Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.
Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.
Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.
Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.
Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.
Dan dia adalah sosok itu...
Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pertemuan tak terduga
Beberapa Kilometer dari Markas Black Venom
Di sisi lain kota, raungan mesin menggila di jalanan. Asap knalpot bercampur dengan sorot lampu dan sirene polisi yang meraung dari arah belakang.
Di antara deretan motor yang melaju secepat peluru itu, the Untouchables — geng balap jalanan paling berani di Jakarta malam itu — sedang berusaha kabur dari kejaran polisi setelah balapan liar mereka di flyover Menteng terbongkar.
Kemenangan baru saja diraih oleh Valesya, sang racing queen yang terkenal dengan presisi tajam dan refleks dinginnya. Tapi malam ini, kemenangan itu tak sempat dirayakan. Suara sirene yang semakin dekat memecah euforia menjadi kepanikan yang nyata.
“Zea, kanan! Belok kanan sekarang!”
Suara Arcelyn terdengar di earpiece Zea, hampir tertelan oleh angin malam.
Zea menggertakkan gigi, memutar stang motornya tajam ke kanan. Ban belakang nyaris tergelincir di aspal licin, tapi ia berhasil menstabilkan laju motor.
Lampu jalan berkelebat cepat di visor helmnya. Di kaca pantul, cahaya biru-merah sirene terlihat semakin mendekat.
“Gila… mereka nggak berhenti-berhenti!” desisnya, menambah kecepatan.
Jantungnya berdetak kencang — bukan karena takut, tapi karena adrenalin yang menyala di seluruh tubuhnya.
Beberapa menit kemudian, jalanan mulai sepi. Zea menurunkan gas sedikit, matanya menyapu sekitar mencari tempat aman. Hingga pandangannya menangkap sebuah bangunan tua di ujung kawasan industri — gelap, kosong, dan tampak tak berpenghuni.
Tanpa pikir panjang, ia membelok ke arah gang sempit di samping bangunan itu. Suara mesin diredam perlahan sebelum akhirnya mati.
Ia turun, memarkir motornya di balik kontainer berkarat, lalu menarik napas panjang. Samar-samar masih terdengar raungan sirene dari kejauhan — tapi kini semuanya terasa jauh.
Ia membuka helmnya. Rambutnya terurai, sedikit berantakan, wajahnya masih memerah karena kecepatan barusan. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan napas.
Tiba-tiba, suara lembut seperti meongan kecil terdengar dari balik tumpukan kayu. Zea menoleh. Seekor kucing hitam keluar perlahan; bulunya kusut, matanya kuning pucat, menatap waspada tapi penasaran.
Senyum kecil muncul di bibir Zea.
“Hei… kamu juga nyasar malam-malam begini, ya?” bisiknya pelan.
Ia berjongkok, mengulurkan tangan. Kucing itu sempat ragu, tapi perlahan mendekat. Saat jemarinya menyentuh kepala kecil itu, Zea tertawa lirih.
“Tenang aja, aku nggak bahaya kok…”
Angin malam berhembus lembut, menggerakkan helaian rambutnya yang jatuh ke wajah. Di bawah cahaya lampu jalan yang samar menembus celah dinding retak, sosok Zea terlihat tenang — seolah semua kebisingan barusan lenyap bersama detik waktu.
Namun tanpa ia sadari, kehadirannya di sana tak luput dari pengawasan.
Dari lantai dua bangunan yang tampak kosong itu, di balik jendela berdebu dengan tirai setengah tertutup, sepasang mata tajam menatapnya — mata yang gelap, dingin, penuh perhitungan.
Agler.
Ia berdiri di balik bayangan ruang pribadi nya. Jendela terbuka sedikit, cukup untuk memandangi gadis yang kini berjongkok di halaman belakang markasnya — gadis dengan jaket kulit hitam dan motor sport putih yang baru saja berhenti di area miliknya.
Asap rokok mengepul dari jarinya, naik perlahan ke udara. Tatapan itu tak berpaling, bahkan ketika Zea tertawa kecil sambil mengelus kucing hitam itu.
Senyum samar muncul di sudut bibir Agler.
“Senyum itu… masih sama,” gumamnya lirih.
Asap terakhir melayang keluar dari bibirnya, menyatu dengan kabut malam yang menggantung di luar.
Beberapa menit kemudian...
Suara gesekan sepatu di atas kerikil membuat Zea spontan menoleh.
Ia menajamkan pandangan, menyapu sekeliling. Hanya ada bayangan dinding dan cahaya lampu jalan yang menembus sela atap karat. Tapi tak lama, dari balik gelap, muncul sosok tinggi dengan jaket kulit hitam dan rokok yang menyala di jarinya.
