Tharion, sebuah benua besar yang memiliki berbagai macam ekosistem yang dipisahkan menjadi 4 region besar.
Heartstone, Duskrealm, Iron coast, dan Sunspire.
4 region ini masing masing dipimpin oleh keluarga- yang berpengaruh dalam pembentukan pemerintahan di Tharion.
Akankah 4 region ini tetap hidup berdampingan dalam harmoni atau malah akan berakhir dalam pertempuran berdarah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryan Dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Act 3 - Antara kewajiban dan dendam
Tiga hari sudah berlalu sejak serangan itu.
Kami menang… tapi kemenangan ini tak meninggalkan apa-apa selain luka.
Tembok kami runtuh, semangat kami retak, dan waktu tak memberi ruang untuk bernapas.
Para pekerja berjuang siang dan malam memperbaiki dinding pertama, tapi dari skala kerusakan yang kulihat, mereka takkan selesai sebelum serangan berikutnya datang.
Itu berarti aku harus menempatkan pasukan di luar tembok, menahan gelombang musuh dengan tubuh mereka sendiri.
Dan itu berarti… akan ada lebih banyak korban.
Aku duduk diam di dalam tendaku, di antara tumpukan laporan dan peta yang ternoda darah kering. Api di pelita kecil di sudut meja bergetar, seperti mencerminkan pikiranku yang tak tenang.
Suara langkah berat terdengar dari luar.
> “Anda memanggilku, Komandan?”
Erick masuk dan memberi hormat.
Aku mengangkat kepalaku perlahan.
> “Seorang knight penjaga gerbang menemukan surat ini di pantai. Katanya, seorang pria bertudung menitipkannya… untukmu.”
Aku meletakkan surat itu di atas meja. “Dia bilang orang itu mengaku masih keluargamu.”
Erick menatapku, sedikit kaget. Aku tersenyum tipis, menenangkan.
> “Tenang saja. Aku tak membuka isinya. Surat itu hanya untukmu—bukan untuk komandannya.”
Erick menerima surat itu dengan hormat, lalu menunduk dan pergi tanpa sepatah kata.
Begitu ia keluar, hening kembali menguasai tenda. Tapi ketenangan itu hanya bertahan sejenak. Seorang knight lain berlari masuk.
> “Komandan! Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda.”
> “Siapa dia?”
> “Ia… menyebut dirinya Lord dari Morwyne.”
Darahku seolah berhenti mengalir.
> “Suruh dia masuk.”
Knight itu menunduk, lalu keluar. Suara langkah yang menyusul kemudian jauh lebih ringan, tapi setiap langkahnya terasa berat… seperti membawa badai dari masa lalu.
Dan benar saja—seseorang muncul di ambang pintu tenda.
Rambut merah menyala menyentuh pundaknya, matanya hijau terang seperti batu giok, dan jubah hijaunya berkilau di antara debu abu perang. Di belakangnya, seorang wanita bergaun hijau mengikuti dengan langkah tenang.
Aku terdiam sejenak, lalu berbisik lirih,
> “Lord Draco Morwyne.”
Ia membungkuk singkat. Aku tak membalasnya. Tatapanku tetap tajam, penuh kecurigaan.
> “Sir Torren,” katanya pelan.
“Aku datang bukan sebagai musuh.”
> “Kau datang ke garis depan di tengah perang,” ucapku dingin. “Untuk apa?”
Ia menunduk, seolah menyusun kata dengan hati-hati.
> “Aku… menyesal atas kematian Lord Victor.”
Seketika darahku mendidih.
> “Menyesal?” suaraku meninggi. “Bukankah kau sendiri yang membunuhnya?”
Diam.
Ia menutup mata sejenak, menarik napas panjang, lalu berbicara pelan seperti seseorang yang tengah menimbang antara kebenaran dan kebohongan.
