NovelToon NovelToon
Immortality Through Suffering

Immortality Through Suffering

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Spiritual / Balas Dendam / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:6.6k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.

Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.

Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.


Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Empat tahun berlalu

Empat tahun telah berlalu sejak tubuh Xu Hao terkurung dalam kepompong darah.

Di dalam kuil bawah tanah itu, keheningan bagaikan makam purba. Lentera merah kusam yang tergantung di pilar-pilar batu tetap berayun pelan, seolah waktu di ruangan itu tidak pernah bergerak. Namun hari itu, ketenangan yang membeku ribuan malam mulai terguncang.

Kepompong merah kehitaman yang menggantung di atas kolam darah tiba-tiba bergetar. Dari permukaannya, garis halus merekah, seakan urat petir yang berlari di langit gelap. Suara berderak pelan terdengar, lalu menjadi semakin jelas.

“Crak… crak… crak…”

Pria tua berjubah hitam yang duduk bersila di lantai batu retak membuka matanya perlahan. Pupilnya yang berwarna merah bara berkilat tipis, memantulkan cahaya dari kepompong yang retak.

Alisnya berkerut. Ia menghela napas pendek dan bergumam dengan suara serak, “Baru empat tahun… ini terlalu cepat. Bocah ini… sepertinya keberuntungannya tidak kecil.”

Tubuh kurusnya bergerak bangkit. Setiap langkah kakinya menimbulkan gema rendah, seakan dinding kuil yang berlumut turut bergetar. Ia berjalan mendekat, berdiri di tepi kolam darah. Pandangannya tajam menelusuri kepompong yang semakin banyak retakannya.

Retakan itu menyebar bagaikan pecahan kaca, mengeluarkan cahaya pekat dari dalam. Suara patahan terdengar semakin keras.

“Craakk! Craakk!”

Cahaya hitam dan merah pekat menembus celah-celah kepompong. Seolah ada dua naga liar yang berkelahi di dalamnya, cahaya itu berputar dan beradu, menekan udara di sekitarnya hingga berat. Lentera merah yang menggantung di dinding bergetar, apinya terombang-ambing seperti akan padam.

Akhirnya, suara keras memecah kesunyian.

“Craakk!”

Kepompong itu pecah berkeping-keping, lalu melebur menjadi kabut darah yang tersedot kembali ke kolam. Dari tengah kabut itu, sebuah tubuh melayang perlahan.

Xu Hao.

Anak yang empat tahun lalu terperangkap dalam keadaan mengenaskan, kini muncul dengan wujud berbeda.

Tubuhnya tidak lagi rapuh seperti sebelumnya. Otot-ototnya terjalin kuat, proporsional, dan dipenuhi vitalitas. Tulang yang dulu remuk kini memancarkan kekuatan baru, seakan ditempa ulang oleh tangan langit. Kulitnya pucat namun memancarkan kilau sehat, bagai giok putih yang diukir halus.

Wajahnya masih membawa garis masa mudanya, namun kedewasaan kini jelas terlihat. Hidungnya tegak, rahangnya tegas, dan alis hitamnya menambah kesan tajam pada sorot matanya. meskipun hingga saat ini kedua matanya masih tertutup rapat.

Ia berusia empat belas tahun ketika tubuhnya hancur. Kini ia berumur delapan belas tahun, kedewasaan penuh seorang pria muda sudah membentuk sosoknya.

Cahaya hitam dan merah yang membalut tubuhnya berputar sekali lagi, lalu perlahan mereda, terserap ke dalam pori-porinya. Aura asing yang kelam namun sakral terasa bersemayam di dalam dirinya.

Pria tua berjubah hitam mengangkat tangannya. Dari cincin penyimpanannya, sebuah pakaian panjang berwarna biru melayang keluar. Pakaian itu terbuat dari kain halus yang tampak sederhana, namun jika diperhatikan, tenunannya memiliki garis samar berbentuk awan.

Dengan satu jentikan jari, pakaian itu melayang mendekati Xu Hao, lalu menempel dengan sendirinya, menutupi tubuhnya dengan rapi. Uap darah yang menyelubungi Xu Hao lenyap, hanya menyisakan dirinya yang tampak melayang tenang di udara.

