Peringatan! Harap bijak dalam membaca. Ini karya dipersembahkan untuk hiburan emak yang sudah berusia 21+ dan sudah menikah! Dibawa 21 harap jangan baca! Dosa tangung sendiri!
Sequel dari Dipaksa menikahi tuan muda duda
Ashanum Ananda Wijaya terpaksa menerima perjodohan dengan pria yang sama sekali tak ia kenal setelah pergaulan bebasnya diketahui sang papa yaitu Raka Wijaya. Asha harus mengorbankan cintanya menikahi pria sederhana yang bukan tipenya yang tak ada daya tarik sama sekali yang hanya berkerja sebagai guru ngaji di pondok pesantren dan sebagai ob di rumah sakit ternama dikota Malang.
Dibalik kesederhanaannya Asegaf Albramata adalah seorang pengusaha muda yang sukses disegala bidang, namun ia menyembunyikan semuanya karena berbagai alasan.
Asha sangat membenci Ega karena adanya dia, ia harus kehilangan cinta pertamanya.
Nb : Jangan lupa follow ig:Duwi Sukema author ya, agar tahu visual juga novel author lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon duwi sukema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27.Pelukis
"Mata mas Ega minus berapa?" tanya Asha meneliti dengan detail wajah laki-laki di depannya yang sangat sempurna tanpa cacat.
"Minus satu, ada apa Sha?" bohong Ega.
"Oh, mas sangat tampan jika tidak memakai kaca mata," puji Asha yang keceplosan.
"Benaran! Aku tampan, tapi kenapa kamu tidak mau menerima ku jadi suamimu apa karena aku miskin?" tanya Ega.
"Bagiku kaya dan miskin tak terlalu penting. Aku tak menerima mas dulu karena hatiku, hatiku tak mencintaimu. Aku menikah denganmu saat itu aku masih berstatus memiliki pacar, dan aku sangat mencintainya," ucap Asha.
"Apa kamu sekarang masih mencintai pacarmu itu? Apa pacarmu yang bernama Dion itu, seperti yang dibilang sahabat kamu?!"
"Benar dia Dion, kami pacaran sejak kelas dua SMA kami pacaran sudah hampir empat tahun. Dia cinta pertamaku tapi bukan yang terakhir buatku, aku sudah mulai mengubur dalam-dalam rasa itu," jelas Asha.
"Kenapa? Apa karena ada lelaki lain lagi?" tanya Ega penuh menyelidik. Ia sangat ingin tahu masa lalu wanita yang amat ia cintai dari kejujuran Asha walaupun sebenarnya ia sudah tahu sekecil apa pun kehidupan Asha.
"Bukan, karena aku ingin mempertahankan rumah tangga kita. Walaupun belum ada cinta di hatiku, aku akan belajar membuka hatiku untukmu," jelas Asha. "Tolong bantu aku, hapus nama Dion di dalam hatiku isi semua ruang hatiku dengan namamu jika memang kau benar-benar mencintaiku," lirih Asha menatap Ega dengan wajah memohon.
"Aku akan melakukan itu, aku akan membuat kamu mencintaiku seperti aku mencintaimu. Aku akan mengisi sepenuhnya ruang hatimu, aku akan mengajarimu cara mencintaiku," ucap Ega menatap manik mata Asha memberikan keyakinan dengan menggenggam kedua tangan Asha.
Asha yang mendapatkan tatapan dari Ega merasa sangat gugup ia tak tahu harus berbuat apa, kini detak jantungnya memompa sangat cepat.
"Mas mau aku ambilkan makan sekarang," tawar Asha untuk menghindari tatapan dari laki-laki yang menurutnya berubah 180 derajat hanya dalam hitungan detik saja yang berawal dari culun hingga kini menjelma menjadi pria yang sangat cool.
"Tidak. Duduklah! Kamu pasti sangat lelah," perintah Ega menepuk sofa disampingnya.
Asha pun segara duduk disampingnya, dengan menyilangkan kedua kakinya di atas sofa.
"Gimana magang kamu? Apa berjalan lancar?" tanya Ega membuka pembicaraan.
"Lancar, semua berjalan dengan muda. Tapi kandang kesel aja sama dokter Siska sedikit menyebalkan," ketus Asha.
"Memang kenapa?" tanya Ega. "Lalu gimana dengan dokter pendamping lainnya," ucapnya lagi sambil mengambil kacang asin dalam toples.
"Dokter lainnya baik mereka tapi memiliki sifat berbeda-beda."
"Berbeda-beda gimana? Sepertinya mereka juga sama-sama dokter kan?" tawa Ega hingga memperlihatkan senyum di sudut kedua bibirnya.
"Bedalah mas, dokter pendampingku ada empat dua cewek dua cowok. Kalau mbak Wulan orangnya sangat lembut beda dengan mbak Siska yang judesnya minta ampun. Kalau cowok dokter Rudi, dia baik ramah sekali beda dengan dokter Al," ketus Asha.
