NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 27: Ilmu Pedang yang Terlahir dari Amarah

Kabut pagi masih menggantung di puncak gunung. Embun tipis melapisi dedaunan, berkilau di bawah sinar mentari yang baru terbit.

Liang Chen berdiri di tengah lapangan batu, Kesunyian Malam tergenggam di tangan kanannya. Bilah hitam itu memantulkan pantulan kabut, tampak seperti cermin gelap yang menyimpan nyawa ribuan orang.

Guru Kui Xing berdiri di hadapannya, memegang tongkat bambu. Pakaian lusuhnya berkibar pelan tertiup angin, dan di wajah tuanya tersirat ketenangan yang menakutkan.

“Hari ini, kita mulai pelajaran pedang,” katanya dengan suara datar namun berat. “Tapi pedang yang akan kau pelajari bukan pedang indah dari sekte-sekte ortodoks. Pedangmu lahir dari darah dan bernafas dengan amarah.”

Liang Chen mengangguk tanpa bicara.

Guru Kui Xing berjalan pelan mengitari muridnya. “Ilmu Pedang Asura bukan seni. Ia bukan tarian, bukan keindahan. Ia adalah insting pembunuh yang dimurnikan oleh kesadaran.

Tujuannya bukan membuat luka, tapi menghapus eksistensi.” Ia berhenti di belakang Liang Chen, lalu menepuk tongkatnya ke tanah. Suara keras menggema di antara tebing. “Ayunkan pedangmu.”

Liang Chen mengangkat Kesunyian Malam. Nafasnya pelan tapi berat. Ia mengingat pelajaran sebelumnya, mengingat bagaimana Energi Pembantaian harus mengalir seperti darah yang dikendalikan hati. Ia menyalurkan sedikit energi ke bilah hitam itu.

Pedang itu bergetar halus, lalu menyalakan cahaya merah samar di sepanjang bilah. Liang Chen menurunkannya perlahan ke depan, lalu menebas udara dengan cepat. Angin berdesing, dan serpihan embun terpecah di udara seperti kaca.

“Lambat,” kata Guru Kui Xing. “Kau menebas dengan hati, bukan dengan naluri. Ilmu Pedang Asura tidak butuh penyesalan.”

Liang Chen mengencangkan genggamannya. Ia mengangkat pedang lagi, kali ini membiarkan pikirannya kosong. Ia hanya fokus pada perintah: menebas. Pedang meluncur cepat, suara angin berubah menjadi ledakan singkat. Batu kecil di depannya terbelah bersih menjadi dua bagian.

Guru Kui Xing menatap hasil itu sejenak, lalu berbicara dengan nada rendah. “Itu lebih baik. Pedangmu harus mencari kelemahan. Setiap makhluk memiliki titik rapuhnya. Kau harus mengenalinya, bukan dengan mata, tapi dengan niat. Pedang Asura tidak berhenti karena empati. Ia berhenti karena musuh telah hilang dari dunia.”

Liang Chen menurunkan pedang, keringat mengalir di pelipisnya. Hawa panas merayap dari dalam tubuhnya, tanda Energi Pembantaian yang terus bergerak di bawah kulit. Ia menatap tangannya, yang sedikit bergetar.

Guru Kui Xing kembali berbicara. “Kau masih berjuang melawan dirimu sendiri. Pedang ini tidak bisa tunduk pada orang yang takut dengan niatnya sendiri.” Ia lalu menatap Kesunyian Malam yang tertanam di tanah. “Pedang itu adalah gigi dari amarahmu. Setiap kali kau menebas, bayangkan dirimu menggigit dunia yang mencoba menelanmu.”

Liang Chen terdiam. Kata-kata itu menusuk seperti duri halus. Ia mengingat desiran darah di Desa Hijau, teriakan, wajah ayahnya, mata ibunya. Semua itu berkumpul dalam pikirannya, tapi kali ini ia tidak tenggelam dalam amarah. Ia mengarahkannya.

Ia menarik pedangnya lagi dan menebas. Sekali. Dua kali. Seratus kali. Udara di sekelilingnya bergemuruh oleh tenaga yang keluar dari setiap gerakan. Setiap ayunan lebih tajam dari sebelumnya, setiap napas lebih stabil.

Guru Kui Xing menutup matanya, mendengarkan suara angin yang diukir pedang. “Kau mulai mengerti,” gumamnya pelan. “Pedangmu haus darah, tapi kelaparan itu harus kau beri makan dengan disiplin, bukan dengan emosi.”

Liang Chen berhenti menebas, napasnya berat. Bilah Kesunyian Malam kini tampak lebih gelap, seolah menelan cahaya di sekitarnya. Ia menatap pantulan dirinya di bilah itu. Matanya terlihat asing, tapi tidak sepenuhnya liar.

