Bagaimana jadinya jika hidup sudah tak memberimu pilihan?
Semua yang terjadi di dalam hidupmu seolah menyudutkan mu dan memberikan tekanan padamu sehingga membuatmu terpaksa harus menyetujui sebuah perjanjian untuk mengikat hubungan dengan seseorang yang sangat kamu benci dalam sebuah pernikahan.
Pernikahan kontrak, dengan alasan yang saling menguntungkan.
Morgan Wiratmadja.
Sang lelaki yang menciptakan permainannya. Namun siapa sangka, permainan pernikahan kontrak yang ia ciptakan justru menyeretnya ke dalam sebuah perasaan yang ia hindari selama ini.
Selamat membaca 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sujie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serba Salah
Apa kalian memang sengaja menunjukkan hal ini padaku?
Bella meremas tisu yang berada di tangannya dan mengepalkan tangannya.
Makan malam yang ia kira akan menjadi makan malam yang berkesan itu justru membuat dadanya menjadi semakin sesak saat menyaksikan kedua orang yang saling menunjukkan kemesraannya.
Rencananya untuk membuat Morgan terkesan itupun gagal total.
Sia - sia saja aku berdandan cantik dan berusaha bersikap manis. Jika pada akhirnya Morgan selalu mengacuhkanku. Bella.
Keluarga Herlambang itupun akhirnya berpamitan setelah selesai berbincang - bincang.
Mobil yang membawa mereka melaju dan menghilang setelah keluar dari gerbang utama rumah Wiratmadja.
****
"Papa kenapa sih pa?" Bella menatap ke jendela mobil yang sedang melaju di jalanan kota. Menyuguhkan pemandangan gedung - gedung tinggi dengan lampu - lampunya yang gemerlap. Seolah menggambarkan betapa majunya kota ini.
"Ada apa Bella?" Lelaki paruh baya yang duduk di kursi di depan perempuan itu lalu menoleh ke arah putrinya.
"Papa ngapain sih pakai acara memuji mereka. Yang pantes sama Morgan tuh cuma Bella pa. Papa kan tau Bella udah sejak dulu suka sama Morgan. Dan Tante Ayu juga mendukung Bella kok." Bella menatap ayahnya dengan alis yang mengkerut. Menggambarkan kekesalannya.
"Sudahlah Nak, masih banyak laki - laki lain. Yah walaupun mungkin mereka tidak seperti Morgan. Kau harus belajar menerima kenyataan, bahwa Morgan tidak mencintaimu Nak. Kau lihat tadi dia sangat dekat dengan istrinya." Herlambang mencoba menenangkan anak perempuannya.
"Papa tuh kenapa sih? nggak pernah mendukung Bella."
"Sayang, papa akan selalu mendukungmu jika hal itu baik. Tapi jika hal itu tidak baik tentu papa harus mengingatkanmu."
"Bella benar Pa, Papa harusnya mendukung perjuangan putri kita untuk mendapatkan Morgan. Bukan malah membuatnya down." Hesti melirik suaminya yang duduk disampingnya.
"Mama, jangan selalu membelanya. Mama juga harus lihat situasinya dong ma. Sekarang Morgan sudah beristri, Mama juga tau akan hal itu kan?"
"Bella nggak peduli, pokoknya Bella tetap mau Morgan jadi milik Bella. Apapun caranya." Bella membuang pandangannya dan menatap jalanan.
Aku gak akan menyerah begitu saja Morgan. Lihat saja, aku akan membuatmu bahkan bertekuk lutut padaku. Jika dulu aku harus kalah dengan Alice karena Tante Ayu lebih memilihnya, sekarang aku tidak mau kalah dengan gadis murahan itu. Ia terlihat mengepalkan tangannya.
Herlambang terlihat mendesah dan bernafas panjang. Ia merasa gagal mendidik anaknya. Hal itu semakin bertambah buruk lantaran Hesti kelewat memanjakannya sejak kecil.
"Mama akan mendukungmu, begitu juga Tante Ayu. Dia hanya mengharapkan mu menjadi menantunya karena memang hanya kau yang pantas mendampingi Morgan, sayang."