Pria tua berjubah hitam berdiri mematung di tepi kolam. Tatapannya dingin namun penuh rasa ingin tahu. Ia tidak bergerak untuk membangunkan Xu Hao, melainkan menunggu dengan sabar.

“Bocah… mari kita lihat, apakah kau akan benar-benar terlahir kembali… atau hanya jadi abu yang tertiup waktu,” gumamnya perlahan, suaranya bergema dalam ruangan batu yang sunyi.

Xu Hao masih terpejam, namun napasnya kini teratur. Setiap helaan napasnya membuat udara di kuil itu bergetar halus, seolah dunia di sekitarnya mulai menyesuaikan diri dengan keberadaannya.

Pria tua berjubah hitam baru saja berbalik untuk kembali bermeditasi. Namun sebelum ia benar-benar menutup matanya, suara yang menggetarkan telinga tiba-tiba menggema di seluruh ruang bawah tanah itu.

“Wuuussshhh…”

Gelombang Qi merah pekat meledak dari tubuh Xu Hao. Deru itu menyeruak liar, membumbung tinggi hingga menyentuh langit-langit kuil purba. Lentera merah kusam yang bergantung di pilar batu bergetar hebat, beberapa bahkan jatuh berderak di lantai, nyalanya berkedip hampir padam.

Tubuh Xu Hao masih melayang di udara. Kedua tangannya terentang lebar, seakan ingin meraih dunia. Dari pori-porinya, aliran Qi merah yang kental berputar bagai lautan darah yang mengamuk. Aura itu begitu kuat, seolah hendak menghancurkan dinding batu kuno yang selama ribuan tahun berdiri tak tergoyahkan.

Mata pria tua berjubah hitam menyipit. Ia menajamkan pandangannya, lalu dalam sekejap, penglihatannya menembus tubuh Xu Hao.

Di balik lapisan kulit dan daging, ia menyaksikan pemandangan yang membuatnya terdiam. Delapan meridian Xu Hao terbuka sempurna, bercahaya merah pekat seakan sungai spiritual mengalir deras di dalamnya. Qi berputar lancar tanpa hambatan, membentuk pondasi yang kokoh dan tidak bercela.

Alis pria tua itu sedikit terangkat. Gumamnya lirih namun jelas, “Menarik. Bocah ini telah menerobos ke Foundation Establishment. Empat tahun lalu ia hanyalah sampah di tahap Qi Refining, bahkan tanpa bakat. Kini fondasinya lebih kokoh daripada kebanyakan murid sekte besar. Cukup bagus… benar-benar cukup bagus.”

Ledakan Qi itu berlangsung lama, lalu perlahan mulai mereda. Aura merah yang semula bergolak bagai samudra badai kini menenangkan diri, kembali masuk ke tubuh Xu Hao.

Pada saat itu, kelopak mata Xu Hao yang selama ini tertutup mulai bergetar. Perlahan, kedua matanya terbuka.

Mata hitamnya berkilat tajam, membawa kilasan aura yang tidak sama dengan empat tahun lalu. Sorotnya lebih dalam, seperti menyimpan bayangan gelap masa lalu sekaligus cahaya baru yang dingin. Napasnya berat, namun stabil.

Ia mengedarkan pandangan. Batu-batu hitam yang retak, dinding yang dipenuhi lumut, lentera merah yang redup, serta kolam darah yang beriak tenang. Semua itu asing baginya.

Tangannya terangkat, memegang kepalanya. Dalam sekejap, ingatan yang terkubur meledak kembali. Sosok pria berjubah putih dengan mata putih menyilaukan, tangan kejam yang mencekiknya, tubuhnya yang dibanting berkali-kali hingga hancur. Xu Hao menggertakkan gigi, matanya menyipit tajam.

“Di… mana ini…” suaranya serak, rendah, namun penuh tekad.

Ia menunduk menatap tubuhnya. Yang ia lihat bukan lagi tubuh remaja empat belas tahun yang ringkih. Ototnya kuat, tingginya lebih proporsional, wajahnya tegas. Kedewasaan telah meresap ke dalam dirinya. Xu Hao mengepalkan tangannya, merasakan tenaga baru yang mengalir di dalam tubuhnya.

Sebuah suara berat dan tenang terdengar dari seberang ruangan.

“Baguslah jika kau sudah bangun.”

