Keinginan untuk dipeluk erat oleh seseorang yang dicintai dengan sepenuh jiwa, merasakan hangatnya pelukan yang membungkus seluruh keberadaan, menghilangkan rasa takut dan kesepian, serta memberikan rasa aman dan nyaman yang tak tergantikan, seperti pelukan yang dapat menyembuhkan luka hati dan menenangkan pikiran yang kacau, memberikan kesempatan untuk melepaskan semua beban dan menemukan kembali kebahagiaan dalam pelukan kasih sayang yang tulus.
Hal tersebut adalah sesuatu yang diinginkan setiap pasangan. Namun apalah daya, ketika maut menjemput sesuatu yang harusnya di peluk dengan erat. Memisahkan dalam jurang keputusasaan dan penyesalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14 : Terbangun
Satu bulan berlalu tanpa adanya tanda-tanda Freya yang terbangun. Orang tua Freya menyarankanku agar tidak terlalu menyalahkan diriku sendiri, tapi meski begitu, semuanya memang kesalahanku. Aku yang terlalu lemah dan ceroboh untuk melindunginya. Tentang audisi vocal yang ku ikuti bersama Freya, aku tetap mengikutinya meski kepala sekolah sudah tau kabar yang sebenarnya.
Kedua sahabat Freya, Marsha dan Zee, mereka juga sudah tau ketika mereka selalu bertanya padaku, kenapa selama sebulan ini Freya selalu absen. Sebenarnya bukan aku yang memberi tau mereka, tapi mereka yang menguntitku, ketika aku berkunjung ke rumah sakit. Mereka sempat menyalahkanku, tapi mungkin mereka mengerti dengan apa yang terjadi. Tapi pada dasarnya, aku memang pantas di salahkan.
...***...
Hari-hari berlalu dengan sunyi, seakan waktu sendiri tak rela beranjak dari titik ini. Bayang-bayang Freya menghantuiku, wajahnya yang tersenyum lembut, mata indahnya yang kini tak pernah bersinar. Aku terjebak dalam labirin penyesalan, tak tahu bagaimana keluar dari jerat kesalahan yang kugenggam erat.
Kepala sekolah mungkin sudah tahu, tapi aku tak peduli. Audisi vokal itu kesempatan terakhirku untuk menebus semuanya, untuk membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku tak sepenuhnya gagal. Tapi setiap langkahku terasa seperti leher yang siap menerima jerat hukuman.
Marsha dan Zee, sahabat-sahabat Freya yang dulu selalu berbagi tawa, kini memandangku dengan mata yang berbeda. Mereka menguntitku, menyaksikan sendiri luka yang kugotong. Mungkin mereka ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, atau mungkin mereka hanya ingin memastikan aku tak melarikan diri dari tanggung jawab.
Aku memang pantas disalahkan. Kesalahan itu seperti beban yang kutanggung sendiri, semakin berat dengan setiap langkah. Aku lemah, tak bisa melindungi Freya saat dia membutuhkanku. Kini, dia terbaring diam, sementara aku terus berjalan, meski langkahku pincang oleh beban penyesalan.
Di setiap langkah, bayangan Freya menghantuiku. Aku berharap suatu hari dia bisa tersenyum kembali, tapi harapan itu semakin tipis, seperti asap yang melayang hilang di udara. Aku hanya bisa terus berjalan, berharap suatu hari aku bisa menemukan penebusan, atau setidaknya sedikit pengampunan dari lubuk hati yang paling dalam.
"Ini, makan dulu.." aku yang sedang melamun di taman rumah sakit, menoleh ketika ayah Freya menghampiri dan duduk di sampingku.
Kursi kayu ber-cat putih ini, nampak kuat dengan beban yang ditanggungnya. Aku menerima makanan itu dengan tangan yang dingin, napas yang berat. Ayah Freya menatapku dengan mata yang sayu, tapi tak ada celaan di sana. Mungkin dia sudah melihat ke dalam lubuk hatiku, melihat penyesalan yang tak berkesudahan.
Aku makan dengan pelan, berusaha menikmati rasa makanan yang sebenarnya tak berarti apa-apa. Ayah Freya duduk diam di sampingku, mungkin menunggu aku berbicara, atau mungkin dia hanya ingin menemaniku dalam diam.
Taman rumah sakit ini sunyi, hanya suara burung yang sesekali melintas. Aku menatap pepohonan yang rindang, mencoba mencari kedamaian di sana. Tapi bayangan Freya terus menghantuiku, wajahnya yang tersenyum lembut, mata indahnya yang kini tak pernah bersinar.
Aku menyelesaikan makanan itu dengan cepat, tak terasa ada rasa puas di perutku. Ayah Freya menatapku dengan mata yang dalam. "Kau harus kuat, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Freya pasti akan baik-baik saja."
Aku mengangguk, berusaha tersenyum. Tapi senyum itu palsu, sekadar gerakan bibir yang tak sampai ke mata. Ayah Freya mungkin melihat itu, tapi dia tak mengatakan apa-apa. Dia hanya menepuk bahuku, memberi sedikit kekuatan yang aku butuhkan untuk terus berjalan.
"Om tidak menyalahkanku, atau marah padaku?"
Ayah Freya menatapku dengan mata yang sayu, kemudian menggelengkan kepala perlahan. "Tidak. Om tahu kau sudah berusaha semaksimal mungkin. Om tidak menyalahkanmu, Om hanya ingin kau kuat dan menjaga dirimu sendiri. Itu juga yang mungkin diinginkan oleh Freya."