Perkataan Hesti terdengar sangat mengiris hati Herlambang. Dia kecewa dengan cara istrinya dalam mendidik anaknya.
Lelaki itu terlihat menggelengkan kepalanya, dan memijat pelipisnya. Pikirannya tertuju pada Gavin.
Anak yang bahkan tidak ia harapkan kehadirannya itu justru sangat membanggakannya. Sifat bijaksana yang dimilikinya seolah menurun dari dirinya.
_______
Mobil yang membawa keluarga Herlambang itu memasuki halaman luas sebuah rumah yang berdiri megah.
Terlihat seorang pemuda berdiri di depan pintu menyambut kedatangan mereka.
"Gavin?" Herlambang membuka pintu mobil dengan tergesa - gesa saat melihat siapa pemuda yang sedang berdiri dan tersenyum lebar itu. Sementara Hesti menatap tidak suka pada pemandangan di depannya.
"Papa ...." Pemuda itu berhambur ke arah Herlambang dan memeluknya.
"Kapan kau datang?"
"Baru saja Pa, tadi penjaga bilang Papa makan malam di rumah Paman Wira. Benar begitu?" Gavin melepaskan pelukannya.
"Hahaha, betul sekali."
"Kenapa tidak menungguku pa? aku rindu sekali dengan Emily." Sekilas wajah cantik yang selalu ada dihatinya itu melintas dipikirannya.
"Lain kali kita juga bisa kesana lagi Nak, apa kau sudah makan?"
"Sudah Pa."
Herlambang dan Gavin memasuki rumah sambil terus mengobrol untuk mengobati rasa rindu antara ayah dan anak tersebut.
Sementara Hesti dan Bella memandangi mereka dengan perasaan tidak suka.
Bagi Hesti kehadiran Gavin adalah sebuah petaka, sebuah aib yang yang teramat memalukan. Hatinya masih terasa teriris jika mengingat pengkhiatanan yang pernah dilakukan oleh suaminya hingga membuahkan seorang putra. Wajah wanita itu masih terlukis jelas dimata Hesti.
*****
Kediaman keluarga Wiratmajda
"Kami pamit dulu." Willy dan semua anak buahnya, berpamitan pada Morgan.
"Hemm, terimakasih. Kerjamu sangat bagus hari ini." Morgan berkata santai dengan gayanya yang khas.
Memasukkan kedua tangannya di saku celananya.
"Omong - omong sudah berapa kali kau menggaulinya? Apa sudah ada tanda - tanda akan hadirnya Morgan junior?" Willy berbisik menggoda sahabatnya.
"Apa kau mau aku memblokir semua akses mu hah?"
"Jangan ... jangan. Baiklah jika kau keberatan untuk berbagi. Lebih baik aku pulang sekarang. Yang tadi itu cuma bercanda."
Dengan langkah seribu, Willy pergi menuju mobilnya. Membuat Morgan marah sama saja dengan menutup semua jalan rejekinya.
Begitulah kenyataan yang harus diterima oleh seorang Willy.
Morgan tersenyum tipis melihat tingkah sahabatnya. Walau seberapapun marahnya, ia masih waras dan tidak akan sungguh - sungguh melakukan ancamannya. Tapi sahabatnya itu justru sangat ketakutan.
Ia lalu masuk kedalam rumah.
Menaiki anak tangga satu persatu. Lantai dua rumah itu sudah seperti daerah kekuasaannya. Hampir semua ruangan yang ada disana berisi barang - barang miliknya.
Ceklak ....
Ia membuka pintu dan mendapati Eylina sedang memandang keluar jendela.
"Kaca jendela itu bisa pecah jika kau terus berada disitu dan memandanginya." Morgan menjatuhkan tubuhnya di sofa.
Haish ... kenapa dia selalu menyebalkan sih. Aku tadi hampir terpesona dan terharu karena ternyata dia sudah menyelamatkan ku dan membelaku di depan wanita itu dan keluarganya. Tapi sekarang, kau kembali menjadi tuan muda aneh dan tidak waras.
