NovelToon NovelToon
Karma Si Playboy: Jadi Cewek!

Karma Si Playboy: Jadi Cewek!

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Dikelilingi wanita cantik / Misteri / Berbaikan / Fantasi Wanita / Playboy
Popularitas:241
Nilai: 5
Nama Author: Zaenal 1992

Bram, playboy kelas kakap dari Bekasi, hidupnya hanya tentang pesta dan menaklukkan wanita. Sampai suatu malam, mimpi aneh mengubah segalanya. Ia terbangun dalam tubuh seorang wanita! Sialnya, ia harus belajar semua hal tentang menjadi wanita, sambil mencari cara untuk kembali ke wujud semula. Kekacauan, kebingungan, dan pelajaran berharga menanti Bram dalam petualangan paling gilanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zaenal 1992, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Persekutuan Terlarang Reno dan Clara

Waktu berlalu cepat, dan berkat perawatan Rian yang telaten dan istirahat total, luka-luka di tubuh Sinta sudah membaik drastis. Ia sudah bisa berjalan tanpa rasa sakit yang berarti dan memar di wajahnya pun hampir hilang, hanya menyisakan sedikit jejak di sudut mata. Fisik 'Sinta' yang lemah sudah kembali pulih, tetapi Bram di dalamnya merasa makin tertekan.

​Pagi itu, Sinta dengan tegas mengumumkan keputusannya.

​"Rian, aku rasa aku sudah harus pindah hari ini," kata Sinta, berdiri di depan Rian yang sedang sarapan bersama Fahri. Di sampingnya sudah ada sebuah tas, isinya barang-barang yang baru dibelikan Rian.

​Rian meletakkan sendoknya, raut wajahnya berubah serius. "Sinta, kenapa buru-buru? Lukamu sudah benar-benar pulih?"

​"Aku sudah jauh lebih baik, Rian. Aku bahkan sudah bisa ke kantor," jawab Sinta, berusaha terdengar mantap. "Aku nggak bisa terus-terusan menginap di sini. Aku sudah merepotkanmu terlalu lama."

​"Ini bukan soal merepotkan," Rian bangkit, berjalan mendekati Sinta. Matanya menatap intens. "Aku sudah bilang, aku bertanggung jawab atas insiden itu. Dan... jujur, aku dan Fahri sudah terbiasa dengan kehadiranmu. Rumah ini terasa lebih sepi tanpamu."

​Fahri, yang menyadari suasana tegang, memegang tangan Sinta. "Tante Sinta jangan pergi... Nanti Fahri main sama siapa?"

​Hati Sinta (Bram) mencelos. Situasi ini membuatnya makin sulit. "Fahri sayang, Tante cuma pindah ke tempat yang baru, nggak jauh kok. Nanti Tante janji akan main ke sini dan bawa Fahri jalan-jalan, ya?"

​Rian memotong, "Kontrakan itu jauh dari pantas untukmu, Sinta. Aku bisa carikan apartemen yang lebih aman dan nyaman, aku yang tanggung semuanya. Atau, paling tidak, tinggallah satu minggu lagi sampai kamu benar-benar yakin."

​Sinta menggeleng, menarik napas dalam-dalam. "Terima kasih banyak, Rian. Tapi aku harus mandiri. Aku harus pindah. Aku harus ke kontrakanku yang baru."

​Rian tahu, ia tidak bisa memaksanya lagi. Ada kekecewaan mendalam di matanya. "Baiklah. Kalau itu maumu. Biar aku yang mengantarmu. Aku ingin memastikan kamu sampai dengan selamat kali ini."

​Sinta menolak dengan lembut, "Tidak perlu. Aku sudah pesan taksi online. Kamu harus bekerja dan menjaga Fahri."

Rian hanya mengangguk kecil. "Baiklah. Tapi, paling tidak biarkan Mama dan Papa mengucapkan perpisahan."

​Tak lama kemudian, Tante Santi (Ibu Rian) dan Om Chandra (Ayah Rian) menghampiri mereka. Tante Santi tersenyum hangat, sementara Om Chandra membawa aura tenang dan penuh pengertian. Fahri duduk di pangkuan kakeknya, matanya menatap Sinta dengan sedih.

​"Sinta, Nak. Kami mengerti keputusanmu," kata Om Chandra, suaranya lembut. "Kami tidak bisa memaksamu untuk tinggal di sini selamanya. Meskipun, jujur saja, rumah ini terasa lebih hidup dengan kehadiranmu."

​"Terima kasih, Om, Tante. Kalian sudah sangat baik pada saya," jawab Sinta, sedikit membungkuk.

​Tante Santi melangkah maju, memegang kedua tangan Sinta. "Kami hanya ingin kamu tahu, kamu pergi karena pilihanmu, bukan karena kami tidak menginginkanmu di sini. Dan..." Tante Santi melirik putranya, memberikan tatapan penuh arti, kemudian kembali menatap Sinta. "Rian ini bukan tipe yang mudah menunjukkan perasaannya, tapi saat kamu di sini, dia jauh lebih ceria. Kami harap, di luar sana, dia akan belajar untuk lebih berani mengungkapkan apa yang ada di hatinya."

