Meira, gadis muda dari keluarga berantakan, hanya punya satu pelarian dalam hidupnya yaitu Kevin, vokalis tampan berdarah Italia yang digilai jutaan penggemar. Hidup Meira berantakan, kamarnya penuh foto Kevin, pikirannya hanya dipenuhi fantasi.
Ketika Kevin memutuskan me:ninggalkan panggung demi masa depan di Inggris, obsesi Meira berubah menjadi kegilaan. Rasa cinta yang fana menjelma menjadi rencana kelam. Kevin harus tetap miliknya, dengan cara apa pun.
Tapi obsesi selalu menuntut harga yang mahal.
Dan harga itu bisa jadi adalah... nyawa.
Ig: deemar38
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OT 27
Anton bersandar di kursi, menatap satu per satu wajah mereka. “Pengujiannya sebenarnya gampang. Chris sudah bersedia untuk tes urine. Nah, sekarang giliran kalian berdua Riku, Eren. Bagaimana?”
Riku langsung mengangguk mantap. “Aku siap. Nggak ada alasan buat nolak.”
Eren sempat terdiam sebentar, lalu ikut mengangguk. “Aku juga. Biar cepat jelas, ya sudah, tes aja.”
Anton menghela napas lega. “Bagus. Kalau begitu, kalian bertiga sudah siap diuji, berarti beban ini agak ringan. Yang jadi masalah tinggal dua orang lagi.”
Ruangan seketika hening. Mereka semua tahu siapa yang dimaksud: Kevin dan Kenji.
“Kevin... aku yakin dia nggak mungkin,” ujar Riku lirih.
“Tapi Kenji?” Chris menyipitkan mata, nadanya dingin. “Udah beberapa hari kemarin tingkahnya aneh. Bisa jadi.”
Anton mengangkat tangan, memotong. “Aku nggak mau ada tuduhan tanpa bukti. Kita tunggu sampai semua kumpul. Yang jelas, kalau kalian bertiga sudah berani dites, aku akan paksa yang lain juga. Nggak ada pilihan.”
Keheningan kembali menyelimuti studio. Tegang, seperti menunggu ledakan yang belum jelas kapan terjadi.
Siang itu, Anton bersama Chris, Riku, dan Eren berangkat diam-diam ke sebuah laboratorium kesehatan swasta yang cukup jauh dari pusat kota. Bukan lab besar yang biasanya dipenuhi karyawan kantor untuk medical check-up, melainkan laboratorium yang melayani tes individu dengan lebih tenang dan privat.
Begitu tiba di resepsionis, Anton yang maju lebih dulu. Dengan suara rendah ia berkata,
“Kami mau tes NAPZA, untuk keperluan pribadi. Tolong hasilnya jangan dicatat untuk instansi manapun.”
Petugas lab hanya mengangguk sudah paham, karena permintaan semacam itu bukan hal baru. Mereka ditawarkan paket “Tes Narkotika 6 Parameter” pemeriksaan.
Anton langsung setuju. Petugas menjelaskan prosedurnya masing-masing diberi wadah plastik steril untuk menampung urine, lalu diarahkan ke ruang kecil berderet seperti toilet umum tapi lebih terkontrol.
Chris yang paling tenang masuk lebih dulu, diikuti Riku dan Eren. Anton menunggu di luar sambil mondar-mandir, memastikan tidak ada orang yang mengenali mereka. Ia bahkan sempat menutupi wajah dengan masker dan topi lebih rapat.
Sekitar 20 menit kemudian, sampel mereka sudah masuk ke mesin pemeriksaan cepat. Petugas bilang hasil screening awal bisa keluar maksimal satu jam, dan akan dicetak dalam bentuk lembaran hasil laboratorium resmi dengan tanda tangan dokter penanggung jawab.
Anton menegaskan lagi,
“Tolong, hasilnya cukup kami yang ambil langsung. Jangan ada yang dikirim atau dihubungi lewat telepon.”
Petugas mengangguk, mencatat khusus di berkas permintaan mereka: " Private Request."
