya bayangan masa lalu yang tak berarti. Tapi mereka tak pernah tahu, di balik tenangnya suaraku, ada luka yang tak pernah sembuh. Luka yang mereka toreh tanpa ampun.

Saat Arman menyebutku "tidak berguna", "mandul", aku menggigit bibirku dalam-dalam. Aku sudah sering mendengarnya. Bukan hanya dari dia, tapi juga dari ibu mertuaku. Sejak tahun kedua pernikahan kami, saat dua garis tak pernah kunjung datang di test pack, hidupku berubah. Dari istri yang dicintai menjadi perempuan yang dianggap gagal.

Aku masih ingat malam-malam ketika aku menangis di kamar mandi sendirian, menahan suara isak agar tidak terdengar. Aku mencoba segala cara—obat herbal, konsultasi medis diam-diam, doa di setiap malam tanpa lelah. Tapi hasilnya tetap sama: kosong.

Dan Arman? Dia makin jauh. Bahkan saat kuajak bicara soal adopsi, dia menertawakanku. Katanya, "Aku ingin darah dagingku sendiri."

Hari demi hari, rumah itu berubah jadi penjara. Ibu mertuaku terus menghinaku. Tak pernah sehari pun aku merasa cukup baik. Tapi aku bertahan. Karena aku mencintai Arman. Aku pikir... dia akan berubah.

Tapi nyatanya, dia hanya menikam dari belakang.

Hari ini, melihatnya duduk dengan wanita lain di ruang tamu rumah kakakku... semua kenangan itu menyerbu seperti badai. Tangisan yang kutelan, hinaan yang kutumpuk, luka yang kusimpan—semuanya meledak di dada.

Aku ingin berteriak. Tapi yang keluar hanya suara datar. Suara dari seorang wanita yang sudah letih, sudah hancur, tapi memilih berdiri tegak.

"Aku tidak akan kembali, Man. Kamu sudah mengubur semua itu dengan tanganmu sendiri."

---

Sesampainya di rumah, Bu Susan sudah menunggu kedatangan anaknya bersama dua menantunya. Namun, saat Arman masuk hanya bersama Raya, ekspresi heran langsung terpancar dari wajah Bu Susan.

“Lho, mana Diva, Man? Kamu nggak berhasil membujuknya pulang?” tanya Bu Susan penuh kecewa.

“Entahlah, Bu. Saya juga nggak paham dengan jalan pikirannya. Padahal dia sudah hidup enak di sini,” jawab Arman, menghela napas.

Raya yang sejak tadi ikut mendengarkan ikut menimpali, “Iya, Bu. Diva itu aneh. Sudah tinggal di rumah yang nyaman, tapi malah memilih pergi dan hidup susah. Memang nggak tahu bersyukur.”

“Tuh, dengar sendiri kan, Man. Istrimu itu memang keras kepala. Makanya dari dulu Ibu bilang, menantu pilihan Ibu yang terbaik,” sahut Bu Susan, membenarkan.

Arman tampak cemas, “Tapi Bu, kalau Diva benar-benar mengajukan cerai, habislah karier saya…”

“Tenang saja, Man,” kata Bu Susan menenangkan. “Gantung saja dia, biar tahu rasa. Perempuan kayak gitu nggak akan berani macam-macam.”

Arman terdiam. Dalam hatinya, ia tahu ada benarnya juga ucapan ibunya dan Raya.

Raya yang mendengar percakapan itu tampak sedikit gusar. Keinginannya untuk menjadi satu-satunya istri Arman ternyata tidak semulus harapannya. Dalam hati, ia bergumam lirih, "Apa aku harus hamil dulu agar Arman makin mencintaiku dan benar-benar meninggalkan wanita itu? Lagi pula, dia bahkan belum juga punya anak..."

“Ray, aku mau mandi dulu, ya,” ujar Arman, memecah lamunannya.

“Iya, sayang,” jawab Raya sambil tersenyum kecil, lalu kembali fokus pada ponselnya.

---

Pagi itu, Diva bangun seperti biasa. Usai menunaikan salat Subuh, ia memilih jogging untuk menyegarkan pikiran. Setelah kembali, ia menikmati sarapan ringan, lalu bersiap menuju toko. Kakaknya dan abang iparnya memilih untuk tidak membahas kejadian semalam, karena mereka tahu itu hanya akan membuka luka Diva kembali.

Sesampainya di toko, para karyawan telah menyiapkan segalanya. Diva pun langsung menempati posisi di meja kasir, melayani pembeli yang datang silih berganti. Aktivitas di toko menjadi pelarian terbaik baginya, cara sederhana namun berarti untuk menjaga diri dari tenggelam dalam kesedihan yang masih mengendap di hati.