> “Aku terpaksa. Ia dan lima bawahannya menyerang putraku… dan tiga pengawalnya. Keponakanku ini,” ia menoleh ke arah wanita di belakangnya, “satu-satunya yang selamat.”
Aku mengepalkan tangan di atas meja.
> “Menyerang? Victor? Kau pikir aku akan percaya cerita itu?”
> “Percaya atau tidak, itu tak mengubah kenyataan.”
“Kami tengah dalam perjalanan ke Frostmarch, hendak membeli sebuah artifak kuno di kota besar. Tapi sebelum tiba, kami mendengar kabar tentang kota mati di wilayah sekitarnya. Putraku memohon untuk melihatnya. Aku tak menolak.”
Ia menatapku lurus, sorotnya dingin tapi berduka.
> “Di sanalah mereka diserang. Putraku tewas. Aku hanya membalas dendam.”
Aku memejamkan mata, berusaha menahan amarah.
> “Apa itu juga yang kau ucapkan di hadapan para hakim? Cerita yang telah kau siapkan?”
Draco menatapku lama. Senyumnya memudar.
Udara dalam tenda berubah dingin. Lilin di atas meja bergetar dan nyaris padam.
> “Aku datang bukan untuk berdebat. Hanya untuk menyampaikan belasungkawa… dan peringatan.”
> “Peringatan?”
Aku berdiri, menatapnya tajam. “Bicaralah jelas, Morwyne.”
> “Lord Varic Draemir telah kembali ke Frostmarch. Ia telah menyatakan perang terhadap seluruh Duskrealm.”
Ia melangkah mendekat, menatapku dari dekat. “Aku memintamu… jangan ikut campur.”
Aku menahan pandangannya tanpa gentar.
> “Jangan ajarkan aku soal kehormatan, Morwyne. Aku bukan ksatriamu.”
Wanita di belakangnya hendak bicara, tapi Draco menahan dengan isyarat tangan.
Tatapannya berubah gelap—dingin seperti malam di utara.
> “Anggap saja kunjungan ini sebagai bentuk hormat terakhir… pada almarhum Lord Victor.”
Ia berbalik hendak pergi, tapi berhenti di depan pintu tenda. Dari balik jubahnya, ia mengeluarkan secarik perkamen, menyerahkannya padaku.
> “Ini daftar nama lima knight yang membunuh putraku. Jika kau menemui mereka, kirimkan kabar padaku.”
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi. Wanita bergaun hijau itu mengikutinya tanpa suara.
Aku mengejarnya keluar tenda, menatap punggung mereka yang menjauh menuju gerbang pantai. Angin laut meniup rambut merahnya, membuat sosok itu terlihat bagai bayangan dari masa lalu yang enggan hilang.
Perlahan, aku menatap perkamen di tanganku.
Kertasnya kusam, tinta hitamnya masih basah.
Satu per satu, kubaca nama yang terukir di sana:
Zein Fenris.
Galland Zarimeth.
Celeste Veynar.
Sandel.
James.
Nama-nama itu seperti luka lama yang disayat ulang.
Jari-jariku bergetar, tinjuku mengepal sampai buku-buku jariku memutih.
> “Silver Sentinel,” aku berbisik, suara serak menahan amarah.
“Tidak menyimpan dendam…”
Namun di dalam dadaku, api itu belum padam.
---
Pov Erick.
Aku keluar dari tenda setelah menerima surat dari Komandan Torren. Udara dingin masih terasa menusuk tulang, dan aroma asin laut bercampur dengan bau darah yang belum sepenuhnya hilang dari tanah ini.
Aku berjalan pelan menuju pos penjagaan, berusaha menenangkan pikiran setelah perbincangan barusan. Namun langkahku terhenti ketika melihat dari kejauhan—
sosok berbalut jubah hijau melangkah melewati gerbang utama.
Rambut merah. Mata hijau.
Tidak mungkin aku salah mengenali orang itu.
> “Draco…?” bisikku.