Agler.
Ia berdiri tak jauh di belakang Zea, bersandar santai pada kontainer besi. Kepulan asap rokok mengambang di udara malam. Tatapannya tenang — terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menemukan orang asing di area miliknya.
Zea refleks berdiri. Degupan jantungnya masih cepat karena terkejut, tapi wajahnya cepat berubah, dari kaget menjadi datar, dingin, penuh siaga.
“Ka Agler, kok lo di sini?” tanyanya cepat, nada suaranya tajam. “Lo nguntitin gue, ya?”
Agler mengembuskan asap pelan, menoleh sekilas dengan pandangan malas.
“Lo pikir gue segabut itu nguntitin cewek aneh kayak lo?”
Zea memicingkan mata.
“Maksud lo apa?”
“Apa?” Agler menurunkan rokoknya, senyum tipis muncul di ujung bibirnya. “Bener kan lo cewek aneh. Kalau nggak aneh, ngapain lo senyum-senyum sendiri di tempat gelap kayak gini?”
Ia berhenti sejenak, menatap Zea dengan sorot lebih tajam.
“Atau… lo penyusup yang lagi ngintai markas gue?”
“Markas?” Zea mengulang, nada suaranya ragu.
“Ya,” jawab Agler santai, meski matanya tetap awas. “Ini wilayah gue.”
Zea terdiam sesaat. Kata-kata itu menggantung di udara. Baru kali itu potongan ingatan tentang sosok Agler — siswa misterius di sekolahnya, berwajah dingin dan tatapan yang membuat orang lain menyingkir — perlahan menyatu dalam pikirannya.
Jadi… Bener dia bagian dari geng? Bahkan punya markas sendiri?
Zea menatap Agler lebih lama. Ada heran di sana, juga sesuatu yang sulit dijelaskan — antara takut, kagum, dan rasa tak percaya.
Suara langkah lain memecah keheningan.
Dari arah belakang, dua sosok muncul — Arvin dan Elvatir. Mereka berhenti seketika ketika melihat pemandangan di depan, seorang gadis berdiri di belakang markas, tepat di depan Agler.
“Loh… Zea? Kok lo di sini?” tanya Arvin heran.
Zea mengangguk singkat tanpa berniat menjawab.
Elvatir menatapnya lebih lama. Raut wajahnya sempat menegang, tapi cepat ia tutupi dengan ekspresi datar. Tatapan singkat mereka bertemu — dan cukup untuk membuat keduanya saling paham.
Rahasia. Mereka tidak boleh terlihat memiliki hubungan apa pun di luar.
Elvatir memberi tatapan dingin yang sarat peringatan.
Pergi. Sekarang.
Zea menelan ludah, lalu menjawab dengan nada sekadar.
“Gue cuma… butuh tempat ngumpet sebentar. Polisi lagi patroli di luar.”
Arvin mengangkat alis, penasaran.
“Ngumpet? Tengah malam begini? Tapi kok bisa dikejar polisi? Lo abis ngelakuin apa?”
Zea hendak menjawab, tapi langkah cepat dari arah depan memotongnya.
Salah satu anggota Black Venom, Reno, muncul dengan napas terengah dan wajah tegang.
“Bos!” serunya pada Agler. “Ada yang ngirimin kita paket lagi.”
Agler langsung menegakkan tubuh. Rahangnya mengeras.
“Paket?” tanyanya cepat. “Dari siapa?”
“Nggak tahu, tapi… capnya sama kayak sebelumnya.”
Tatapan Agler langsung berubah gelap. Ia menjatuhkan rokoknya ke tanah, menginjaknya pelan, lalu berjalan melewati Zea tanpa sepatah kata pun. Udara di sekitarnya terasa berubah — berat, dingin, menekan.
Elvatir menatap Zea singkat, kali ini dengan nada perintah halus.
“Zea,” bisiknya cepat dan tegas, “pulang. Sekarang.”
Zea terdiam sejenak, matanya mengikuti punggung Agler yang menjauh menuju sisi depan markas. Entah kenapa, langkah dingin itu menyisakan rasa penasaran aneh di dadanya.
Sementara itu, Arvin sudah menyusul Agler ke arah depan markas.
“Lo sendiri nggak pulang?” seru Zea, menoleh sekilas pada Elvatir. “Ingat, sekarang lo punya tanggung jawab!”
Setelah itu, Zea melangkah cepat ke arah motornya. Ia mengenakan helm, menyalakan mesin, dan dalam sekejap, suara motornya meraung memecah sunyi malam — melesat menjauh dari sana.
...****************...
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
sosok misterius itu???
lanjut thor
love u sekebon buat para readers ku🫶🫶