Erie, seorang gadis berusia 19 tahun yang mempunyai nasib malang, secara tiba-tiba dinikahkan oleh bibi angkatnya dengan pria bernama Elden. Tidak hanya bersikap dingin, pria tampan nan kaya raya itu juga terkesan misterius seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari Erie. Kira-kira bagaimana cara Erie bertahan di dalam pernikahannya? Apakah Erie bisa merebut hati sang suami ketika ia tahu ternyata ada wanita lain yang menempati posisi istimewa di dalam hidup suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mei Shin Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Your Secretary
Dengan kesal bercampur marah, Elden melempar penanya dengan keras di depan para dewan direksi. Emosinya meluap-luap. EEX Company, salah satu cabang perusahaan Elden itu terancam pailit. Padahal perusahaan itu adalah perusahaan yang penting karena satu-satunya perusahaan milik keluarga Alvaro yang bergerak di bidang elektronik.
Elden memperhatikan satu per satu orang-orang berjas yang ada di hadapannya dan tidak bisa melakukan apa-apa itu. Mereka sudah berkecimpung di dunia bisnis selama bertahun-tahun, tapi sekarang hanya terlihat seperti para amatiran.
"Kalian hanya fokus pada pengembangan produk tetapi melupakan kebutuhan konsumen. Lagipula televisi yang keluar pada kuartal dua dan tiga mengalami kegagalan tahun lalu, tapi kalian tetap memproduksi produk yang sama tahun ini. Sudah harganya terlalu mahal, kalian juga gagal berinovasi. Apakah kalian tidak mengamati bagaimana kompetitor lain yang bisa berkembang pesat sedangkan perusahaan ini nyaris bangkrut?" ucap Elden panjang lebar kepada pemimpin cabang perusahaannya yang sengaja ia panggil ke kantor pusat.
"Aku beri waktu dua minggu. Jika dalam jangka waktu itu masih belum membaik, kalian semua akan aku pecat tanpa terkecuali. Tidak hanya itu, kalian juga yang akan menanggung kerugian perusahaan. Kalian paham?" tukas Elden dengan tegas.
Orang-orang yang ada di hadapan Elden menunduk lalu menjawab, "Baik, Tuan."
Kalimat Elden itu tidak hanya sebagai gertakan belaka. Bekerja di perusahaan Elden memang merupakan tujuan banyak orang. Meskipun terkenal kejam, namun Elden selalu memberikan yang terbaik untuk karyawannya. Itu hanya untuk karyawan yang berbakat dan menguntungkan perusahaan karena Elden tidak segan-segan memecat hingga memberikan sanksi kepada karyawan yang kinerjanya biasa-biasa saja.
"Baik. Rapat aku tutup sampai di sini." Elden berdiri dari kursinya dan pergi meninggalkan ruang rapat menuju ke ruangannya. Raut wajah Elden yang sangat dingin membuat debaran jantung menyergap pegawainya yang tak sengaja berpapasan dengan pria itu. Mereka menunduk takut atau bahkan memilih untuk menghindar dari Elden.
Elden masuk ke dalam ruangan Mario yang berada satu lantai di bawah ruangannya. "Mario, persiapkan mutasi direktur utama EEX Company ke perkebunan. Jika dia berusaha menolak, segera pecat dia," kata Elden tanpa basa-basi.
"Baik, Tuan," ucap Mario yang langsung berdiri dari kursinya saat ia melihat Elden membuka pintu ruangannya.
Elden tidak langsung kembali ke ruangannya. Ia memilih untuk duduk di atas sofa di ruangan itu. Ia melepaskan kancing kemejanya dan melonggarkan dasinya. Hal-hal yang selalu ia lakukan setiap kali kepalanya penat. Rasanya dasi itu seperti mencekiknya secara perlahan jika ia tidak melonggarkannya.
Mario mendekati Elden. "Apakah Tuan ingin minum sesuatu?"