“Apa yang dia lakukan di sini…?”
Aku terus berjalan menuju pos sambil menatap sosok itu yang kini disambut oleh para penjaga. Seorang wanita bergaun hijau mengikuti di belakangnya—anggun, tapi aura mereka berdua… bukan aura tamu biasa.
Begitu sampai di pos, aku membuka surat yang diberikan Komandan.
Tulisannya rapi, tapi cepat, seolah ditulis dalam pelarian.
> “Jika kau membuka surat ini, pastikan tak ada seorang pun di sekitarmu.”
Refleks, aku menoleh ke sekeliling. Tak ada siapa-siapa. Hanya deburan ombak dan nyala obor yang redup.
Aku lanjut membaca.
> “Hey Erick, aku membutuhkan bantuanmu. Temui aku dua hari lagi di hutan luar pantai, sendirian. Aku akan menunggumu.
Tertanda, J.”
Aku terdiam.
> “J...? James?”
Tanganku bergetar ringan. Cepat-cepat kulipat kertas itu dan kuselipkan ke dalam saku dalam pelindung kulitku.
> “James… apa yang sedang kau lakukan?” gumamku lirih.
Tak lama kemudian, suara terompet memecah kesunyian. Semua pasukan dipanggil ke distrik tengah. Aku segera berlari bergabung dengan barisan Silver Sentinel lainnya.
Suasana tegang. Semua mata mengarah ke depan ketika Komandan Torren naik ke atas panggung kayu sementara.
> “Perhatian!” serunya. Suaranya keras dan tegas, bergema di antara tembok setengah roboh.
“Hari ini aku mengumumkan daftar buronan yang diduga bersembunyi di Iron Coast.”
Bisik-bisik mulai terdengar di barisan belakang. Aku tetap diam, dada terasa berat.
> “Zein Fenris—pria tinggi besar, rambut putih berkilau, mata coklat terang.”
“Galland Zarimeth—rambut coklat, mata seragam warnanya.”
“Sandel—penduduk asli Iron Coast, bertubuh bugar, rambut hitam pendek, mata abu-abu. Aku sudah kirim orang untuk mencari jejaknya.”
“Celeste Veynar—satu-satunya wanita dalam daftar. Rambut pirang terang, mata biru menyala.”
Aku mulai gelisah. Ada perasaan aneh di dada.
Dan lalu…
> “Dan terakhir… James.”
Aku terpaku. Nafasku tercekat. Dunia di sekitarku terasa hening seketika.
> “James…” gumamku tak percaya.
> “Dia memiliki rambut kuning keemasan, mata biru menyala. Menurut rumor, ia berasal dari Heartstone, dekat sungai terpanjang di Tharion.”
Tubuhku membeku. Setiap kata yang keluar dari mulut Komandan terasa seperti anak panah yang menancap di dadaku.
Aku menatap sketsa yang dibagikan.
Dan benar saja…
Itu dia. Tak salah lagi.
> “James… apa yang telah kau lakukan?”
Aku menunduk dalam, mencoba menyembunyikan keterkejutanku. Tapi di dalam kepala, pikiran berputar cepat antara tanggung jawabku sebagai knight dan kesetiaanku pada sahabat lama.
Komandan menutup pengumumannya dengan suara bulat:
> “Jika ada di antara kalian yang melihat mereka, segera laporkan padaku.
Siapa pun yang terbukti menyembunyikan mereka—akan dihukum berat!”
Udara seolah membeku bersama suaranya.
> “Sekarang, kembali ke pos masing-masing!”
Pasukan bubar. Tapi aku masih berdiri di tempatku. Surat di sakuku terasa semakin berat.
Dan untuk pertama kalinya sejak perang dimulai, aku tak tahu harus berpihak pada siapa.
---
Karena kebnyakan novel pke bantuan ai itu bnyak yg pke tanda itu akhir2 ini.
Tapi aku coba positif thinking aja