Ji Fan, seorang pemuda dari clan ji yang memiliki mata misterius, namun akibat mata nya itu dia menjadi olok-olokan seluruh clan.
Didunia yang kejam ini, sejak kecil dia hidup sebatang kara tanpa kultivasi, melewati badai api sendirian. Sampai pada akhirnya dia tanpa sengaja menemukan sebuah buku tua yang usang. Buku itu adalah peninggalan ayahnya yang didapat dari seorang laki laki paruh baya dimasa lampau. Awalnya dia tidak mengerti buku apa itu, Tetapi setelah mempelajari bahasa dewa kuno, dia mulai mengerti, buku itu adalah buku Teknik Terlarang Kultivasi Naga Kegelapan. Dalam buku itu tertulis berbgai ilmu pengetahuan dan langkah-langkah jalan kultivasi, sejak saat itu Ji Fan berubah dari yang awalnya sampah menjadi kultivator puncak yang ditakuti di seluruh alam. Dan orang-orang memanggilnya dengan sebutan 'Orang Buta Dari Kegelapan Naga' .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bingstars, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28
Matahari sudah condong ke barat saat Ji Fan menyeret tubuhnya keluar dari Hutan Berbisa.
Setiap langkah adalah siksaan. Luka cakar di bahu kiri Ji Fan sudah berhenti mengucurkan darah segar, tapi kini berganti menjadi denyutan panas yang menjalar hingga ke leher. Tangan kanan Ji Fan yang tadi Ji Fan masukkan ke mulut harimau bengkak dua kali lipat ukuran normal, warnanya ungu kehitaman.
Ji Fan berjalan seperti mayat hidup. Jubah Akademi yang tadinya hanya lusuh, kini hancur, penuh lumpur, dan berkerak darah.
"Kau terlihat seperti daging cincang yang gagal dimasak," ucap Naga Kecil datar di kepala Ji Fan. "Kalau kau pingsan sekarang, serigala liar akan memakan sisanya sebelum kau sampai gerbang."
"Diam. Aku sedang konsentrasi agar tidak jatuh," balas Ji Fan dalam hati, menggigit bibir hingga berdarah untuk tetap sadar.
Gerbang Utara Akademi terlihat di kejauhan. Dua penjaga berdiri di sana, tombak mereka berkilau tertimpa cahaya sore.
Saat Ji Fan mendekat, salah satu penjaga mengangkat tombak, wajahnya jijik.
"Berhenti! Makhluk apa kau? Mayat berjalan?"
Ji Fan mengangkat kepala. Wajah Ji Fan pucat pasi, satu matanya bengkak menutup. Ji Fan mengangkat lencana identitas murid dengan tangan kiri yang gemetar.
"Murid... Ji Fan. Kembali dari tugas," suara Ji Fan parau, seperti gesekan kertas pasir.
Penjaga itu menyipitkan mata, lalu meludah ke tanah. "Masuk. Jangan kotori pos jaga dengan darahmu."
Ji Fan melewati gerbang. Ji Fan tidak langsung ke asrama atau tabib. Ji Fan punya tujuan lain. Ji Fan harus menyerahkan misi ini sebelum Chen memutarbalikkan fakta.
Ji Fan berjalan tertatih-tatih menuju Balai Misi.
***
Di dalam Balai Misi yang luas dan hangat, Tuan Muda Chen berdiri di depan meja administrasi. Guru Xiao duduk di sana, mencatat laporan.
Jubah merah Chen tampak sedikit kotor oleh debu, tapi tidak ada luka berarti di tubuhnya. Chen memasang wajah sedih yang dibuat-buat.
"Sungguh tragedi, Guru Xiao," ucap Chen dengan nada penuh penyesalan palsu. "Kami disergap. Luo... dia berkorban demi menahan harimau itu. Dan Ji Fan... anak itu terlalu lemah. Dia panik dan lari ke arah yang salah. Saya sudah berusaha menyelamatkan mereka, tapi Harimau Bayangan itu terlalu ganas."
Guru Xiao mengangguk pelan, wajahnya datar tanpa emosi. "Kehilangan anggota dalam tugas pertama adalah hal biasa. Hutan Berbisa tidak kenal ampun."
"Saya hanya menyesal tidak bisa membawa pulang mayat mereka," tambah Chen, menyeka sudut matanya yang kering. "Dan sayangnya, karena kekacauan itu, kami gagal mendapatkan Giok Darah. Harimau itu membawa sarangnya runtuh."
"Gagal misi berarti penalti poin, Chen," Guru Xiao mengingatkan. "Tapi karena kau selamat, kau hanya kehilangan sepuluh Poin Kontribusi."
Chen mengangguk pasrah. "Saya mengerti. Yang penting saya selamat untuk melayani klan dan Akademi."
BRAK!
Pintu besar Balai Misi didorong terbuka dengan kasar.
Semua orang di dalam ruangan menoleh. Keheningan menyergap seketika.
Di ambang pintu, berdiri sosok yang lebih mirip hantu daripada manusia. Darah kering menutupi separuh wajahnya, tangannya bengkak mengerikan, dan bau anyir hutan menempel di tubuhnya.
