NovelToon NovelToon
CEO To Husband

CEO To Husband

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Beda Usia / Enemy to Lovers
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: BabyCaca

Alaska Arnolda, CEO terkenal Arnolda, terpaksa menanggalkan jas mewahnya. Misinya kini: menyamar diam-diam sebagai guru di sebuah SMA demi mencari informasi tentang pesaing yang mengancam keluarganya. Niat hati fokus pada misi, ia malah bertemu Sekar Arum Lestari. Gadis cantik, jahil, dan nakal itu sukses memenuhi hari-hari seriusnya. Alaska selalu mengatainya 'bocah nakal'. Namun, karena suatu peristiwa tak terduga, sang CEO dingin itu harus terus terikat pada gadis yang selalu ia anggap pengganggu. Mampukah Alaska menjaga rahasia penyamarannya, sementara hatinya mulai ditarik oleh 'bocah nakal' yang seharusnya ia hindari?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BabyCaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 27 - Teman Teman Arum

Langkah kaki Arum memasuki pintu gerbang sekolah itu terasa seperti masuk kembali ke potongan masa lalu yang sangat ia rindukan. Aroma halaman sekolah, suara riuh rendah dari siswa yang baru berdatangan, dan warna seragam yang bertebaran di mana-mana membuat dada Arum hangat.

Tempat ini meski kadang melelahkan selalu menjadi rumah kedua baginya. Di sinilah ia tumbuh, tertawa, menangis, dan berbagi hari bersama teman-teman yang ia sayangi.

“Mengingat tentang mereka bagaimana kabarnya ya? Apa mereka akan kaget aku ke sekolah lagi?” gumam gadis itu, terkekeh kecil sambil menunjal tasnya agar lebih nyaman di pundak.

Arum melangkah masuk ke area sekolah, menyusuri jalur setapak yang dipenuhi rerumputan rapi. Ia langsung menuju taman belakang, tempat favorit mereka berkumpul setiap pagi.

Ia hafal jalannya, hafal bau udaranya, hafal suasana paginya. Setiap hari, sebelum bel berbunyi, teman-temannya selalu duduk di kursi panjang sana untuk membahas banyak hal yang tak ada habisnya dari drama sekolah sampai mimpi kuliah.

Namun ketika langkahnya tiba di taman dan gadis itu melihat kursi beton itu kosong, ia tertegun. Tidak ada satu pun dari mereka di sana.

“Kemana mereka? Apa tempat nongkrongnya udah berubah ya?” gumam Arum sambil duduk pelan. Betonnya dingin, membuatnya sadar betapa ia sudah lama tidak menyentuh tempat ini.

Angin pagi menyapu rambutnya yang tergerai. Udaranya segar, menampar pipi Arum dengan lembut. Wajah cantiknya tersinari matahari tipis yang menembus sela daun. Ia menggoyang-goyangkan kaki kecilnya, menunggu sambil menghela napas panjang.

Di ruangan lantai dua gedung utama, Alaska baru saja meletakkan tas kerjanya. Kebiasaan buruknya adalah melirik jendela setiap kali ia tiba di sekolah karena entah mengapa matanya selalu mencari keberadaan gadis tertentu. Dan ya, pagi ini pun ia melihat Arum dari kejauhan, duduk sendirian di bangku taman. Pemandangan itu membuat alis pria itu terangkat.

“Kenapa aku sangat ingin mengetahui apa yang dia lakukan?” gumamnya pelan sambil memutar ujung penanya.

Pria itu menggeleng, mencoba mengabaikan rasa penasaran yang menurutnya tidak masuk akal. Namun matanya tetap tidak beralih dari gadis itu beberapa detik lebih lama sebelum akhirnya ia berbalik.

Di sisi lain, Dilan, Farel, Amanda, dan Tia baru saja selesai meletakkan tas mereka di kelas. Keempatnya berjalan menuju taman sambil membicarakan ujian akhir dan persiapan yang harus mereka lakukan.

Mereka membayangkan jadwal belajar bareng, membahas universitas tujuan, dan rencana masa depan. Farel, seperti biasa, mencoba menganalisis pilihan masuk universitas mana yang cocok untuk mereka semua.

Saat mereka semakin dekat ke taman, Tia memperhatikan seseorang duduk sendirian di kursi mereka.

“Hah siapa cewe itu? Anak kelas satu kah, berani banget duduk di tempat kita,” kesal Tia sambil memicingkan mata.

“Udah lah Tia jangan pakai emosi. Lagi pula kita akan meninggalkan sekolah ini. Tidak apa-apa jika ada yang menjadikan tempat ini favorit mereka juga,” tahan Farel, mencoba meredakan temannya.

“Tidak bisa, Tia benar. Enak aja tu orang main-main sama kakak kelas ya,” balas Amanda yang ikut kesal, langkahnya otomatis menjadi lebih cepat.

Tia dan Amanda langsung jalan cepat ke arah bangku taman, sementara Dilan dan Farel hanya saling pandang, menghela napas, lalu mengikuti dari belakang dengan langkah lebih santai. Mereka sudah hafal sifat dua gadis itu: terlalu reaktif untuk hal kecil.

Saat tiba, Tia tanpa basa-basi memegang bahu gadis itu dan berkata dengan nada kesal,

“Eh lu jangan duduk sembarangan ya di sini tempat kita dekel.”