Guru Kui Xing berjalan mendekat, berdiri di sampingnya. “Kau sudah mengenal napas pedangmu. Sekarang kau harus mengenal batasnya. Pedang Asura kuat karena ia efisien. Satu tebasan untuk satu nyawa. Itu adalah hukum yang harus kau ingat selamanya.”

Liang Chen menatap langit yang mulai memutih. Kabut bergerak perlahan di sekitar mereka, menelan suara angin dan gema batu yang terbelah. Dalam kesunyian itu, pelajaran hari pertama Pedang Asura berakhir tanpa perayaan, tanpa pujian. Hanya napas dua sosok yang berdiri di puncak gunung, satu mengajar untuk menebus masa lalu, satu belajar untuk membangun masa depan dari darahnya sendiri.

Kabut pagi mulai menipis ketika matahari merangkak naik. Di tepi lapangan batu, Liang Chen kembali berdiri tegak dengan Kesunyian Malam di tangan. Udara di sekitar mereka sudah berbeda dari sebelumnya, lebih berat, lebih padat oleh energi yang nyaris tak terlihat.

Guru Kui Xing duduk di atas batu besar, labu araknya tergeletak di sisi, sementara matanya setengah terpejam. “Sekarang,” katanya pelan, “kau akan belajar memindahkan amarahmu ke dalam bilah itu tanpa menghancurkan apa pun di sekitarmu.”

Liang Chen menarik napas dalam-dalam. Ia menurunkan tubuhnya ke posisi kuda, lalu menyalurkan Energi Pembantaian dari Pondasi Besinya. Energi itu muncul dari dalam dada, seperti arus lava merah yang mendesak keluar dari bumi. Ia mengarahkannya ke tangan kanan, lalu ke pedang.

Seketika, udara di sekitarnya mendesis. Bilah hitam Kesunyian Malam bergetar, memancarkan cahaya merah pekat. Liang Chen menatapnya tanpa berkedip. Aura itu hidup, berdenyut seperti jantung yang berdetak di luar tubuhnya.

“Jangan biarkan ia lepas,” suara Guru Kui Xing bergema. “Kau harus menyalurkan, bukan melepaskan.”

Liang Chen menggertakkan giginya. Energi itu liar, seperti binatang buas yang marah karena dikurung. Ia merasakan urat di lengannya berdenyut keras, napasnya memendek. Suhu di sekitarnya naik, membuat embun di rerumputan menguap dalam kabut halus.

Ia mengangkat pedang dan menebas pohon di depannya.

Ledakan kecil terjadi, daun-daun beterbangan. Pohon itu tidak terbelah bersih, melainkan hangus di tengah batangnya. Liang Chen mundur setapak, tangannya bergetar keras. Energi itu masih mengalir liar dalam nadinya.

Guru Kui Xing berdiri, berjalan mendekat dengan langkah pelan. “Terlalu banyak. Kau membiarkan amarahmu memimpin.” Ia menyentuh permukaan pohon yang hangus, lalu menatap Liang Chen. “Pedang Asura tidak membakar. Ia membelah. Kau bukan api yang melalap, tapi pisau yang menembus. Coba lagi.”

Liang Chen mengangguk tanpa suara. Ia menenangkan diri, menutup mata, menurunkan napas ke perut. Ia membayangkan api itu berubah menjadi aliran air panas yang bergerak lambat, mengalir ke bilah pedang tanpa meledak.

Kesunyian Malam bergetar kembali, tapi kali ini lebih lembut. Liang Chen membuka matanya dan menebas sekali lagi.

Pohon kedua terbelah sempurna dari pangkal hingga pucuk. Permukaannya halus, tanpa bekas terbakar. Hanya garis merah tipis yang berkilau di tengah bekas luka pohon, seperti darah yang mengalir dari dunia itu sendiri.

Guru Kui Xing tersenyum samar. “Begitu. Kau mulai mengerti sifatnya. Energi Pembantaian bukan racun, tapi pisau dua sisi. Ia melukai bila dibiarkan, tapi menguatkan bila diarahkan.”

Liang Chen menatap pedangnya yang kini bersinar halus. Aura merahnya menari di sepanjang bilah seperti kabut berdarah yang menunggu perintah. Ia bisa merasakan bagaimana amarahnya kini tidak lagi membakar dadanya, tetapi menyalurkan kekuatannya ke setiap serat ototnya.

Namun, di balik kendali itu, Liang Chen mendengar sesuatu. Sebuah bisikan halus yang muncul dari dalam pedang. Suara samar, nyaris seperti napas. “Kau... lapar juga...”