"Tidak perlu. Duduklah Mario." Mario yang mendengar perkataan Elden langsung duduk di depan pria itu. "Oh ya, bagaimana investigasimu?" sambung Elden.
"Meskipun cukup sulit, namun kami sudah menemukan alamat asal dari pelaku itu, Tuan. Saat ini, barang-barang miliknya sedang dibawa ke markas untuk diselidiki."
"Apakah menurutmu otak penusukkan itu adalah pemimpin dari Monster?"
"Saya tidak bisa memutuskannya Tuan, tapi kita juga tidak bisa menampik segala kemungkinan."
"Kau benar. Hmm... Bukankah ini aneh Mario? Setelah orang itu kabur, teror kepadaku juga berhenti. Yang anehnya lagi, jika memang sasaran mereka adalah aku, kenapa dia mencoba untuk membunuh Erie? Padahal aku juga berada di sana saat kejadian itu."
Benar. Mario juga memikirkan hal itu. Kali ini pergerakkan mereka sangat sulit diprediksi. Tidak hanya Elden saja yang terancam, bahkan seluruh keluarga Alvaro juga ikut terkena imbasnya.
"Saya juga berpikir bahwa terlalu banyak kejanggalan dalam kejadian itu, Tuan. Terlebih lagi Nyonya tidak pernah tampil di depan publik secara terang-terangan selain di 'kapal putih'. Saya rasa, orang-orang di kapal itu tidak akan berani melakukan semua ini setelah mendapatkan tekanan dari perusahaan Anda."
"Aku tidak tahu. Ini terlalu memusingkan. Yang pasti kau harus memperketat penjagaan untuk Erie dan Daniel."
"Baik, Tuan."
Elden memijat kepalanya yang semakin hari semakin terasa pusing akibat kejadian-kejadian yang datang secara beruntun menghampirinya. Tiba-tiba rasa sesak menghimpit dada Elden. Kening pria itu juga seketika berkeringat.
Mario yang melihat kejadian itu langsung bertindak. Ia mengambil beberapa obat-obatan dari saku jasnya yang selalu ia bawa kemanapun. Ia mengambil masing-masing satu butir dari lima jenis obat. Mario memberikannya kepada Elden sembari menyerahkan segelas air mineral.
Elden meminum obat-obat yang diberikan Mario dengan cepat. Beberapa menit kemudian, tubuhnya beransur-ansur membaik. Melihat hal itu, Mario bernapas lega. Kejadian itu memang tak sering muncul, tapi Mario selalu berada di dekat Elden ketika sakit di dada pria itu muncul. Mario tidak pernah bertanya apapun tentang penyakit itu. Bahkan namanya saja ia tidak tahu. Yang ia tahu hanya memberikan obat-obatan yang sudah diresepkan oleh dokter pribadi Elden tiap penyakit tuannya kambuh.
Selain Tuan dan Nyonya Besar Alvaro, dokter pribadi Elden dan Mario, tidak ada orang lagi yang tahu tentang kondisi Elden. Ini adalah hal yang harus dirahasiakan kepada orang lain, termasuk kepada Daniel dan Erie. Bahkan Marline yang sudah merawat Elden sejak kecil juga tidak pernah melihat Elden dalam keadaan sakit.
"Apa jadwalku hari ini?" ucap Elden saat kondisi tubuhnya sudah pulih seperti sedia kala.
"Anda akan memantau perkebunan pada pukul 3 siang, Tuan."
"Tidak, batalkan saja itu. Sekarang aku akan mengunjungi Erie."
"Baik, Tuan."
XXXX
Erie masih terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit. Sudah dua minggu setelah insiden penusukkan, perempuan itu tak kunjung sadarkan diri. Penjagaan di rumah sakit itu begitu ketat kala Erie dibawa ke sana. Semua dokter terbaik dipanggil untuk menangani kondisi Erie.