Suara Ayah Freya lembut, tapi penuh dengan kesedihan yang mendalam. Aku bisa merasakan beratnya beban yang dia tanggung, kehilangan yang tak tergantikan.
Aku menunduk, merasa bersalah karena tak bisa melindungi Freya. Ayah Freya mungkin melihat itu dan mengerti apa yang aku rasakan. Dia menepuk bahuku lagi, kali ini lebih lembut. "Jangan biarkan dirimu seperti awan, yang begitu saja berubah bentuk ketika angin menerpa, tapi jadilah seperti air sungai. Berapa banyak pun batu yang ada di sungai, sedikitpun tidak bisa mencegah aliran air menuju ke laut."
Aku mengangguk, berusaha menelan ludah yang tersekat di tenggorokanku. Ayah Freya mungkin tidak menyalahkanku, tapi aku sendiri yang tidak bisa memaafkan diri sendiri. Kesalahan itu terus menghantuiku, membuatku merasa tak layak berada di sini.
Tapi dengan keberadaan Ayah Freya di sampingku, aku merasa sedikit lega. Mungkin dengan waktu, aku bisa belajar memaafkan diri sendiri dan melanjutkan hidup dengan sedikit harapan.
...***...
"Kau sudah pulang?" Aku mengangguk pelan, ketika ayahku menyambut di apartemenku.
"Om Agra sudah pulang?" Tanyaku, Aku tau sebelum ini Om Agra mampir ke sini, dalam urusan bisnis bertemu dengan ayahku.
"Dia sudah pulang, ganti bajumu. Ayah ingin bicara.."
Aku mengangguk dan menuju kamar untuk ganti baju. Aku merasa seperti berada di dua dunia yang berbeda, satu di mana Freya masih bersamaku, dan satu lagi di mana dia terbaring diam di rumah sakit.
Setelah ganti baju, aku menuju ruang tamu di mana Ayah sudah menunggu. Dia menatapku dengan mata yang serius, tapi juga penuh dengan kasih sayang. "Sejujurnya saat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan ini, tapi ayah tidak memiliki pilihan."
"Ada apa?" Tanyaku.
"Ayah ingin kamu pulang ke jepang, meneruskan perusahan keluarga ibumu.." ucap Ayah.
"Keluarga ibu? Kenapa aku baru mendengarnya? Selama ini ibu tidak pernah bercerita tentang keluarganya." Ucapku.
"Kamu benar, Sebenarnya pernikahan ayah dan ibumu, di tentang oleh keluarga ibumu. Ibumu di usir dari keluarga. Tapi meski begitu dia sama sekali tidak menyesal."
"Jika begitu, bukankah keluarga ibu tidak akan mengijinkan orang lain untuk memiliki perusahan itu?"
"Perusahaan itu adalah hasil kerja keras ibumu sebelum menikah dengan ayah. Ayah tau bagaimana perjuangan ibumu mendirikan perusahaan itu, di tengah ancaman dari keluarganya. Keluarga ibumu adalah orang-orang serakah yang hanya mementingkan uang dan kekuasaan. Sebelum di usir dari keluarga, ibumu sengaja menyembunyikan surat-surat dan dokumen kepemilikan perusahaan, agar keluarganya yang serakah, tidak akan bisa memiliki perusahaan itu." Jelas Ayah.
"Lalu sekarang, dokumennya ada di mana?" Tanyaku.
"Ibumu memberikan dokumen itu pada orang kepercayaannya. Dan, dua hari yang lalu, orang misterius bernama Himea Jun, datang menemui ayah."
"Himea Jun?" Tanyaku mengernyit.
"Dia mengaku adalah orang yang menyimpan semua dokumen itu. Dia bilang kalau kamu adalah pewaris dari perusahaan ibumu, yang sekarang sedang di perebutkan oleh keluarganya. Dia memintamu untuk menemuinya di Tokyo."
"Meski itu benar, tapi aku tidak bisa. Aku tidak akan meninggalkan Freya di sini." Tolaku.
Sebelum ayahku sempat berbicara lagi, panggilan teleponku berbunyi.
Aku melihat layar ponselku dan terkejut ketika melihat nama Marsha terpampang di sana. Aku menjawab panggilan itu dengan hati yang berdebar-debar.
"Halo?"
"Kau ada di mana?" tanya Marsha dengan suara yang terdengar sedikit berbeda.
"Aku ada di apartemen," jawabku singkat.
"Freya... ada perubahan," kata Marsha dengan nada yang membuatku merasa ada sesuatu yang tidak beres.
"Apa maksudmu?" tanyaku dengan hati yang semakin berdebar.
"Freya... dia bangun," jawab Marsha dengan suara yang bergetar. Aku merasa seperti tersengat listrik ketika mendengar kata-kata Marsha. Freya terbangun? Apakah ini benar-benar terjadi?
"Aku akan segera ke rumah sakit," kataku dengan suara yang bergetar.
Aku menatap Ayah dengan mata yang lebar. "Freya bangun," kataku dengan suara yang hampir tidak bisa dipercaya. Ayah menatapku dengan mata yang penuh dengan harapan.
"Pergilah, dia membutuhkamu." Aku mengangguk dan berlari keluar dari apartemen tanpa menoleh ke belakang. Aku harus segera ke rumah sakit dan melihat Freya. Apakah ini akhir dari mimpi buruk ini?