Liang Chen menegang. Ia tahu itu bukan suara dari luar, melainkan gema dari dalam pedang dan dirinya sendiri. Kesunyian Malam, pedang yang dulu tumpul dan tak berbahaya, kini memiliki kehendak samar. Pedang itu hidup.

Guru Kui Xing memperhatikan perubahan ekspresi muridnya. “Kau mendengarnya, bukan?”

Liang Chen mengangguk perlahan. “Ia... berbicara.”

Guru Kui Xing menatap bilah hitam itu dengan mata sayu. “Itu adalah ujian pertama dari pedang yang hidup. Kesunyian Malam adalah perpanjangan jiwamu. Jika jiwamu bergolak, ia akan memanggilmu dengan suara haus darah. Jangan takut pada suaranya. Takutlah bila kau tak bisa lagi membedakannya dari suaramu sendiri.”

Kata-kata itu menggema di kepala Liang Chen. Ia menggenggam pedangnya lebih kuat, berusaha mengabaikan bisikan yang terus mengundang. “Aku mengendalikanmu,” gumamnya perlahan.

Ia menebas sekali lagi, kali ini dengan ketenangan yang dingin. Pohon ketiga terbelah bersih, tanpa letupan, tanpa kilau liar. Hanya keheningan yang tersisa.

Guru Kui Xing menyipitkan mata, lalu mengangguk. “Kau sudah menapaki langkah yang tepat. Tapi ingat, pedangmu adalah bayangan amarahmu. Jika kau goyah, ia akan menelanmu. Besok, kita akan menguji batas kendalimu.”

Malam datang perlahan di puncak gunung. Kabut yang tadinya hanya tipis kini menebal, menutupi lembah di bawah seperti lautan putih yang mengalir pelan. Liang Chen duduk bersila di bawah pohon tua yang daunnya memantulkan cahaya merah dari Kesunyian Malam yang tergeletak di pangkuannya. Pedang itu bergetar ringan, seolah bernapas bersamanya.

Guru Kui Xing berdiri di sisi lain lapangan batu, tubuhnya diselimuti cahaya lembut dari bulan yang baru naik. Ia menatap muridnya tanpa bicara untuk waktu yang lama, seolah menimbang apakah waktunya sudah tepat.

Akhirnya, ia berkata, “Kau telah belajar mengendalikan Energi Pembantaianmu, tapi kau belum belajar menolak godaannya.”

Liang Chen membuka mata. Tatapannya tajam, tapi wajahnya masih muda, masih membawa kesan anak yang baru kehilangan dunia. “Godaannya?”

Guru Kui Xing mendekat, langkahnya tenang. Ia menunjuk ke dada Liang Chen. “Energi Pembantaian itu seperti darah naga purba. Ia tidak mengenal cukup. Semakin kau memakainya, semakin ia menuntut. Dan bila kau tak memberinya, ia akan menelanmu dari dalam.”

Liang Chen menunduk. Ia bisa merasakan kebenaran kata-kata itu. Sejak hari ia mulai belajar mengendalikannya, Energi Pembantaian di dalam tubuhnya seperti makhluk yang lapar. Ia bisa menahannya, tapi tidak mematikannya.

Guru Kui Xing mengambil labu araknya, meneguk sedikit, lalu duduk di batu di depan Liang Chen. “Ada hal yang harus kau tahu sebelum kau terlalu jauh menapaki jalan ini. Warisan Asura bukan berkah. Ia adalah kutukan yang diberi bentuk. Kau akan semakin kuat dengan bertarung, tapi setiap pertarungan mencuri sepotong dari jiwamu.”

“Apakah itu berarti… aku akan kehilangan diriku sendiri?” suara Liang Chen nyaris tak terdengar.

“Jika kau membiarkannya, ya.” Guru Kui Xing menatap langit malam. “Tapi tidak semua yang memiliki Warisan Asura berakhir menjadi monster. Ada yang belajar menahan rasa lapar itu, menjinakkannya seperti api di tungku. Sedikit yang berhasil, lebih banyak yang terbakar.”

Mereka diam cukup lama, hanya suara angin yang menggoyangkan daun dan gemericik air di kejauhan. Liang Chen akhirnya bertanya, “Guru... apakah kau pernah melihat seseorang yang gagal menahannya?”

Mata Guru Kui Xing menatap jauh ke hutan, ke arah yang tak bisa dijangkau pandangan manusia biasa. Dalam tatapan itu, ada kenangan lama, seperti bara yang masih menyala di bawah abu.

“Ya. Muridku dulu. Ia juga memiliki Warisan Asura. Ia mencoba menaklukkannya dengan kekerasan, bukan dengan kendali. Ia membunuh demi kekuatan. Ia membakar dunia kecil yang dulu melindunginya, dan akhirnya, dirinya sendiri.”