Ji Fan.
Mata Chen membelalak. Mulutnya terbuka sedikit, tapi tidak ada suara yang keluar. Chen baru saja mengarang cerita kematian Ji Fan, dan sekarang mayat itu berdiri di sana, menatapnya.
Ji Fan tidak bicara. Ji Fan menyeret kakinya masuk, meninggalkan jejak lumpur dan darah di lantai marmer yang bersih. Suara napasnya yang berat terdengar jelas di ruangan yang hening itu.
Ji Fan berjalan melewati Chen yang mematung. Ji Fan berhenti tepat di depan meja Guru Xiao.
Tangan kiri Ji Fan merogoh saku jubah yang robek. Ji Fan mengeluarkan sesuatu dan menjatuhkannya ke atas meja.
Tuk.
Sebuah batu merah seukuran telur ayam berputar pelan di atas meja kayu, lalu berhenti. Cahaya merahnya berkilau redup. Ada bercak darah Ji Fan yang menempel di permukaannya.
Giok Darah Bintang Tiga.
Guru Xiao menatap batu itu, lalu menatap Ji Fan. Alis Guru Xiao terangkat sedikit ekspresi terkejut yang langka.
"Lapor," ucap Ji Fan, suaranya serak dan pecah. "Misi selesai."
Wajah Chen berubah dari kaget menjadi merah padam karena malu dan marah. Chen baru saja bilang misi gagal dan Ji Fan mati.
"Kau..." Chen menunjuk Ji Fan, jarinya gemetar. "Bagaimana kau... kau mencurinya! Kau pasti mencurinya dariku saat aku bertarung melawan harimau itu!"
Ji Fan menoleh perlahan ke arah Chen. Tatapan Ji Fan kosong, tapi dingin menusuk.
"Mencuri?" tanya Ji Fan pelan. "Kau lari, Chen. Kau lari seperti anjing ketakutan saat Luo dimakan. Aku yang ada di sana. Aku yang mengambilnya dari sarang."
"Bohong!" teriak Chen. "Guru Xiao, dia pembohong! Dia pasti bersembunyi sementara aku dan Luo bertarung!"
"Cukup," potong Guru Xiao tegas. Suaranya mengandung tekanan Qi yang membuat Chen langsung diam.
Guru Xiao mengambil Giok Darah itu, menelitinya sebentar.
"Giok ini asli. Masih hangat dari energi sarang," ucap Guru Xiao. Guru Xiao menatap Ji Fan. "Kau menyelesaikannya sendirian?"
"Ya," jawab Ji Fan singkat.
"Bagaimana dengan Luo?"
"Mati. Dimakan," jawab Ji Fan tanpa emosi.
Guru Xiao mengangguk. Dia tidak bertanya detailnya. Di Akademi, hasil adalah segalanya.
"Misi tingkat Merah selesai. Giok Darah Bintang Tiga bernilai tinggi," Guru Xiao mengambil stempel dan menekannya di atas formulir Ji Fan. "Seratus Poin Kontribusi untuk Ji Fan."
"Seratus?!" seru Chen tidak percaya. "Itu poin tim! Harusnya dibagi!"
"Tim?" Ji Fan menyela, menatap Chen tajam. "Tim yang mana? Yang meninggalkanku mati sebagai umpan? Atau yang lari menyelamatkan diri sendiri?"
Chen menggertakkan gigi. Chen ingin menyerang Ji Fan sekarang juga, tapi kehadiran Guru Xiao menahannya. Chen dipermalukan di depan umum. Reputasi Chen sebagai pemimpin tim hancur.
Guru Xiao melempar sebuah lencana logam kecil ke arah Ji Fan.
"Poinmu sudah tercatat. Kau bisa menukarnya di Paviliun Harta. Sekarang pergi, bersihkan dirimu. Kau bau seperti bangkai."
Ji Fan menangkap lencana itu. Ji Fan tidak tersenyum. Ji Fan tidak merayakan kemenangan. Tubuh Ji Fan sudah mencapai batasnya.
Ji Fan berbalik dan berjalan keluar, melewati Chen yang masih gemetar menahan amarah.
Saat Ji Fan berada di samping Chen, Ji Fan berbisik pelan, hanya untuk didengar Chen.
"Luo menjerit memanggil namamu sebelum kepalanya putus. Tidur yang nyenyak, Tuan Muda."
Wajah Chen memucat.
Ji Fan keluar dari Balai Misi. Begitu pintu tertutup di belakang Ji Fan, kaki Ji Fan lemas. Ji Fan harus berpegangan pada pilar batu agar tidak jatuh.
"Kau menikmati drama tadi?" tanya Naga Kecil.
"Tidak," jawab Ji Fan dalam hati. "Aku cuma ingin memastikan dia tahu aku bukan lagi tikus yang bisa diinjak."
"Bagus. Sekarang ke Paviliun Harta. Kau butuh obat yang lebih kuat dari salep sampah itu. Tangan kananmu mulai membusuk karena sisa racun dan infeksi."
