NovelToon NovelToon
Ketika Dunia Kita Berbeda

Ketika Dunia Kita Berbeda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:700
Nilai: 5
Nama Author: nangka123

Pertemuan Andre dan fanda terjadi tanpa di rencanakan,dia hati yang berbeda dunia perlahan saling mendekat.tapi semakin dekat, semakin banyak hal yang harus mereka hadapi.perbedaan, restu orang tua,dan rasa takut kehilangan.mampukah Andre dan fanda melewati ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nangka123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 25: Kembali ke kampung

Di tempat lain Fanda dan Andre berjalan berdampingan menuju parkiran. Wajah Fanda masih tampak letih. Ia menoleh pada Andre yang sedang membuka pintu mobil.

“Mas…” bisik Fanda pelan.

Andre menoleh, senyumnya tipis.

“Hm?”

“Aku pengen… kita pergi jalan-jalan. Tinggalkan sebentar hari-hari soal kantor, sidang, dan semua itu.” Fanda menggigit bibir.

“Aku capek, Mas. Aku butuh tempat yang tenang.”

Andre terdiam sejenak, lalu menutup pintu mobil yang baru saja dibukanya. Tatapannya menelusuri wajah Fanda dengan penuh pengertian.

“Kalau begitu, kita pulang ke kampungku saja, Sayang. Di sana tenang, nggak ada kamera, nggak ada gosip. Cuma sawah, suara jangkrik, dan udara bersih.”

Mata Fanda sedikit melebar.

“Ke kampung Mas?”

“Iya.” Andre menjawab mantap.

“Sudah lama juga aku nggak nengok Ibu. Kamu juga perlu suasana baru, kan? Bagaimana kalau kita berangkat besok pagi saja?”

Fanda menunduk, lalu tersenyum kecil. “Aku mau. Aku pengen kenal tempat tinggal Mas.”

Keesokan harinya, setelah menyiapkan barang mereka berangkat ke kampung halaman Andre. Perjalanan cukup panjang,dua jam naik pesawat, lalu sekitar lima jam berkendara dari bandara.

Fanda, yang sempat tertidur kini bangun. Setelah perjalanan yang cukup panjang akhirnya mereka Hampir tiba, hamparan sawah dan desa-desa kecil terlihat lewat jendela mobil.

Fanda bersandar di kursi, sesekali menatap pemandangan di luar.

“Udara di sini beda banget, ya,” katanya sambil tersenyum.

“Segar. Bukan kayak Jakarta yang bikin sesak,”

Andre terkekeh.

“Makanya aku betah tinggal di kampung dulu. Tapi demi mencari pekerjaan, aku harus pindah ke kota.”

Fanda menatap wajah Andre.

“Aku bisa bayangkan Mas kecil lari-larian di sawah, naik pohon kelapa, pulang baju penuh lumpur.”

Andre tertawa lepas.

“Kamu pikir aku nakal, ya?” goda Andre.

“Bukan pikir, tapi yakin!” Fanda ikut tertawa. Mata mereka berbinar untuk pertama kali setelah sekian lama.

Andre menepuk tangan Fanda yang ada di pangkuannya.

“Aku senang lihat kamu bisa ketawa lagi.”

Fanda menggenggam tangan Andre balik.

Matahari mulai terbenam ketika mobil memasuki jalan kecil yang diapit hamparan padi hijau. Rumah-rumah sederhana berdiri berjajar,sebagian besar berdinding kayu.

“Mas… ini kampungmu?” tanya Fanda takjub.

“Iya. Itu rumahku,” jawab Andre sambil menunjuk sebuah rumah joglo sederhana di ujung jalan.

Di depan rumah, seorang wanita paruh baya berjilbab dan gadis remaja yang memakai jilbab hitam sedang duduk di teras rumah. Begitu melihat mobil berhenti, mereka bergegas menghampiri.

“Andre…!” suaranya bergetar penuh rindu.

“Ibu…” Andre turun dan memeluk erat wanita itu. Fanda ikut turun, dan memeluk adik iparnya juga.

“Assalamu’alaikum, Bu.” Ibu Andre menoleh, senyum hangat di wajahnya.

“Waalaikumsalam nak Fanda,” jawab ibunya

Fanda mengangguk, wajahnya memerah. “maaf baru bisa main ke sini.”

Ibu Andre meraih tangan Fanda, menggenggamnya.

“Alhamdulillah. Masuklah Nak, anggap rumah sendiri.”

Malam itu mereka makan bersama di ruang tengah. Hidangan sederhana, sayur asem, tempe goreng, sambal terasi, terasa begitu nikmat.

“Nak Fanda, coba sambalnya,” ajak Ibunya Andre sambil menyodorkan piring.