Liang Chen menatap tanah, menggenggam pedangnya lebih erat. “Aku tidak akan menjadi seperti itu.”

Guru Kui Xing menatapnya kembali, tajam. “Semua yang jatuh berkata begitu sebelum mereka jatuh. Kau harus membuktikannya, bukan mengatakannya.”

Ia berdiri, mengambil batu kecil dan meletakkannya di atas batu besar di depan Liang Chen. Batu kecil itu bersinar lembut, menandakan bahwa ia adalah Batu Spiritual tingkat rendah, mengandung Energi Samawi murni.

“Sekarang,” katanya, “tebas batu besar itu tanpa menghancurkan Batu Spiritual di atasnya.”

Liang Chen mengerutkan dahi. Ia tahu maksud dari latihan itu. Ia harus mengendalikan kekuatan destruktif yang lahir dari amarah untuk memunculkan kekuatan yang murni dan terkendali. Satu kesalahan kecil akan menghancurkan Batu Spiritual itu, dan latihan ini akan gagal.

Ia berdiri perlahan, mengangkat Kesunyian Malam. Bilahnya bergetar ringan, mengeluarkan dengungan rendah yang seperti desahan makhluk lapar.

Liang Chen menarik napas panjang, menyalurkan Energi Pembantaian dari Pondasi Besinya. Ia membiarkan amarah itu mengalir dari dadanya ke lengan kanan, lalu ke bilah pedang.

Dalam pikirannya, ia kembali melihat wajah ayah dan ibunya. Rasa sakit itu datang, tapi kali ini tidak membutakannya. Ia biarkan rasa sakit itu menjadi kekuatan, tapi ia menahannya sebelum membesar.

Cahaya merah samar menyelimuti Kesunyian Malam. Liang Chen menatap lurus ke depan, menebas.

Suara tajam bergema di udara. Batu besar itu terbelah sempurna menjadi dua bagian, tapi Batu Spiritual di atasnya masih berdiri utuh, tanpa retak sedikit pun. Liang Chen terdiam, menatap hasil tebasannya, tak percaya.

Guru Kui Xing tersenyum samar, tapi sorot matanya serius. “Begitulah seharusnya pedangmu. Ia menghancurkan tanpa merusak yang tidak perlu. Kau telah mengerti makna kendali, tapi belum makna keseimbangan.”

Liang Chen mengangkat pandangan. “Apa bedanya, Guru?”

“Kendali berarti menahan kekuatanmu. Keseimbangan berarti menggunakannya tanpa kehilangan dirimu.”

Liang Chen mengulanginya dalam hati. Kalimat itu menggema dalam kepalanya, seolah menjadi mantra baru.

Guru Kui Xing berdiri, menatap muridnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Mulai besok, kau tidak akan berlatih di sini. Dunia di bawah gununglah yang akan menjadi tempat ujianmu. Pedangmu sudah haus darah, Chen’er. Sekarang kau harus memutuskan darah siapa yang layak untuk mengalir lebih dulu.”

Liang Chen terdiam lama. Di wajahnya tidak ada lagi kebingungan, hanya tekad yang dingin. Ia tahu arti kata-kata itu, saatnya meninggalkan puncak ini dan menempuh perjalanan yang tidak akan memberi ampun pada kelemahan.

Ia menunduk dalam-dalam. “Aku mengerti, Guru.”

Guru Kui Xing menatap langit yang mulai memerah di ufuk timur, lalu meneguk araknya lagi. “Bagus. Karena mulai saat ini, setiap langkahmu akan menjadi ujian antara manusia dan Asura di dalam dirimu. Jangan pernah biarkan yang satu menelan yang lain.”

Liang Chen berdiri, menatap pedangnya. Kesunyian Malam berkilau di bawah cahaya pagi pertama. Dalam pantulan bilah itu, ia melihat wajahnya sendiri, muda, keras, dan tenang.

Ia mengangkat pedang itu tinggi, seolah bersumpah tanpa kata. Di hatinya, ia tahu bahwa hari-hari damai di bawah bimbingan Guru Kui Xing telah berakhir. Yang tersisa hanyalah jalan panjang yang akan ditempuh oleh darah dan kehendak baja.

Di belakangnya, suara Guru Kui Xing terdengar sekali lagi. “Jangan pernah lupa, Chen’er. Pedang Asura tidak diciptakan untuk mencari keadilan. Ia diciptakan agar kau mampu menegakkan keadilanmu sendiri.”

Dan di bawah cahaya matahari yang baru lahir, Liang Chen memejamkan mata. Ia tahu, perjalanan sejati baru saja dimulai.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!