Ji Fan memaksakan diri berjalan lagi. Seratus poin. Ji Fan belum tahu seberapa banyak itu, tapi Ji Fan berharap itu cukup untuk menyelamatkan tangannya.
***
Paviliun Harta Akademi.
Tempat itu seperti toko obat raksasa. Rak-rak tinggi berisi botol-botol pil, senjata, dan buku teknik berjejer rapi.
Ji Fan mendekati konter penukaran. Penjaga konter, seorang murid senior, menatap kondisi Ji Fan dengan jijik.
"Mau apa?"
"Obat penyembuh luka luar dan penawar racun," kata Ji Fan sambil meletakkan lencana poinnya.
Murid senior itu memeriksa lencana. "Seratus poin? Hmm, murid baru yang beruntung."
"Aku butuh Pil Regenerasi Otot dan Bubuk Penawar Seratus Racun," pinta Ji Fan, mengikuti instruksi Naga Kecil.
"Pil Regenerasi Otot harganya 30 poin. Bubuk Penawar 20 poin. Total 50 poin. Kau yakin? Poin sangat susah didapat," murid senior itu memperingatkan dengan nada malas.
"Berikan," kata Ji Fan tegas. Setengah hasil kerja kerasnya hilang untuk obat, tapi nyawa lebih mahal.
Ji Fan juga membeli tiga butir Pil Pengumpul Qi seharga 30 poin. Sisa 20 poin dia simpan.
Dengan obat di tangan, Ji Fan kembali ke Asrama Timur.
Hari sudah malam saat Ji Fan masuk ke kamar tujuh.
Suasana kamar itu berubah drastis begitu Ji Fan melangkah masuk. Percakapan terhenti. Sepuluh pasang mata menatapnya.
Chen belum kembali. Mungkin sedang melampiaskan amarah di tempat lain.
Su Meng sedang duduk di ranjangnya, membaca buku tua. Su Meng melirik Ji Fan sekilas, melihat tangan Ji Fan yang bengkak dan wajah yang pucat, lalu kembali membaca bukunya seolah tidak peduli. Tapi sudut bibir Su Meng sedikit terangkat.
Ji Fan berjalan ke sudutnya. Ji Fan duduk, lalu langsung menelan Pil Regenerasi Otot.
Rasanya pahit luar biasa, tapi efeknya instan. Rasa gatal yang menyiksa mulai muncul di bahu dan tangannya—tanda daging sedang merajut kembali.
Ji Fan menaburkan bubuk penawar ke tangan kanannya yang bengkak. Asap tipis berbau belerang muncul saat bubuk itu bereaksi dengan racun dan infeksi di kulitnya.
"Argh..." Ji Fan mendesis, keringat dingin mengucur deras. Rasanya seperti tangannya direndam air mendidih.
"Tahan," ucap Naga Kecil. "Racun dari mulut harimau itu bercampur dengan racun lebahmu sendiri. Kalau tidak dibersihkan sekarang, tanganmu harus dipotong besok."
Ji Fan menggigit lengan bajunya untuk meredam erangan. Tubuhnya kejang menahan sakit.
Peserta lain di kamar itu membuang muka, ngeri melihat proses pengobatan kasar itu. Mereka baru sadar bahwa Ji Fan bukan sekadar beruntung. Ji Fan gila.
Satu jam kemudian, rasa sakit itu mereda menjadi denyutan tumpul. Bengkak di tangan Ji Fan mulai kempes, meski kulitnya masih merah dan melepuh.
Ji Fan bersandar ke dinding, kelelahan luar biasa.
"Kau selamat hari ini," ucap Naga Kecil. "Tapi Chen tidak akan diam. Dia punya sumber daya klan. Dia akan membeli pembunuh, atau racun, atau jebakan yang lebih baik."
"Biarkan dia mencoba," batin Ji Fan, matanya mulai terpejam. "Sekarang aku punya poin. Aku punya pil. Aku akan naik ke Tingkat 4. Dan saat itu terjadi... aku tidak akan lari lagi."
Ji Fan memejamkan mata, membiarkan efek Pil Pengumpul Qi bekerja dalam tidurnya. Namun, tidur Ji Fan tidak tenang.
Dalam mimpinya, Ji Fan tidak melihat harimau atau Chen. Ji Fan melihat bayangan hitam besar yang melilit menara Akademi. Mata merah menyala menatapnya dari kegelapan, dan suara bisikan purba memanggil namanya dengan bahasa yang tidak ia mengerti, tapi entah bagaimana, darahnya merespons panggilan itu.
"Bangkitlah... Pewaris..."
Ji Fan tersentak bangun. Napasnya memburu.
Kamar itu gelap gulita. Teman-teman sekamarnya tidur lelap.
Tapi Ji Fan merasakan sesuatu. Ada sesuatu yang bergetar di dalam dadanya. Bukan jantungnya. Bukan Naga Kecil.
Itu Inti Qi milik nya.
Qi Kegelapan di Dantian Ji Fan bergejolak, lebih padat dan lebih agresif dari sebelumnya. Pertarungan hidup mati dan penyerapan Qi mayat di arena ternyata telah memicu sesuatu.
Batas Tingkat 3 mulai retak.