Sekitar empat puluh lima menit kemudian, seorang petugas lab keluar membawa map bening berisi lembar hasil pemeriksaan. Anton langsung berdiri, jantungnya berdebar keras. Chris, Riku, dan Eren menatap dengan wajah tegang meski mereka yakin tak ada yang aneh dengan diri mereka, tetap saja menunggu hasil semacam ini membuat perut mual.
Petugas menyerahkan map itu sambil berkata singkat,
“Semua hasil negatif, Pak.”
Anton buru-buru membuka lembaran itu. Tertera jelas keenam tes itu negatif.
Anton menghela napas panjang. “Syukurlah...” gumamnya pelan.
Chris menepuk pundak Riku, sementara Eren hanya bersandar ke kursi dengan wajah lega. Mereka bertiga jelas tak punya apa-apa yang disembunyikan.
Namun, Anton tidak benar-benar tenang. Hasil negatif ini justru mempersempit lingkaran kecurigaan. Masih ada dua orang yang belum dites Kevin dan Kenji.
Begitu keluar dari lobi klinik, Anton menggenggam map hasil tes erat-erat. Udara siang terasa panas, tapi keringat yang menetes di pelipisnya lebih karena ketegangan daripada cuaca.
Mereka bertiga berjalan cepat menuju mobil. Chris yang paling dulu membuka pintu belakang, lalu disusul Riku dan Eren. Anton sempat berhenti sejenak sebelum masuk ke kursi pengemudi. Ia menoleh ke arah mereka dengan wajah serius.
“Dengerin baik-baik,” katanya pelan. “Soal hasil ini jangan ada satu pun dari kalian yang ngomong ke Kevin atau Kenji. Biar aku aja yang urus. Ngerti?”
Chris mengangguk mantap. “Iya, Ton. Mulut gue dikunci.”
Riku ikut mengangkat tangan, “Aku juga nggak akan buka suara.”
Eren, dengan nada lebih santai menambahkan, “Sama. Gue ngerti situasinya.”
Mobil itu melaju meninggalkan klinik, membawa rahasia yang hanya mereka berempat tau.
Chris melirik dari samping. “Ton, lo kok masih keliatan kepikiran? Bukannya hasilnya udah jelas?”
Anton menekan bibirnya, lalu menggeleng pelan. “Justru itu. Gue makin yakin, orang yang harus kita curigai sekarang... Kenji.”
Riku yang duduk di belakang langsung mengangkat kepala. “Aku juga ngerasa gitu. Sikap dia belakangan tuh... beda banget. Cepat marah, gampang tersulut. Kayak bukan Kenji yang biasanya.”
Eren menimpali dengan nada setuju. “Iya, dari dulu gue udah agak risih sama cara dia liatin Kevin. Ada iri yang nggak pernah dia tunjukin terang-terangan. Tapi sekarang... makin keliatan jelas.”
Anton menatap jalanan di depan, kedua tangannya menggenggam erat setir. “Dan kalau dugaan gue bener, berarti ini serius. Kita nggak cuma ngadepin masalah internal grup... tapi juga sesuatu yang bisa nyeret nama SilverDawn ke jurang.”
Anton akhirnya menambahkan, “Kita semua harus siap. Gue akan cari waktu buat bicara langsung sama Kenji. Tapi sekali lagi, inget... hasil tes ini rahasia. Kalau bocor sebelum waktunya, habis kita semua.”
Ketiganya mengangguk kompak.
Di dalam mobil, Anton membuka ponselnya lalu menekan nomor Kevin. Suara dering terdengar beberapa kali sebelum akhirnya Kevin menjawab.
“Halo, Ton.”
“Kev, masih rame wartawan di depan rumah lo?” tanya Anton langsung.
Kevin melongok dari balik tirai kamarnya. “Udah nggak segila tadi. Tinggal satu atau dua orang aja yang masih nunggu. Kenapa emangnya?”
Anton menghela napas, suaranya terdengar tegas tapi hati-hati. “Gue mesti jujur sama lo. Barusan di studio, Riku nemuin sesuatu... serbuk aneh di toilet. Gue udah tes Chris, Riku, sama Eren di lab swasta. Hasilnya semua negatif. Jadi sekarang, tinggal lo sama Kenji yang belum.”
Kevin terdiam sejenak. Dahi berkerut, ia mengusap pelipisnya. “So, lo mau aku juga ikut tes?"