Sebuah jebakan kotor dari mantan kekasih memaksa Jenara, wanita karier yang mandiri dan gila kerja, untuk melepas keperawanannya dalam pelukan Gilbert, seorang pria yang baru dikenalnya. Insiden semalam itu mengguncang hidup keduanya.
Dilema besar muncul ketika Jenara mendapati dirinya hamil. Kabar ini seharusnya menjadi kebahagiaan bagi Gilbert, namun ia menyimpan rahasia kelam. Sejak remaja, ia didiagnosis mengidap Oligosperma setelah berjuang melawan demam tinggi. Diagnosis itu membuatnya yakin bahwa ia tidak mungkin bisa memiliki keturunan.
Meskipun Gilbert meragukan kehamilan itu, ia merasa bertanggung jawab dan menikahi Jenara demi nama baik. Apalagi Gilbert lah yang mengambil keperawanan Jenara di malam itu. Dalam pernikahan tanpa cinta yang dilandasi keraguan dan paksaan, Gilbert harus menghadapi kebenaran pahit, apakah ini benar-benar darah dagingnya atau Jenara menumbalkan dirinya demi menutupi kehamilan diluar nikah. Apalagi Gilbert menjalani pernikahan yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Belas
Jenara telah menghancurkan sebagian besar hidupnya. Kerugian finansial akibat sabotase yang dilakukan Jenara pada salah satu proyek besar Nicolas memang menyakitkan. Nicolas bahkan mendapatkan cedera fisik akibat ulah orang suruhan Jenara. Pukulan fatal dari orang suruhan Jenara telah mematahkan tulang lengan kirinya, dan meskipun sudah dua bulan berlalu, rasa nyeri dan dendam itu masih membakar.
Di sisi kota Jakarta yang paling gelap, di sebuah apartemen lusuh yang tersembunyi jauh dari pusat kota dan pantauan mata-mata Jenara, Nicolas tengah bersembunyi. Ia memulihkan diri, bukan hanya secara fisik, tetapi juga mematangkan rencana balas dendam yang akan jauh lebih kejam.
Nicolas duduk di sofa kulit yang robek, mengenakan kaus tipis yang memperlihatkan otot-ototnya yang masih kuat. Ia menyandarkan lengan kirinya yang masih diperban tebal di atas bantal.
Di sampingnya, Hilya, kekasih yang setia menemaninya dalam pelarian, tersenyum kecil. Hilya merangkul bahu Nicolas, kehangatan tubuh mereka yang baru saja berbagi gairah masih terasa kuat.
“Tanganmu… sudah lebih baik, Sayang?” tanya Hilya, suaranya lembut, namun matanya penuh kekaguman dan loyalitas yang buta pada Nicolas.
Nicolas memejamkan mata, menikmati kelembutan Hilya yang mengalihkan rasa sakitnya sejenak. “Sudah. Cepat atau lambat, perban ini akan lepas. Dan setelah itu, aku akan kembali ke medan perang,” jawab Nicolas, nadanya dingin dan penuh janji.
Hilya mengecup pelan pundak Nicolas yang basah oleh keringat. “Kembali? Maksudmu… kembali ke Jenara?”
Nicolas membuka mata. Ia menarik Hilya lebih dekat, tatapannya tajam, penuh kobaran dendam.
“Jenara Sanjaya. Wanita sombong itu akan membayar mahal,” desisnya, suaranya mengandung ancaman yang mengerikan. “Dia telah menghancurkan salah satu bisnisku, membuatku terbaring di tempat sampah, dan mematahkan lenganku. Aku akan membalasnya dengan cara yang sama.”
Ia membenamkan wajahnya di leher Hilya. “Aku akan membuatnya lebih hina dari seorang pelacur yang kotor. Semua yang dia miliki, semua yang dia cintai, akan kurebut dan kuhancurkan. Aku akan menghancurkan kesombongannya yang setinggi langit itu hingga dia berlutut memohon ampun padaku.”
Hilya tahu, Jenara adalah obsesi kotor Nicolas, dan ia menyukainya. Ia mencium bibir Nicolas dengan gairah yang membara.
“Jangan buru-buru, Sayang,” kata Hilya setelah melonggarkan ciuman mereka. “Rencana kali ini harus lebih matang. Kita tidak bisa gagal lagi. Wanita itu terlalu licik.”
Nicolas tersenyum dingin. “Tenang saja, Darling. Dia hanya manusia biasa. Setiap manusia pasti memiliki kelemahan. Aku akan mencari tahu titik rapuhnya. Aku akan masuk melalui celah yang tidak pernah dia duga.”
Nicolas kembali melumat bibir Hilya. Ciumannya kini bukan lagi tentang kelembutan, melainkan tentang pengalihan emosi yang membara. Ia membalikkan tubuh Hilya, membiarkan gairah yang membakar itu mengalir bebas. Mereka saling berbisik janji dan ancaman di antara desahan. Keintiman yang mereka bagi adalah pelarian dari rasa sakit dan bahan bakar untuk rencana balas dendam yang lebih besar. Di bilik yang gelap itu, Nicolas kembali tenggelam dalam pelukan Hilya, membiarkan kehangatan dan gairah itu mengalir sejenak sebelum ia kembali menyusun rencana untuk menjatuhkan Ice Queen dari takhtanya.
...*********...
Di London, pagi berikutnya setelah drama soto ayam, Jenara menghilang lebih awal dari suite mewahnya. Gilbert tahu Jenara pasti sedang merencanakan sesuatu untuk membalas dendam atas kekalahan debat tadi malam.