Xu Hao menurunkan tubuhnya perlahan hingga menjejak lantai batu kuil. Matanya menatap lurus pada pria tua berjubah hitam. Sorotnya tajam, penuh kewaspadaan, seperti binatang buas yang baru saja sadar dari tidur panjang.

“Siapa kau… dan mengapa aku ada di sini?”

Pria tua berjubah hitam berjalan mendekat dengan langkah tenang. Jubah lusuhnya bergoyang lembut, suaranya dalam namun tanpa keraguan.

“Tidak penting siapa aku. Yang harus kau ketahui, akulah yang menyelamatkanmu.”

Alis Xu Hao berkerut. Suaranya dingin ketika menjawab, “Apa kau pikir aku percaya begitu saja?”

Pria tua itu tersenyum samar, matanya redup seperti bara di malam gelap. “Wajar jika kau tidak percaya. Bocah yang telah melewati penderitaan sepertimu memang tidak mudah lagi mempercayai siapa pun.”

Xu Hao menatapnya dengan mata penuh ketegasan. “Jangan terlalu banyak bicara. Katakan saja, apa yang kau inginkan dariku.”

Pria tua itu terdiam sesaat, lalu suaranya berubah serius. “Baiklah. Aku hanya menginginkan satu hal. Suatu hari nanti, ketika waktunya tiba, aku ingin kau membantuku. Itu saja. Kau hanya perlu berjanji akan menolongku.”

Xu Hao merenung sejenak. Matanya berkilat, lalu ia menjawab dengan tegas, “Tidak masalah. Selama itu tidak bertentangan dengan hatiku, aku akan membantu.”

Pria tua itu terbahak pelan, tawa rendahnya bergema di ruangan batu. “Hahaha… anak baik. Baiklah. Aku tidak akan memintamu melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginanmu.”

Xu Hao kembali mengedarkan pandangannya. “Tempat ini… sebenarnya di mana?”

Pria tua berjubah hitam menoleh pada sebuah meja kecil di sudut ruangan. Di atasnya ada kendi anggur kuno dengan dua cawan sederhana. Ia mengangkat tangannya, menunjuk.

“Duduklah. Karena kau telah dewasa, kita minum anggur sambil bercerita.”

Xu Hao menatapnya beberapa saat, lalu mengangguk singkat. “Baik.”

Keduanya berjalan menuju meja itu. Pria tua menuangkan anggur ke dalam dua cawan. Cairan merah gelap mengeluarkan aroma tajam, seolah bercampur dengan dinginnya waktu ribuan tahun.

Xu Hao mengangkat cawan, menatap cairan itu, lalu meneguknya perlahan. Rasa getir dan panas menyebar di tenggorokannya, membakar hingga ke perut, namun entah mengapa memberikan perasaan segar yang aneh.

Pria tua berjubah hitam ikut meneguk. Suaranya tenang ketika berkata, “Sekarang… mari kita mulai berbicara tentang apa yang telah terjadi pada dirimu… dan tentang dunia yang sedang menunggu di luar sana.”

Xu Hao menatap ke arah pria tua berjubah hitam itu, matanya yang jernih kini memantulkan cahaya api dari pelita batu giok yang menempel di dinding kuil kuno. Udara di ruangan itu masih sarat dengan aroma tanah lembap bercampur sedikit bau logam, sisa dari kolam darah yang kini tenang di sisi ruangan. Dengan suara yang rendah namun tegas, Xu Hao membuka mulutnya.

"Katakan, di mana tempat ini sebenarnya?"

Pria tua itu tidak langsung menjawab. Ia mengangkat guci batu hitam di tangannya, menuangkan cairan berwarna merah tua ke dalam cawan perunggu. Aroma anggur kuno yang tajam dan manis bercampur dengan hawa darah di sekeliling ruangan. Perlahan ia menyesapnya, seperti orang yang sedang menikmati kenangan panjang yang tak seorang pun bisa mengerti.

Setelah menurunkan cawan, ia menatap Xu Hao dari balik kerudung tipisnya. Suara seraknya terdengar datar namun penuh tekanan.

"Tempat ini adalah kuil kuno... yang bahkan di dalam catatan sekte-sekte besar pun tidak pernah tercatat. Tidak banyak orang yang tahu, dan aku tidak bisa sembarangan memberitahu pada siapa pun."