​Sinta (Bram) merasakan darahnya naik ke pipi. Ia tahu betul arah pembicaraan ini, dan itu membuatnya sangat tidak nyaman.

​Ya ampun, maksudnya ini nyuruh Rian nembak gue?! Tapi— gumam Sinta dalam hati, menoleh sekilas ke Rian yang kini terlihat makin salah tingkah. Duh, jadi cewek kok bikin cowok-cowok pada agresif gini, ya? Padahal aslinya gue Cowok, Rian mau 'mengungkapkan isi hati' ke gue? Nggak, nggak, gue butuh cewek cantik, bukan cowok cakep! Tolong!

​"Benar kata Mama," sela Om Chandra, menatap Rian dengan tatapan menegaskan. "Rian, jangan biarkan kesempatan baik terlewat dua kali. Kalau memang kamu peduli, tunjukkanlah."

​Rian hanya terdiam, menggenggam tinjunya. Ia tahu apa yang disiratkan oleh orang tuanya.

​Sinta menghela napas, berusaha mengalihkan fokus dari Rian. Ia memeluk Tante Santi dengan tulus. "Saya akan selalu mengingat kebaikan Tante dan Om. Saya berjanji akan menjaga diri saya baik-baik."

​Setelah perpisahan yang terasa canggung dan penuh keengganan dari pihak Rian dan Fahri, Sinta akhirnya melangkah keluar dari gerbang rumah megah itu. Ia segera masuk ke dalam mobil, merasa lega sekaligus gelisah. Langkah ini harus diambil.

​Di Tengah Perjalanan ​Sinta baru saja melewati belokan besar di dekat area kompleks barunya, ketika taksi online yang ditumpanginya tiba-tiba dihalangi oleh sebuah mobil sedan hitam yang berhenti mendadak di tengah jalan. Jantung Sinta langsung berdebar. Bukan begal, tapi di kursi kemudi, ia mengenali sosok yang dikenalnya.

​"Sialan!" umpat Sinta (Bram) dalam hati.

​Sebelum Sinta sempat bereaksi, pintu mobil sedan itu terbuka dan Reno melompat keluar, diikuti Raka. Wajah kedua pemuda itu terlihat marah dan putus asa.

​"Sinta, turun sekarang!" perintah Raka, suaranya menggelegar.

​Sinta keluar dari taksi, membayar sopir dengan tergesa-gesa. "Reno, Raka! Kalian ngapain?! Kenapa kalian ngikutin aku?!"

​"Kita nggak akan biarin kamu pindah ke tempat sampah itu!" seru Reno, melangkah maju. "Kita udah tahu kamu tinggal di rumah Rian. Kamu mau pura-pura polos dan bilang itu cuma urusan atasan dan bawahan?"

​"Itu benar!" balas Sinta, frustrasi. "Dia cuma menolongku!"

​Tepat saat ketegangan memuncak, sebuah mobil lain berhenti tak jauh dari sana. Rian, yang ternyata diam-diam mengikuti Sinta untuk memastikan keamanannya, keluar dari mobilnya. Ia melihat Reno dan Raka sudah menghadang Sinta.

​Rian melangkah cepat ke arah mereka, berdiri tepat di samping Sinta, seolah melindunginya. "Apa-apaan ini, Reno? Raka? Jangan ganggu Sinta!"

​"Justru lo yang ganggu, Rian!" balas Reno, emosinya memuncak. "Lo sengaja manfaatin musibah Sinta buat bawa dia ke rumah lo! Lo pikir kita bodoh?!"

​Raka menyambung, "Sinta, pulang sekarang sama kita! Kita nggak akan biarin lo sama dia!"

​Melihat Sinta yang terpojok dan tertekan, dan merasa Reno serta Raka telah mengancamnya, Rian tidak bisa menahan diri lagi. Ia harus mengakhiri semua keraguan dan tarik ulur ini.

​Rian menoleh ke arah Sinta, tatapannya tulus dan putus asa. Ia meraih kedua tangan Sinta, mengabaikan kehadiran Reno dan Raka.

​"Sinta... aku nggak bisa membiarkanmu pergi ke tempat yang nggak aman sendirian," ujar Rian dengan suara berat yang penuh kejujuran. "Aku mau kamu tetap tinggal di rumahku. Bukan sebagai karyawan yang sakit, tapi sebagai... seseorang yang aku cintai. Aku cinta kamu, Sinta. Aku tahu ini mendadak, tapi aku nggak bisa lagi menahannya. Aku nggak mau kamu diambil siapa pun, apalagi oleh dua orang ini. Tinggallah bersamaku."

​Sinta (Bram) terperangah. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena terharu, melainkan karena panik.