“Kak fanda bisa makan pedas” Tanya rani

Fanda tersenyum canggung.

“Iya, Saya suka pedas kok Rani.”

Andre tertawa kecil.

“Hati-hati, sambal buatan Ibu bisa bikin orang menyerah.”

Ibu Andre tersenyum melihat mereka berdua.

“Kalian cocok sekali. Ibu senang.”

Selesai makan, mereka duduk di teras. Suara jangkrik memenuhi udara, angin malam membawa aroma tanah basah. Fanda bersandar di bahu Andre, menatap langit penuh bintang.

“Mas… aku nggak pernah lihat bintang sebanyak ini di kota,” katanya pelan.

Andre ikut menatap langit. “Dulu tiap malam aku duduk di sini, menghitung bintang sambil bertanya kapan bisa keluar dari kampung. Tapi sekarang…” ia menoleh ke Fanda, menatapnya lembut. “Aku bersyukur bisa kembali, apalagi bersama kamu.”

Fanda menunduk malu.

“Aku takut, Mas. Sidang masih panjang. Zul pasti nggak tinggal diam. Tapi kalau aku sama Mas… rasanya aku bisa hadapi semua.”

Andre menggenggam tangan Fanda erat. “Kita hadapi bersama. Di sini, kamu aman. Selama aku masih ada, tak ada yang bisa menyakitimu.”

Fanda tersenyum kecil.

“Aku percaya mas.”

Malam itu, di bawah langit penuh bintang, Fanda merasa lebih tenang dari sebelumnya. Untuk sementara, semua luka dan ketakutan seolah tertinggal jauh di kota.

Keesokan paginya cahaya matahari menembus tirai kamar. Fanda terbangun terlebih dulu, menatap langit-langit kayu berukir sederhana. Suara ayam berkokok dan aroma tanah basah menyambut pagi.

Ia melihat Andre masih tertidur, wajahnya lelah tapi tenang. Senyum tipis terbentuk di bibir Fanda. Andai hidup bisa selalu sesederhana ini, pikirnya.

Pelan-pelan Fanda bangkit dan menuju dapur. Ibu raya atau mertuanya itu sedang menyiapkan sarapan, aroma nasi goreng kampung tercium ke seluruh rumah.

“Selamat pagi Bu, Rani kemana yah Bu?.

Ibu raya menoleh, sambil tersenyum.

“Pagi, Nak Fanda. Rani sudah berangkat ke sekolah, Andre belum bangun yah?” tanya mertuanya

“Belum bu”

“Ohh..Biasanya Andre kalau di kampung malas bangun pagi.”

Fanda tertawa kecil.

“Oh gitu ya, Bu? Makanya tadi dia masih nyenyak tidurnya.”

Dari belakang, suara Andre terdengar.

“Eits, jangan kalian kompak ngejek aku dong.”

Fanda menoleh, pura-pura polos.

“Lho, siapa yang ngejek?”

Ibu Andre tertawa sambil mengaduk wajan. “Andre mirip sekali sama bapaknya dulu.”

Fanda menunduk sebentar.

“Ibu… makasih sudah menerima saya dengan baik.”

Ibu raya menatap Fanda lembut.

“Nak, kalau Andre sudah memilih kamu, berarti kamu memang orang baik. Ibu cuma minta satu, jaga dia, dan biarkan dia juga menjaga kamu. Hidup nggak selalu mudah, tapi kalau saling percaya, insya Allah bisa dilalui.”

Mata Fanda berkaca-kaca.

“Iya, Bu… saya janji.”

Suasana hangat itu pecah ketika suara motor berhenti di depan rumah. Andre bergegas ke teras. Seorang pemuda desa turun dari motor, wajahnya cemas.

“Andre, aku barusan dari warung. Ada orang kota nanya-nanya kamu. Katanya mereka cari Andre dan pasangannya… mereka bawa mobil hitam.”

Fanda yang baru keluar bersama Ibu langsung terpaku. Jantungnya berdegup kencang.

“Mas…” bisiknya, nyaris tak terdengar.

Andre mengepalkan tangan, berusaha tenang.

“Tenang, Fand. Aku nggak akan biarkan siapa pun ganggu kamu di sini.”

Ibu Andre menatap keduanya cemas. “Andre… apa ini ada hubungannya sama urusanmu di kota?”

Andre menarik napas panjang, menatap ibunya penuh hormat.

“Mungkin saja Bu...”

1
Nurqaireen Zayani
Menarik perhatian.
nangka123: trimakasih 🙏
total 1 replies
pine
Jangan berhenti menulis, thor! Suka banget sama style kamu!
nangka123: siap kak🙏
total 1 replies
Rena Ryuuguu
Ceritanya sangat menghibur, thor. Ayo terus berkarya!
nangka123: siap kakk,,🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!