Terkejut, tentu saja. Bayangkan saja, Elden memanggil pemilik rumah sakit untuk menjamin bahwa tak satu orang pun, selain mereka yang mengetahui identitas Erie. Bahkan tenaga medis yang masuk ke dalam ruang rawat Erie hanyalah orang-orang tertentu yang sudah dijamin keamanannya terlebih dahulu oleh para penjaga yang selalu berada di depan ruangan Erie.
Elden sudah tiba di rumah sakit dan segera memasuki ruang rawat Erie. "Bagaimana keadaannya?" katanya kepada Marline yang bertugas menjaga Erie selama Elden tak ada di sana.
"Masih sama seperti kemarin Tuan."
Marline berdiri dari kursi dan memberi hormat lalu mempersilakan Elden untuk mendekati Erie.
Elden duduk kursi yang tadi Marline duduki yang berada di samping tempat tidur Erie. Ia menatap perempuan yang ada di depannya itu sejenak. Wajahnya yang dihiasi dengan selang oksigen di hidungnya itu terlihat sangat pucat. Berbeda dengan wajah yang selalu perempuan itu tunjukkan setiap harinya. Menurut Elden, wajah Erie saat membantahnya jauh lebih baik daripada wajah Erie yang tak berdaya seperti itu.
"Aku akan pergi selama beberapa hari. Beritahu aku kalau dia sudah sadar," ujar Elden. Marline menjawab, "Baik, Tuan."
Elden bangkit dari kursinya. Ia menyentuh tangan Erie sekilas kemudian berlalu meninggalkan perempuan itu bersama dengan Marline.
Elden menutup pintu ruangan Erie. Melihat hal itu Mario langsung mendekati Elden. Ia berbisik, "Hasil penyelidikan dari markas sudah keluar, Tuan." Mario menyerahkan sebuah amplop kepada Elden.
Elden membuka amplop itu. Melihatnya sekilas kemudian menutupnya kembali. "Bagus!" serunya sambil mengembalikan amplop itu kepada Mario. "Apakah kau sudah memberikan umpannya?"
"Sudah Tuan. Jika sesuai dengan rencana, ia akan segera terjebak ke dalam perangkap kita."
"Baiklah. Kau urus perusahaan, masalah ini biar aku yang menanganinya langsung."
"Baik, Tuan."
Elden dan Mario meninggalkan rumah sakit. Elden tersenyum puas. Tinggal sedikit lagi pria itu bisa membongkar siapa otak dari insiden penusukan Erie. Pelaku yang berani membuat istrinya koma selama dua minggu.
XXXXX
Dua hari kemudian, Marline datang ke ruangan Erie. Ia membawa bunga tulip berwarna merah. Setiap pagi, ia memang membawakan vas yang berisi bunga tulip merah. Semua itu adalah perintah dari Elden. Sejak pertama kali Erie dirawat, Marline membawa seikat bunga tulip dan meletakkannya di dalam vas bunga. Awalnya Elden terlihat sangat murka. Namun, perkataan dokter yang mengatakan bahwa tubuh Erie bereaksi terhadap bunga itu, membuat Elden memerintahkan Marline untuk membawa bunga tulip setiap hari.
"Selamat pagi, Nyonya," sapa Marline kepada Erie. "Anda masih belum bangun?"
Marline meletakkan vas bunga di nakas di samping tempat tidur Erie. "Apakah Anda tahu Nyonya, Tuan Elden sangat mengkhawatirkan Anda. Sehabis dari kantor, Tuan selalu kemari untuk menemui Anda. Bahkan beliau sampai tidak tidur demi menjaga Anda," kata Marline sambil duduk di samping Erie.
"Selama 17 tahun bersama beliau, saya belum pernah melihat Tuan berlaku seperti ini. Tolong bangunlah Nyonya," ucap Marline lagi sembari menggenggam tangan Erie.