Xu Hao yang sejak tadi menggenggam cawan kosong di tangannya, mengerutkan dahi. Cahaya api pelita menyorot wajahnya yang kini tampak lebih dewasa, garis rahangnya lebih tegas dibandingkan ingatan terakhirnya sebelum jatuh pingsan. Ia menarik napas, lalu berkata lirih namun penuh keteguhan.

"Baiklah. Jika kau tidak ingin memberitahu, aku tidak akan memaksamu."

Pria tua berjubah hitam itu mengangguk ringan, seolah puas dengan jawaban tersebut. Namun Xu Hao kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih tajam. "Aku hanya ingin tahu satu hal... apa yang kau lakukan padaku? Sebelumnya aku hampir mati. Tapi setelah terbangun di sini, tubuhku terasa sehat, bahkan... berbeda. Aku... menjadi jauh lebih kuat dan dewasa."

Pria tua itu menundukkan kepala sedikit, jemarinya yang kurus menggulung-gulung cawan perunggunya. Senyum samar, lebih mirip guratan kegetiran, muncul di bibirnya.

"Awalnya aku memang berniat menyelamatkanmu. Namun itu bukanlah niat suci tanpa pamrih. Aku ingin melakukan... eksperimen."

Ucapan itu membuat Xu Hao menyipitkan matanya. Cahaya tajam terpancar dari sorotnya, seperti anak panah yang ditempa dari keinginan untuk hidup.

"Jadi aku hanyalah kelinci percobaanmu?"

Pria tua itu melanjutkan dengan tenang, seolah tidak terganggu oleh tuduhan Xu Hao.

"Aku memasukkanmu ke kolam darah. Itu memang untuk menyelamatkan hidupmu, tapi juga... untuk menguji sesuatu. Aku sudah mencoba merendam banyak kultivator di dalam kolam itu sebelumnya. Namun tidak ada satu pun yang selamat. Semua mati dan tubuh mereka larut, menjadi bagian dari esensi kolam."

Xu Hao terdiam sejenak, lalu mengepalkan tangan. Suaranya terdengar gemetar karena marah bercampur ngeri.

"Kau kejam sekali, Pak Tua."

Tawa lirih keluar dari balik kerudung pria itu, bukan tawa gembira, melainkan tawa penuh ironi.

"Keji, mungkin iya. Namun kejam? Tidak. Semua yang kumasukkan ke kolam itu adalah kultivator yang sudah berada di ambang kematian. Bahkan tanpa aku, mereka akan mati dengan menyedihkan. Jadi apakah itu benar-benar kejam, atau hanya pilihan yang lebih baik?"

Xu Hao terdiam, bibirnya menegang. Ia tahu kata-kata pria tua itu ada benarnya, meski tetap terasa getir. Dengan suara lirih, ia menjawab.

"Kau benar... itu tidak kejam. Tapi tetap saja... keji."

Pria tua itu tertawa lebih keras kali ini, suaranya bergema di dinding batu kuil kuno, seperti suara arwah yang menertawakan penderitaan dunia.

"Tapi lihatlah dirimu sekarang. Bukankah karena itu kau masih hidup?"

Xu Hao tertegun, menunduk memandang tangannya. Jari-jarinya kini lebih panjang dan kokoh, urat-urat biru samar tampak jelas, seolah tubuhnya telah ditempa kembali. Ia tidak menemukan jawaban, dan hanya bisa terdiam.

Pria tua itu kembali berkata dengan nada datar.

"Sudahlah. Kau seharusnya tahu, kolam itu penuh dengan esensi darah yang pekat. Seharusnya butuh waktu sepuluh tahun untuk menyerap seluruhnya. Tapi kau... kau berhasil menyerap semuanya hanya dalam empat tahun."

Mata Xu Hao membelalak. Suaranya pecah oleh keterkejutan.

"Empat tahun? Jadi... aku sudah berada di sini selama empat tahun?"

Pria tua itu mengangguk perlahan.

"Benar."

Xu Hao menghela napas panjang. Ia menyentuh wajahnya sendiri, lalu bergumam dengan nada getir. "Pantas saja... aku tampak jauh lebih dewasa. Ternyata sudah empat tahun berlalu."