Dari pagi hingga menjelang siang, toko tampak ramai dipenuhi pembeli. Hati Diva pun terasa hangat ia merasa senang karena untuk pertama kalinya ia benar-benar terlibat langsung dalam mengelola toko peninggalan orang tuanya. Biasanya ia hanya menerima laporan, kini ia merasakan sendiri hiruk pikuk dan dinamika usaha itu.

Melihat dua karyawannya mulai kelelahan, Diva segera menyuruh mereka untuk beristirahat dan menikmati makan siang terlebih dahulu. Ia pun berencana menyusul sebentar lagi, karena sejak pagi belum sempat makan. Hari ini, entah mengapa, ia benar-benar ingin menyantap makan siang di warung kecil favoritnya yang tak jauh dari toko.

Saat Diva sedang menikmati makan siangnya di warung kecil favoritnya, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama yang muncul di layar membuatnya langsung kehilangan selera ibu mertuanya. Diva memandangi layar sesaat, lalu mengabaikannya. Ia tahu, jika diangkat, hanya akan ada kata-kata pedas yang menyakitkan hati. Hari itu ia hanya ingin damai, tanpa bayang-bayang tekanan dari masa lalunya.

Sementara itu di rumah, Bu Susan mondar-mandir di ruang tamu. Wajahnya tampak tegang, pikirannya kalut memikirkan cara agar Diva kembali bukan karena kasih sayang, melainkan demi menjaga karier anaknya, Arman. Berkali-kali ia mencoba menelepon Diva, tapi tak satupun dijawab.

"Menantu kurang ajar…! Berani-beraninya dia mengabaikan aku," geramnya lirih sambil melempar ponsel ke sofa. "Kalau bukan demi Arman, sudah kutendang dia dari dulu!"

Bu Susan menghela napas panjang melihat kotak-kotak makanan di tangan Arman dan Raya. Meski tersenyum, sorot matanya tampak kecewa.

“Eh, sudah pulang kalian,” ucapnya saat keluar dari kamar, mencoba menyambut mereka dengan wajah ramah.

“Iya, Bu. Sudah,” jawab Arman sambil menyodorkan makanan.

Namun, Bu Susan mengernyit. “Loh, Raya, malam ini beli makanan lagi? Ibu maunya kamu yang masak. Ibu tuh kangen masakan rumah,” ucapnya pelan, nada suaranya sedikit sedih.

Raya tersenyum kaku. Dalam hatinya, ia mendesah, "Aduh, menyusahkan saja orang tua ini. Sudah tahu aku capek, masih juga minta dimasakin. Memang paling benar kalau Diva yang kembali ke rumah ini."

“Iya, Bu. Maaf ya… Hari ini kerjaan banyak banget, jadi nggak sempat masak,” jawab Raya dengan nada dibuat-buat ramah.

Bu Susan hanya mengangguk pelan, menyimpan rasa kecewanya. Rumah itu, meski kini ramai, tetap terasa kosong tanpa Diva.

Bu Susan melangkah pelan ke dapur, membenahi gelas yang tak sejajar di meja, pikirannya melayang. Ia mulai merasakan perbedaan nyata antara Raya dan Diva. "Raya memang pintar, berpendidikan, dan punya karir bagus, tapi ada sikapnya yang terasa jauh... tidak seperti Diva."

Diva, meski bukan menantu pilihannya dulu, selalu patuh, tak pernah membantah, bahkan ketika ia diomeli sekalipun. Ada ketenangan dalam sikapnya, yang kini terasa hilang sejak kepergiannya.

Namun Bu Susan buru-buru menepis pikiran itu. "Ah, wajarlah beda. Diva itu tidak sekolah tinggi, tidak seperti Raya. Raya itu sepadan dengan Arman, sama-sama punya masa depan, sama-sama cerdas," gumamnya dalam hati, mencoba meyakinkan diri sendiri. Tapi tetap saja, ada ruang kosong yang tak bisa Raya isi seperti Diva dulu.

1
Uli Mafrudoh
amit2 punya mertua kaya gitu
Thida_Rak: rata2 mertua kan begini kak😊
total 1 replies
Lin
ceritanya bagus lanjut Thor
Thida_Rak: baik kak
total 1 replies
Lin
Luar biasa
Thida_Rak: terima kasih kak
total 1 replies
Sun Flower
senang kalau Arman anak Mama di pecat😊
lanjut author..💪💪
Thida_Rak: di tunggu ya kak🙏🏻
total 1 replies
Pudji hegawan
cerita yg bagus
Thida_Rak: Terima kasih kak🙏🏻🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!