Tak lama kemudian wanita paruh baya itu merasakan pergerakan pada jemari Erie. Semakin lama pergerakan tangan Erie semakin terasa. Marline sangat terkejut. Dengan cepat ia menekan tombol panggilan darurat untuk memanggil dokter. Setelah ditekan berkali-kali, tidak ada satupun petugas medis yang datang. Marline yang merasa khawatir memutuskan keluar ruangan untuk mencari dokter.
Perlahan-lahan Erie mencoba membuka matanya. Ia merasa bingung dengan keadaan sekitarnya. Suasana tempat itu sangat sepi, hanya terdengar suara bedside monitor sebagai petunjuk detak jantungnya.
Beberapa saat kemudian, seorang dokter wanita masuk ke ruangan Erie bersama dengan Marline. Setelah melakukan pengecekan di tubuh Erie, dokter itu keluar dari ruangan tanpa berbicara sepatah kata pun. Ia langsung menghubungi Elden untuk menjelaskan secara rinci tentang keadaan Erie. Dokter itu mendapatkan izin dari Elden untuk memeriksa tubuh Erie dengan lebih teliti sebelum perempuan itu dinyatakan telah sembuh.
Berselang dua hari, hasil pemeriksaan tubuh Erie telah keluar. Setelah memastikan kondisi Erie benar-benar sudah pulih dan normal, dokter itu menyampaikan bahwa Erie sudah diperbolehkan pulang. Marline yang mendengar perkataan dari dokter itu langsung menyampaikannya juga kepada Elden.
Mario mengetuk pintu kamar Erie kemudian ia masuk ketika mendengar izin dari Erie. "Nyonya, saya datang menjemput Anda," kata Mario sambil menunduk hormat. Lalu ia membawakan tas Erie yang sebelumnya telah dibereskan oleh Marline.
Erie berdiri dari sofa. "Kenapa kau yang datang? Di mana Marline?"
"Marline sedang berada di rumah untuk membersihkan kamar Anda sekaligus menyiapkan segala hal untuk menyambut Anda, Nyonya."
"Lalu di mana Dicken? Sudah lama aku tidak melihatnya."
"Dicken sedang mendapatkan tugas dari Tuan, Nyonya."
Erie mengangguk mengerti. Ia berjalan mengikuti Mario untuk membawanya kembali ke rumah.
Ketika Erie tiba di dalam rumah, semua orang datang menyambutnya. Para pelayan menunduk hormat kepada Erie. "Selamat datang kembali, Nyonya," ujar mereka secara serempak.
Kali ini Erie sudah terbiasa dengan perlakuan mereka. Ia tidak lagi secanggung dulu yang tidak tahu harus melakukan apa. Erie tersenyum. "Terima kasih," katanya.
Marline mendekati Erie dan menyerahkan seikat bunga tulip merah kepada Erie. "Selamat datang, Nyonya. Rumah ini begitu sepi karena kehilangan Anda."
Erie menerima bunga itu. "Terima kasih sudah menjagaku Marline. Terima kasih juga untuk bunga-bunga yang kau berikan kepadaku selama aku dirawat. Aku menyukainya," ujar Erie sembari memeluk Marline.
Entah mengapa pelukan Erie yang begitu hangat membuat Marline terharu. Ia hanya seorang pelayan, tapi nyonyanya memperlakukannya dengan sangat baik. "Terima kasih telah kembali, Nyonya," ucap Marline seraya berusaha menahan air matanya.
Erie melepaskan pelukannya. "Aku akan ke kamarku," katanya kepada Mario. Laki-laki itu mengerti. Ia memberikan tas Erie kepada pelayan yang akan mengantarkannya ke kamar Erie.
Erie membuka pintu kamarnya. Sudah hampir sebulan ia tidak melihat kamarnya, tapi kamar itu benar-benar dirawat dengan baik oleh para pelayannya. Erie membuka pintu dan berjalan menuju balkon. Ia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Memang, udara yang diberikan Sang Kuasa jauh lebih segar dan baik daripada oksigen yang dijual di rumah sakit.