"Memang dokter beda kenapa? Apa kamu suka dengannya?"
"Suka!" ucap Asha. "Tidaklah mas, aku aja tidak tahu wajah dokter Al kok. Dia aja tak pernah lepas masker, aku selama dua bulan magang tak pernah melihat gimana wajahnya, dia itu sepertinya tipe orang yang dingin ya," ketus Asha.
"Kamu kok bisa bilang begitu? Kamu kan tak kenal dia," kata Ega mengunyah kacang asin ke di dalam mulutnya.
"Kalau tak dingin apa dong mas, dia aja tak pernah bicara. Tapi kata Diana dan Nadia dia tampan mereka pada naksir gitu mas sama dokter Al, tapi kenapa aku tak pernah melihat dia ya mas. Bahkan aku sangat jarang jadi anak didiknya mas aneh kan mungkin dia tahu kalau aku tak suka padanya makanya aku selalu bersama mbak Wulan dan dokter Rudi," ketus Asha.
Ega hanya membalas ucapan Asha dengan memanggutkan kepalanya.
"Mas, kamu sebenarnya lulusan apa sich?" kepo Asha ingin tahu lebih dalam tentang suaminya itu.
"Aku hanya lulusan," ucap Ega terpotong.
"Assalamualaikum, mas Ega," teriak seseorang dari teras rumahnya.
"Siapa ya mas? Aku lihat dulu ya," ucap Asha beranjak berdiri.
"Disini saja kamu! Biar aku yang lihat," kata Ega yang tak mau orang lain melihat kemolekkan tubuh Asha begitu sempurna karena hanya memakai celana pendek di atas lututnya.
Ega segera menyambar jaket miliknya yang berada di sofa, lalu menutupi sebagian tubuh Asha bagian bawah yang sedang duduk bersila di atas sofa.
"Waalaikumsalam," jawab Ega keluar melihat siapa yang datang.
"Mas Ega, aku di suruh bunda untuk memberikan ini pada mas juga istri mas," ucap bocah kecil yang berusia 8 tahun itu yang bernama Sisil.
"Apa itu Sil?" tanya Ega dengan menerima satu bungkusan tas kain yang berisi dua kotak kardus sedang.
"Itu kue basah dari bunda, mas Ega aku ada tugas menggambar ajarin aku ya, bunda tak bisa lo," rengek Sisil yang memang sangat dekat dengan Ega.
"Iya sini, ayo masuk!" ajak Ega. "Kamu sudah bawa alatnya, mas tak punya pewarna ya," jelas Ega yang merasa sangat terganggu dengan kedatangan Sisil diantara dirinya dan Asha.
"Sudah dong mas Ega, sudah aku masukkan ke dalam tas ini," ucap Sisil dengan memperlihatkan tasnya.
"Mas, siapa yang datang?" tanya Asha yang merasa Ega tak kunjung masuk ke dalam rumah.
"Sisil, anak mbak Tatik rumah sebelah dia mengantarkan roti."
"Hai mbak cantik, aku Sisil. Mbak kok bisa cantik banget sich," puji Sisil dengan mengulurkan tangannya yang duduk di samping Asha.
"Hai juga gadis kecil, aku Asha. Kamu itu juga sangat cantik, kamu bawa apa itu?" tanya Asha melihat Sisil mengeluarkan alat lukisnya.
"Mbak Asha yang cantik aku pinjam mas Ega ya, aku mau memintanya membantuku untuk melukis," jelas Sisil.
Memang mas Ega bisa melukis kok anak kecil ini memintanya. Dia ini kecil tapi ngomongnya seperti gadis berusia lima belas tahun saja batin Asha.
"Sini aku ajarin, kamu mau melukis apa temanya?" tanya Ega.
"Temanya taman saja gimana mas Ega, atau mungkin mbak Asha punya ide," kata Sisil meminta saran kepadanya.
Asha tak menjawab lalu ia berganti menatap wajah Ega yang sedang berjongkok di depannya sambil memegang kuas di tangan kanannya.
"Buat pemandangan gunung saja ya," saran Ega. "Sini biar mas aja yang lukis biar cepat ya, soalnya mas mau ada acara," pungkas Ega.
"Siap itu mas Ega, aku malah senang kalau seperti itu."
Ega segera menggerakkan tangannya dengan sangat lihai menggikuti jarinya yang memegang kuas memebentuk lengkung, datar, lurus hingga hanya dengan hitungan menit menghasilkan sebuah karya yang sangat sempurna.
Asha yang melihatnya hanya bisa menatap penuh kebanggaan.
"Keren mas, bagus sekali," puji Asha. "Mas harusnya jadi pelukis saja, rumayan lo mas hasilnya," saran Asha.
Bersambung.
Jangan lupa beri vote yang bnyk ya biar smgt up lagi..