"Dalam dunia yang telah dikuasai oleh iblis, satu-satunya makhluk yang tersisa untuk melawan kegelapan… adalah seorang yang tidak bisa mati."
Bell Grezros adalah mantan pangeran kerajaan Evenard yang kini hanya tinggal mayat hidup berjalan—kutukan dari perang besar yang membinasakan bangsanya. Direnggut dari kematian yang layak dan diikat dalam tubuh undead abadi, Bell kini menjadi makhluk yang dibenci manusia dan diburu para pahlawan.
Namun Bell tidak ingin kekuasaan, tidak ingin balas dendam. Ia hanya menginginkan satu hal: mati dengan tenang.
Untuk itu, ia harus menemukan Tujuh Artefak Archelion, peninggalan kuno para dewa cahaya yang dikabarkan mampu memutuskan kutukan terkelam. Dalam perjalanannya ia menjelajah dunia yang telah berubah menjadi reruntuhan, menghadapi para Archfiend, bertemu makhluk-makhluk terkutuk, dan menghadapi kebenaran pahit tentang asal usul kekuatannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Apin Zen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Roh Antara Dua Cahaya
Langkah Bell terhenti beberapa meter sebelum gerbang hitam itu. Tingginya menjulang, seolah menusuk langit kelabu. Permukaannya dipenuhi ukiran yang tampak bergerak pelan, membentuk pola aneh yang berubah setiap Bell mencoba menghafalnya.
Dari balik gerbang, terdengar suara nyanyian—lirih, namun terasa langsung menembus hati. Nada-nadanya melayang di udara seperti kabut, mengikat pikiran dan menariknya ke dalam bayangan.
> “Jiwa yang tak beristirahat…
Terkurung di lingkaran takdir…
Langkahmu menuntun ke pintu
Yang hanya dapat dibuka oleh darah dan kehilangan…”
Bell merasakan sesuatu berdesir di tengkuknya. Suara itu bukan hanya nyanyian—ia membawa emosi yang begitu nyata: kesedihan yang tak terbendung, kerinduan yang tak berbalas, dan amarah yang mendidih di bawahnya.
Lythienne melangkah mendekat, namun wajahnya tegang. “Itu… bukan suara manusia.”
Bell mengangguk. “Penjaga gerbang. Nyanyiannya adalah peringatan… atau mungkin undangan.”
Tiba-tiba, kabut di sekitar mereka bergolak. Dari dalamnya, muncul sosok perempuan tinggi, mengenakan jubah hitam yang berlapis rantai. Wajahnya tertutup oleh topeng perak retak, namun matanya—dua cahaya pucat—menatap Bell tanpa berkedip.
Suara nyanyian itu kini jelas berasal darinya. Setiap kata membuat udara bergetar.
> “Kau… yang tak mati…
Apa kau datang untuk menghancurkan lingkaran ini…
atau menjadi bagian darinya?”
Bell menatapnya lekat-lekat. “Aku datang untuk mengambil yang menjadi hakku. Dan untuk itu… aku tidak peduli berapa banyak lingkaran yang harus kupecahkan.”
Perempuan itu berhenti bernyanyi. Sunyi mendadak merayap ke seluruh lembah. Lalu, rantai yang melilit tubuhnya bergerak sendiri, melayang seperti ular siap menerkam.
“Kalau begitu,” katanya dengan suara yang bergema seperti ribuan bisikan, “buktikan, Abadi… bahwa kau layak melewati pintu ini.”
Lythienne menarik busurnya, sementara Bell mengangkat pedangnya.
Ujian pertama dari Penjaga Gerbang telah dimulai.
Benturan terakhir pedang Bell dengan rantai sang Penjaga Gerbang meledakkan semburan cahaya putih yang menyilaukan. Rantai itu pecah menjadi butiran abu bercahaya, dan nyanyian lirih sang penjaga menghilang, digantikan oleh keheningan yang berat.
Gerbang hitam itu berderit perlahan, membuka celah cukup untuk dilewati dua orang. Begitu Bell dan Lythienne melangkah ke dalam, dunia di baliknya berbeda—udara lebih pekat, seolah penuh dengan sesuatu yang tak terlihat namun dapat dirasakan menusuk dada.
Di tengah aula batu yang luas, dua benda bersinar: fragmen pertama yang telah Bell bawa sejak pertempuran di Helmsgrave, dan fragmen kedua yang kini mengapung di atas altar hitam. Tanpa disengaja, kedua fragmen itu mulai bergetar, saling menarik.
Kilatan cahaya biru dan perak meledak di udara. Dari titik pertemuan itu, terbentuklah sosok yang samar—setengah manusia, setengah cahaya—melayang beberapa meter di hadapan mereka.
Matanya kosong, tetapi tatapannya menembus seperti sedang membaca isi jiwa.
Suara yang keluar bukanlah suara biasa, melainkan gema yang terdengar langsung di dalam pikiran Bell.
> “Dua cahaya… dua kunci… dan dua jalan yang takkan pernah searah…”
Bell menegakkan tubuh. “Siapa kau?”
Roh itu mengangkat tangannya. Di sekitarnya muncul gambaran bayangan masa lalu—kerajaan yang terbakar, wajah-wajah yang hilang, dan Bell sendiri, terikat di altar iblis.
> “Aku adalah saksi dari kesalahan yang tak dapat dihapuskan. Dua fragmen ini… bila kau satukan, akan membuka pintu yang membawa dunia pada awal… atau akhir. Kau, Abadi, harus memilih: memulihkannya… atau menghancurkannya.”
Lythienne melirik Bell, jelas gelisah. “Apa ini semacam peringatan atau ancaman?”
Senyum samar—atau mungkin ilusi senyum—muncul di wajah roh itu.
> “Itu bukan ancaman… itu takdir yang tak dapat kau hindari. Dan ingatlah, setiap fragmen yang kau bawa akan memanggil mereka… para pemburu cahaya. Mereka sudah datang.”
Tiba-tiba, lantai di bawah mereka bergetar. Suara langkah berat mendekat, menggema di aula seperti derap pasukan. Bayangan hitam mulai merayap di dinding, dan udara terasa semakin dingin.
Bell menggenggam pedangnya lebih erat. “Sepertinya kita akan tahu maksudnya sekarang.”