Tapi sebelum Tia sempat marah lebih panjang, Arum langsung menoleh cepat dan berseru lantang,

“Tia!”

Tia tertegun. Mulutnya terbuka sedikit. Napasnya tersengal. Begitu juga Amanda yang langsung membeku. Mereka menatap wajah Arum dengan mata membesar seolah baru melihat hantu.

Dalam hitungan detik, Dilan dan Farel ikut berlari mendekat.

“ARUM!!!” teriak mereka serempak keras, heboh, dan penuh emosi.

Pertanyaan kemudian meledak begitu saja:

“Arum kau kemana saja selama ini?!”

“Arum, kau kemana saja hiks hiks—”

“Kami merindukanmu Arum!”

“Kemana saja kau?”

“Katakan sesuatu!”

“Kami mendengar keluargamu pindah ke Sumatera. Sebenarnya apa yang terjadi?!”

Arum langsung ditarik dalam pelukan ketat Tia dan Amanda, dua gadis yang paling cepat menangis. Mereka memeluknya seperti seseorang yang kembali setelah lama hilang. Amanda sudah sesenggukan. Tia mengguncang pundaknya seolah ingin memastikan Arum nyata.

Arum tertawa kecil. Ternyata benar dugaannya teman-temannya akan menangis.

“Arum kenapa kau hanya diam?! Jawab!!” teriak Amanda yang suaranya pecah.

“Bagaimana Arum bisa menjawab jika kalian terus merengek dan menguncang-guncang tubuhnya,” kesal Farel sambil memukul pelan kepala dua gadis itu.

“Benarkah?” kekeh Tia dan Amanda bersamaan lalu akhirnya melepaskan Arum.

Arum menghembuskan napas lega. Setelah bebas dari pelukan berantai itu, ia menatap wajah teman-temannya satu per satu. Ada rasa hangat merayap di dadanya. Ia sangat merindukan mereka.

“Arum kenapa kau hanya diam? Sebenarnya kenapa kau tidak masuk sekolah?” tanya Dilan sambil ikut duduk di kursi panjang itu.

Arum menelan ludah. Ia harus menjaga cerita paralelnya. Ia tidak boleh membuat Alaska terseret atau menimbulkan kekhawatiran berlebihan.

“Teman-teman maafkan aku, aku tidak bisa mengabari kalian. Kalian tau kan aku tidak punya ponsel. Terlebih satu hal lagi, kalian tau kan kalau keluargaku pindah ke Sumatera?” tanya Arum memastikan.

Mereka mengangguk. Arum melanjutkan dengan hati-hati, membentuk cerita yang terdengar masuk akal.

“Aku selama satu bulan ikut ke Sumatera sebenarnya mau nemenin ibu sama Bayu juga. Sekarang Bayu udah sekolah di sana. Ada beberapa hal lain, ibu tidak bisa mengurus surat pindahku, makanya aku sangat lama libur.”

“Dan baru kembali sekarang. Lagi pula kita akan lulus, sangat susah untuk aku pindah sekarang bukan?” jelas gadis itu.

“Lalu di mana kau tinggal sekarang?” tanya Farel.

“Aku tinggal di kota bersama saudara ibu ku, ibu menitipkan aku di sana. Rumah kami telah dijual untuk biaya pindah,” jawab Arum sambil tersenyum agar terlihat meyakinkan.

“Hah jadi kau PP sejauh itu?” kaget Dilan.

“Tidak masalah, hanya kurang 3 minggu lagi kita akan ujian kelulusan. Hal itu tidak akan berat,” ujar Arum.

Meski nadanya riang, hatinya sedikit menegang. Ia benci harus berbohong, tapi ia tidak punya pilihan. Tidak mungkin ia menjelaskan kebenaran. Teman-temannya pasti akan marah besar pada ibunya. Dan ia tidak ingin Alaska terlibat dalam masalah apa pun.

Teman-temannya saling pandang, sadar ada sesuatu yang Arum sembunyikan, tetapi mereka memilih tidak menekan gadis itu.

“Kau benar. Tidak masalah selagi semua baik-baik saja,” ujar Farel.

“Itu benar. Aku kira kau adik kelas, seragammu baru makanya aku kaget. Sepatumu juga. Kau bilang nanggung banget sekolah tapi malah beli peralatan sekolah baru,” goda Amanda sambil menyenggol lengan Arum.

“A a a aku dibelikan sama ibu tidak ingin menolak,” jawab Arum.

“Tumben sekali ibu mu sangat baik?” tanya Farel.

“Dia kadang baik, kalian tau itu,” ujar Arum sambil tertawa kecil bersama mereka.

Dari balik jendela ruang guru, Alaska yang sempat membuka sedikit tirai mendengarkan percakapan itu. Pria itu menghela napas kecil, lalu menutup tirai kembali sambil bergumam pelan, hampir terdengar seperti cemburu yang tidak diakuinya.

“Bisa-bisanya kau menutupi siapa penolongmu ya.”

...----------------...

Reader tersayang, dukungan kalian dengan vote atau komentar benar-benar membuat novel ini tumbuh. Bantu ya!

1
kalea rizuky
loo siapa kah itu
kalea rizuky
lnjut donk thor
kalea rizuky
goblok sok jagoan ama ibu tiri lampir aja kalah bodoh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!