Pria tua itu mengangguk lagi, matanya memancarkan cahaya samar dari balik kerudung hitam. "Tidak hanya itu. Seluruh meridianmu kini sudah terbuka. Kultivasimu pun telah menembus batas awal yang dulu tidak pernah bisa kau sentuh."

Xu Hao segera menatap tangannya, lalu merasakan aliran hangat yang bergerak di seluruh tubuhnya. Napasnya tercekat, mata berbinar dengan kegembiraan yang sulit ia sembunyikan.

"Ini... aku benar-benar sudah menjadi seorang kultivator."

Namun pria tua itu mengibaskan tangannya, menepis ucapan Xu Hao seakan itu hanyalah khayalan anak kecil.

"Apa yang kau katakan itu keliru. Kau baru saja melangkah. Masih jauh, sangat jauh dari kata 'kultivator sejati'."

Xu Hao menatap pria tua itu lekat-lekat, kemudian mengangguk perlahan. Senyum getir muncul di bibirnya.

"Kau benar, Pak Tua. Ini hanyalah permulaan. Tapi untuk seseorang yang tidak memiliki bakat sepertiku... ini seperti anugerah."

Kali ini, pria tua berjubah hitam itu benar-benar tertawa. Tawanya keras, bergema hingga debu di langit-langit kuil berjatuhan pelan.

"Bagus. Kau tahu posisi dirimu."

Xu Hao membalas dengan nada tenang.

"Tentu saja. Dan seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, aku akan membantumu... selama itu tidak bertentangan dengan hatiku."

Pria tua itu meletakkan cawan perunggunya, matanya menyipit penuh kepuasan.

"Itu sudah cukup."

Xu Hao mengangguk, lalu matanya menatap tajam.

"Jadi apa fungsi esensi darah itu ke tubuh ku?"

Pria tua itu tersenyum. "Itu hanya membangkitkan sedikit potensi mu. Tidak perlu ada yang di khawatirkan."

Xu Hao pun menunduk hormat, lalu berkata lirih.

"Terima kasih... Pak Tua."

Pria tua itu melambaikan tangannya seolah menepis rasa hormat itu.

"Tidak perlu berterima kasih. Cukup dengan kesediaanmu membantu di masa depan, itu sudah lebih dari cukup bagiku."

Xu Hao mengangguk mantap, sementara dalam hatinya, ia merasakan sebuah jalan baru terbentang. Jalan yang gelap, penuh misteri, namun juga penuh kemungkinan.

1
Nanik S
Ditunggu upnya tor 🙏🙏🙏
Nanik S
Huo... nekat benar memberi pelajaran pada Pria Tu
Nanik S
apakah mereka bertiga akan masuk bersama
Nanik S
Huo memang Urakan.... memang benar yang lebih Tua harus dipanggil senior
Nanik S
Lha Dau Jiwa sudah dijual
YAKARO: itu cuma tanaman obat kak. bukan jiwa beneran
total 1 replies
Nanik S
Inti Jiwa...
Nanik S
Lanjutkan makin seru Tor
Nanik S
Lanjutkan Tor
Nanik S
Makan Banyak... seperti balas dendam saja Huo
Nanik S
Pil Jangan dijual kasihkan Paman Cuyo saja
Nanik S
Mau dijual dipasar tanaman Langkanya
Nanik S
Lanjutkan
Nanik S
Ceritanya bagus... seorang diri penuh perjuangan
Nanik S
Cerdik demi menyelamatkan diri
Nanik S
Baru keren... seritanya mulai Hidup
YAKARO: Yap, Thanks you/Smile/
total 1 replies
Nanik S
Mungkin karena Xu Hai telah byk mengalami yang hampir merebut nyawanya
Ismaeni
ganti judul yaa thor?
YAKARO: enggak. Hidup Bersama Duka itu awalnya judul pertama pas masih satu bab, terus di ubah jadi Immortality Though Suffering. malah sekarang di ganti sama pihak Noveltoon ke semula.
total 1 replies
Nanik S
Xu Hai... jangan hanya jadi Penonton
Nanik S
Sebenarnya siapa Pak Tua yang menyelamatkan Hao
YAKARO: Hmm, saya juga penasaran/Proud/
total 1 replies
Nanik S
untung ada yang menolong Xu Hai
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!