​Gue... gue ditembak? Oleh cowok? Astaga, Kenapa cobaan ini makin berat?! Tiga cowok berebut 'wanita' yang di dalamnya adalah pria sejati! Ini salah! Ini nggak boleh terjadi! Gue harus kabur dari mereka semua! gumam Sinta (Bram) di dalam hati, mencoba menarik tangannya dari genggaman Rian.

​Reno dan Raka sama terkejutnya. Ekspresi mereka berubah dari marah menjadi terluka dan benci yang membara.

​Beberapa puluh meter dari tempat kejadian yang dramatis itu, sebuah mobil mewah berwarna merah melaju perlahan. Di dalamnya, duduklah Clara, yang kebetulan melewati tempat itu.

​Tiba-tiba, ia melihat kerumunan. Clara menghentikan mobilnya dan mengerutkan dahi. Ia mengenali mobil Rian dan kedua anak muda itu. Dan di tengah mereka, sosok Sinta yang menjadi pusat perhatian.

​Saat Rian maju dan memegang tangan Sinta, dan kemudian kalimat "Aku cinta kamu, Sinta" terdengar jelas di jalanan yang sepi itu, dunia Clara seakan berhenti. Mata indahnya memancarkan kilatan es. Itu adalah tatapan yang sama persis yang selama ini ia harapkan Rian tunjukkan padanya. Tatapan penuh kepemilikan dan cinta. Dan itu diberikan pada Sinta, si wanita baru yang dianggapnya rival.

​"Cinta?!" desis Clara, tangannya mencengkeram erat setir mobil. Api cemburu yang selama ini hanya berupa bara kini meledak menjadi badai. "Dasar wanita licik! Dia benar-benar sudah merebut Rian!"

​Clara memaksakan mobilnya maju. Ia tahu, ia tidak bisa mengalahkan Sinta jika hanya bermain di belakang. Rian sudah jatuh terlalu dalam.

​Ia mengamati sebentar Rian dan Sinta, lalu mengalihkan pandangan ke dua pemuda yang berdiri kaku, Reno dan Raka. Ekspresi mereka jelas menunjukkan rasa sakit, pengkhianatan, dan amarah yang sama besarnya dengannya.

​Senyum licik mulai terukir di wajah Clara. Dia tahu, musuh dari musuhnya adalah temannya.

​Dua jam kemudian, Reno duduk sendirian di sebuah kafe pinggir jalan, wajahnya kusut dan dipenuhi frustrasi. Kata-kata Rian terus terngiang, menusuk harga dirinya. Raka sudah pulang dengan ancaman akan mencari kontrakan Sinta dan membawanya kabur.

​Tiba-tiba, sebuah bayangan jatuh di mejanya. Seorang wanita dengan pakaian elegan dan aura mahal berdiri di sana.

​"Reno, kan?" tanya wanita itu dengan suara tenang namun berwibawa.

​Reno mendongak, bingung. "Iya. Anda siapa?"

​Wanita itu tersenyum kecil, senyum yang tidak mencapai matanya. "Aku Clara. Teman lama Rian. Lebih tepatnya, orang yang tahu persis betapa berbahayanya wanita bernama Sinta itu bagi Rian... dan bagi orang-orang yang peduli pada Sinta."

​Clara menarik kursi dan duduk tanpa diundang. Ia mencondongkan tubuh ke depan, matanya menatap Reno tajam.

​"Aku melihat kejadian tadi. Aku melihat bagaimana Sinta menolakmu," kata Clara lugas. "Aku tahu kamu mencintai Sinta. Dan aku tahu, Rian adalah milikku. Tapi sekarang, Sinta berdiri di antara kita berdua. Dia menghancurkan kesempatan kita."

​Reno terdiam, terkejut. "Maksud Anda?"

​Clara tersenyum penuh perhitungan. "Sederhana. Aku ingin Sinta jauh dari Rian. Kamu ingin Sinta jauh dari Rian agar dia menjadi milikmu. Kita punya tujuan yang sama. Kita adalah tim yang sempurna, Reno. Kau adalah kunci di dalam lingkaran pertemanan Sinta, dan aku adalah kunci di dalam lingkaran profesional Rian."

​Clara meraih ponselnya dan meletakkannya di atas meja. "Aku punya rencana. Kita harus membuat Sinta menghilang dari kehidupan Rian. Dan kita harus membuat Sinta menyadari bahwa Rian bukanlah pria baik untuknya. Apakah kau mau... bekerja sama denganku?"

​Reno menatap Clara. Ia melihat ambisi dan kegelapan yang tulus di mata wanita itu. Dia tahu Clara berbahaya, tapi dia juga melihat peluang untuk memenangkan Sinta kembali. Rasa frustrasi dan cemburu yang menguasainya akhirnya mengalahkan akal sehatnya.

​Reno mengangguk perlahan. "Apa yang harus kita lakukan?"

​Senyum kemenangan merekah di wajah Clara. "Selamat datang di tim, Reno. Pertama, kita harus tahu, di mana kontrakan Sinta yang baru."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!