"Bagaimana keadaanmu?" ucap seseorang menginterupsi kegiatan Erie.
Perempuan itu menoleh sejenak. Ia melihat Elden berdiri di depan pintu balkon kamarnya. Jujur, Erie tidak menyangka akan bertemu dengan suaminya itu sekarang.
"Seperti yang kau lihat," tukas Erie singkat sambil memperhatikan Elden yang melangkah mendekatinya. Dengan jarak yang semakin dekat itu, Erie bisa melihat wajah lelah dari paras tampan pria itu. Erie baru mengalihkan pandangannya ke perkebunan saat matanya tak sengaja beradu dengan mata hazel milik Elden.
Elden berjalan sambil mengerutkan keningnya. Pria itu bingung dengan perkataan Erie. Namun, Elden tidak menggubris perkataan Erie. "Mulai besok kau akan bekerja di kantorku," ujarnya.
Erie mengalihkan pandangannya ke arah Elden. "Maksudmu?"
"Kau akan bekerja sebagai sekretarisku di kantor."
"Kenapa?"
"Karena aku butuh."
"Kenapa harus aku? Kau bisa mencari orang lain untuk menjadi sekretarismu jika kau memang butuh."
Elden memandang hamparan perkebunan yang terlihat indah dari balkon tersebut. "Aku ingin kau belajar untuk mengurus perusahaanku."
Erie menatap Elden dari samping. "Kenapa?"
"Karena kau adalah istriku," gumam Elden.
Erie tersentak. Baru pertama kali ia mendengar pria itu berkata bahwa dirinya adalah istrinya. Biasanya pria itu hanya menyebut Erie sebagai Nyonya Elden atau bagian dari keluarga Alvaro. Bahkan Elden juga pernah menganggapnya sebagai pelayan saat Tuan dan Nyonya Besar Alvaro berkunjung beberapa waktu lalu. Istri? Erie merasakan jantungnya berdegup kencang tiap mengulang kata itu dalam pikirannya. Dengan susah payah Erie menenangkan dirinya. "Lalu bagaimana dengan wanita itu?"
"Wanita? Ah, maksudmu Tina?" tanya Elden. Erie mengangguk. "Dia tetap menjadi sekretarisku," kata Elden lagi.
"Dasar serakah," desah Erie.
Elden menoleh melihat Erie. "Kau mengatakan sesuatu?"
"Ti.. Tidak.." jawab Erie gugup. Ia tak menyangka Elden mendengar perkataannya.
Elden membalikkan tubuhnya untuk bersandar ke pagar di balkon itu. "Kau tidak menolaknya?"
Erie mengangkat bahunya. "Menolak apa?"
"Menolak perintahku."
Erie menghembuskan napasnya. "Sesuai perkataanmu. Itu adalah perintah. Jadi bagaimana bisa aku menolak perintahmu, TUAN," kata Erie sambil menekankan kata tuan.
"Bagus." Elden berjalan menuju pintu balkon. Sebelum ia membuka pintu balkon, ia menoleh lagi ke arah Erie. "Tapi kau di sana hanya sebagai sekretarisku. Kau paham?"
Erie mengangguk. "Iya, aku paham," katanya sambil melihat pria itu berjalan keluar dari kamarnya. Ia tahu betul maksud perkataan Elden. Pria itu tak ingin karyawan kantor mengetahui identitasnya sebagai istri Elden. Erie tak tahu alasannya dan ia pun tak peduli. Ia hanya terus memikirkan perkataan Elden yang menyebutnya sebagai istri. Ia merasakan ada yang aneh dan berubah dari pria itu.
*XXXXX
Dukung novel ini dengan tinggalkan like, comment dan vote*. .
Danke ♥️
By: Mei Shin Manalu**
katanya bucin
apa BAWA ya...
Kl diangkat ke layar lebar pasti penonton nya kyk semut antrinya
kereeen