Tapi ini jauh lebih baik sih, jika dia bersikap baik padaku. Aku sendiri yang akan susah. Bisa - bisa aku beneran terpesona dan jatuh hati padanya.
Oh ... tidak ... tidak. Jangan sampai, jangan sampai aku jatuh hati dan pada akhirnya aku harus menelan pil kehidupan yang lebih pahit lagi. Eylina masih terdiam dan menatap pemandangan luar dari balik jendela.
"Hey ... apa kau tidak mendengar ku hah?"
Morgan berjalan ke arah Eylina dan membalikkan tubuhnya. Hingga mata mereka bertatapan.
Sial! kenapa jantungku berdebar - debar.
Lelaki itu lalu membuang pandangannya dan mengusap wajahnya dengan kasar.
"Maksudku, tidurlah! Bukankah ini sudah malam? Ah ya ... matikan semua lampunya!" Ia kemudian kembali ke tempatnya dan menenggelamkan tubuhnya di bawah selimut.
Apaan sih, dasar aneh. Apa dia tidak bisa berbicara tanpa nada tinggi dan bisakah tidak memerintah seenaknya.
Eylina menggelengkan kepalanya lalu bergegas mematikan semua lampu.
"Hey bodoh, nyalakan lampunya! Apa kau ingin membuatku sesak nafas hah?"
Ya Tuhan ... ini orang kenapa sih? bagaimana bisa ada manusia seperti ini. Tadi bilang suruh matikan semua. Dan sekarang dia memakiku. Eylina menyalakan lagi semua lampunya.
"Kau ini mau membuatku sakit mata atau bagaimana?" Morgan menutup matanya saat lampu kamar menyala.
"Maaf Tuan, lalu harus bagaimana seharusnya?"
Mati salah, menyala salah. Aku juga tau kau ini memang semena - mena dan semaunya sendiri. Tapi jangan melewati batas toleransi orang normal seperti ini. Kesabaran Eylina hampir habis menghadapi kelakuan Morgan.
"Matikan saja lampu utama itu, dan hidupkan yang itu." Morgan menunjuk sebuah lampu tidur yang ada di sudut ruangan.
"Baiklah."
Eylina kemudian melakukan apa yang Morgan katakan. Lalu membaringkan tubuhnya di sofa. Tak berselang lama gadis itu sudah terlelap.
Sementara Morgan masih kesusahan memejamkan matanya.
Dadanya terasa bergemuruh hingga ia tidak dapat merasakan apa sebenarnya yang mengusik hatinya.
Bayangan Alice beberapa kali muncul bergantian dengan Eylina.
Ia lalu bangun dan melangkahkan kaki ke arah jendela, tepat dimana Eylina berdiri tadi.
Apa menariknya melihat pemandangan luar dari sini? Dasar gadis aneh.
Ia kemudian berjalan dan berhenti di samping Eylina yang sedang tertidur lelap. Wajah itu nampak semakin terlihat menggoda saat terkena cahaya lampu yang temaram.
Seperti menghipnotis lelaki yang kini sedang memandanginya.
Morgan berjongkok lalu membelai pipi halus milik Eylina. Gelora di dalam dirinya bergejolak, mendorongnya untuk mendekatkan wajahnya dengan wajah gadis yang kini berada dihadapannya.
Hingga sebuah ciuman hangat mendarat dibibir mungil gadis itu.
Duarrrr ....
Dentuman petir yang begitu keras itu menyadarkan seorang laki - laki yang masih duduk berjongkok disisi sofa.
Hhhh ... apa yang kulakukan? Tidak, ini tidak mungkin.
Morgan menatap kembali wajah gadis yang kini tergolek tak berdaya di atas sofa.
Dadanya bergemuruh. Perasaannya tak menentu. Seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya dan mengusik batinnya.
Ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Lalu melangkahkan kakinya kembali ke tempat tidur.
Tangannya membuka laci disebelah tempat tidurnya. Mengambil foto Alice.
"Alice, katakan padaku jika ini tidak benar. Aku tidak mungkin menaruh hati padanya kan?"
Morgan bermonolog.
💗💗💗💗💗💗💗