Gilbert memutuskan untuk turun ke coffee shop hotel. Ia ingin menikmati kopi dan memproses cepat-cepat semua dokumen dan jadwal yang tertunda selama ia berada di London. Ia duduk di sudut yang tenang, menikmati secangkir kopi hitam pahit, seolah tidak ada masalah kehamilan dan pernikahan di depan mata.
Saat Gilbert sedang membaca surel di ponselnya, matanya tak sengaja menangkap siluet yang dikenalnya. Seorang wanita cantik, dengan blazer berwarna gading dan ID card menggantung di lehernya.
Kedua mata mereka tak sengaja bertemu. Wanita itu tersenyum ramah dan berjalan menghampiri meja Gilbert.
“Gilbert! Is that really you?” ("Gilbert! Benarkah ini kamu?") sapa wanita itu, suaranya ceria.
Gilbert berdiri, sedikit terkejut. “Soraya? I thought you were based in Jakarta.” ("Aku pikir kamu berada di Jakarta.")
Soraya tertawa kecil, memegang tangan Gilbert sejenak dalam sapaan yang profesional dan hangat.
“I am, but I'm on a business trip here in London. I’m meeting the UK branch of Alena’s company this morning,” ("Ya, tapi aku sedang dalam perjalanan bisnis di London. Pagi ini aku ada pertemuan dengan cabang perusahaan Alena di Inggris,") jelas Soraya.
Soraya adalah salah satu konsultan branding yang sering bekerja sama dengan perusahaan cabang milik Alena, ya g bergerak dalam bidang fashion.
Mereka berdua duduk, dan pelayan segera datang menawarkan menu.
“Just a sparkling water, thank you.” ("Cukup air soda, terima kasih.") kata Soraya kepada pelayan, kemudian beralih lagi ke Gilbert.
“So, what brings the great COO of Jakarta city to London on a sudden, non-scheduled trip? I thought you were the one who never leaves the country unless it’s for a merger or acquisition,” ("Jadi, apa yang membawa COO hebat dari kota Jakarta ke London dalam perjalanan mendadak dan tidak terjadwal? Aku pikir kamu adalah orang yang tidak pernah meninggalkan negara kecuali untuk merger atau akuisisi,") tanya Soraya, tersenyum geli.
Gilbert tersenyum kecil, senyum yang jarang sekali ia tunjukkan kepada siapa pun selain keluarga dan Althaf. “It’s an… unexpected merger, let’s say. A very personal one. I just arrived last night.” ("Ini adalah... merger yang tidak terduga, sebut saja begitu. Yang sangat personal. Aku baru tiba tadi malam.")
“Personal merger? Sounds intriguing, Gilbert. Is everything okay? You look a bit tired.” ("Merger personal? Kedengarannya menarik, Gilbert. Apakah semuanya baik-baik saja? Kamu terlihat sedikit lelah.")
“I’m fine, thank you. Just recovering from a chaotic negotiation. And you? How long have you been in London?” ("Aku baik-baik saja, terima kasih. Hanya baru pulih dari negosiasi yang kacau. Dan kamu? Sudah berapa lama di London?")
“Since Wednesday. Everything is running smoothly. We’re just finalizing the new market penetration strategy. Alena’s team is fantastic, as always. But I must say, seeing you here is a refreshing surprise. Who knew you enjoyed traveling this much!” ("Sejak hari Rabu. Semuanya berjalan lancar. Kami hanya menyelesaikan strategi penetrasi pasar yang baru. Tim Alena luar biasa, seperti biasa. Tapi aku harus bilang, melihatmu di sini adalah kejutan yang menyegarkan. Siapa sangka kamu menikmati bepergian sebegitu rupa!"
Gilbert tertawa lepas, tawa yang benar-benar santai dan tanpa beban. Soraya adalah rekan kerja yang profesional, cerdas, dan menyenangkan diajak bicara. Ia merasa senang bisa mengobrol santai tanpa harus membahas soal pekerjaan atau masalahnya dengan Jenara.
Di saat yang sama, Jenara Sanjaya yang merasa tidak enak dengan perutnya, memutuskan untuk turun ke restoran hotel. Rasa mualnya sudah sedikit reda, tetapi ia mendambakan sesuatu yang lebih segar. Ia berjalan lurus ke arah pintu masuk restoran, mengenakan kacamata hitam besar dan gaun silk mahal, berusaha menjadi tidak terlihat.
Matanya menyapu seisi ruangan. Ia melihat sebuah adegan yang membuat ulu hatinya tiba-tiba terasa dingin, tidak enak, dan sedikit sesak, perasaan yang Jenara tolak mentah-mentah sebagai ‘cemburu’.
Jenara melihat Gilbert Rahadiansyah, calon suaminya, duduk di meja sudut, berbincang-bincang ramah dengan seorang wanita cantik. Wanita itu tertawa, dan yang lebih menjengkelkan Jenara adalah Gilbert terlihat tertawa lepas, tawa yang sama sekali tidak pernah ia tunjukkan selama konfrontasi mereka.
Dasar pria, batin Jenara, mencibir dalam hati. Lihat wanita cantik, pasti langsung tergoda. Hanya karena dia menawarkan pernikahan, bukan berarti dia sudah menjadi milikku. Dia hanyalah pria yang akan menjadi ayah dari anakku.
Jenara menarik napas dalam. Tenang, fokus Jenara. Tak usah perdulikan mereka. Fokus saja pada dirimu. Urus perutmu yang sudah mulai rewel. Dia bukan urusanmu.
kesian anaknya kalo kenapa2 😭
btw jen, dia suamimu loo, bapak dari si bayi 😌