"Perjodohan memang terlihat begitu kuno, tapi bagiku itu adalah jalan yang akan mengantarkan sebuah hubungan kepada ikatan pernikahan," ~Alya Syafira.
Perbedaaan usia tidak membuat Alya menolak untuk menerima perjodohan antara dirinya dengan salah satu anak kembar dari sepupu umminya.
Raihan adalah laki-laki tampan dan mapan, sehingga tidak memupuk kemungkinan untuk Alya menerima perjodohannya itu. Terlebih lagi, ia telah mencintai laki-laki itu semenjak tahu akan di jodohkan dengan Raihan.
Namun, siapa sangka Rayan adik dari Raihan, diam-diam juga menaruh rasa kepada Alya yang akan menjadi kakak iparnya dalam waktu dekat ini.
Bagaimana jadinya, jika Raihan kembali dari perguruan tingginya di Spanyol, dan datang untuk memenuhi janjinya menikahi Alya? Dan apa yang terjadi kepada Rayan nantinya, jika melihat wanita yang di cintainya itu menikah dengan abangnya sendiri? Yuk ikuti kisah selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lina Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 : Salah Sangka
..."Akan sangat menyakitkan, jika melihat orang yang kita cintai terluka. Walupun demikian, hati sendiri pun sudah begitu terluka oleh besarnya cinta yang tak terbalas oleh kata-kata."...
...~~~...
Begitu Rayan ingin mengatakan dirinya yang sebenarnya, seketika saja Alya memeluknya dengan begitu erat, sewaktu Rayan hendak melerai pelukan itu, sehingga membuatnya diam sesaat.
"Mas aku takut ketinggian, tolong bawa aku pergi jauh dari sini," pinta Alya dengan ketakutan dan juga enggan membuka kedua matanya.
Rayan yang mendengar itu cukup kebingungan harus bertindak seperti apa. Di lihat Alya begitu ketakutan dalam pelukannya dan tidak mungkin untuknya menjauhi Alya sekarang.
Dengan begitu, Rayan pun menghembuskan nafasnya pelan, lalu perlahan membawa Alya ke balkon yang ada di lantai atas, sembari membantunya untuk duduk secara perlahan, walupun wanita itu belum mau membuka kedua belah matanya.
Kini Rayan dan Alya telah duduk di sofa yang menghadap kepada balkon atas, karena tidak mungkin juga ia membawanya ke kamar, karena itu akan menimbulkan fitnah, dan tidak mungkin juga ia membantu Alya untuk kembali ke kamarnya, melihat kondisinya masih ketakutan seperti ini.
"Pelahan coba buka kedua matamu, Alya." Rayan perlahan membantu Alya untuk tidak larut dalam ketakutannya lagi.
"Aku takut, jangan pergi jika aku sudah membuka kedua mataku ya?" lirih Alya sembari memegang kedua tangan Rayan yang di sangka suaminya sendiri.
"Iya, aku tetap di sini. Bukalah kedua matamu segera, kanu sudah aman sekarang," ucap Rayan dengan meyakinkan Alya.
Perlahan-lahan Alya mulai membuka kedua belah matanya, setelah di pastikan bahwa ia tidak berada di dekat tangga lagi.
Dan begitu kedua matanya terbuka lebar, sosok laki-laki tampan yang tidak asing baginya, sudah terlihat jelas di depan matanya dengan tersenyum tipis begitu ia berhasil membuka kedua matanya.
"Mas," kata Alya seketika memeluk tubuh Rayan begitu saja.
Deg.
Sungguh Rayan terkejut oleh tindakan spontan dari Alya. Dan ia benar-benar kebingungan dengan dirinya sekarang, karena sepertinya Alya salah mengira lagi, walupun kedua matanya sudah terbuka lebar, tapi mungkin saja karena wajahnya dan Raihan sama, sehingga membuat Alya keliru mengenali dirinya.
Dengan tidak menyentuh Alya sedikit pun, Rayan pun mencoba untuk menyadarkan Alya yang tengah memeluknya.
"Aku Rayan, bukan Bang Raihan," ucap Rayan dengan menelan ludahnya, karena takut dengan reaksi Alya nantinya.
Kedua mata Alya langsung terbuka lebar, begitu laki-laki yang di peluknya itu mengatakan bahwa ia bukanlah suaminya, sehingga membuat Alya sontak saja terkejut bukan main.
"Rayan?" ucap Alya dengan memastikan kembali ucapan laki-laki itu, jika ia benar-benar tidak salah mendengar.
"Ya, aku Rayan," sahut Rayan tanpa berbohong.
Sontak saja, dengan cepat Alya melepaskan pelukannya itu dari Rayan, dan menatap laki-laki itu dengan tatapan malu, marah, kesal, dan pokoknya perasaanya campur aduk untuk saat ini.
"Maaf Rayan, aku tidak sengaja. Tadi aku mengira kamu itu Mas Raihan," tutur Alya semberi menahan rasa malu dan juga kesalnya itu dalam-dalam.
"Enggak papa, aku juga maaf karena mengatakannya sekarang sebab tadi kamu terlihat begitu ketakutan, dan aku tidak tega melihatmu seperti itu. Maaf aku membawamu ke sini untuk menenangkan dirimu setelah syok tadi," jelas Rayan tanpa ada yang di tutupinya dari Alya.
Alya hanya diam saja tak bergeming begitu Rayan tengah berusaha menjelaskan semuanya.
"Tadi aku tidak sengaja melihatmu hendak jatuh ke bawah, sehingga dengan cepat aku membantumu. Jika kamu ingin minum biar aku ambilkan ya?" lanjutnya sembari menawarkan Alya untuk minum.
Begitu Rayan hendak pergi meninggalkannya, Alya tiba-tiba saja memegang lengan tangannya, dan menghentikan langkahnya itu.
"Tunggu! Aku hanya ingin mengatakan terimakasih, karena telah menolongku," ucap Alya dengan kedua mata yang menatap kepada Rayan.
"Sama-sama, sudah sepantasnya aku membantumu Alya, karena kamu Kakak Iparku. Kamu tidak apa-apa kan, itu? Jika ada yang sakit biar aku obati sini," kata Rayan yang tanpa sadar begitu mengkhawatirkan Alya.
Alya hanya tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. "Enggak ads kok Rayan, terimakasih banyak ya? Sekarang kamu bisa kembali beristirahat, karena pasti kamu sudah sangat lelah, setelah pekerjaanmu tadi," ucapnya dengan mengingat ucapan Rayan yang dingin tadi.
Rayan terdiam, dia mulai menyadari bahwa dia sudah berkata seperti itu kepada Alya di meja makan tadi, sehingga ia pun mulai sadar akan batasannya yang mulai di ambil. Dengan begitu, ia pun memutuskan untuk mengiyakan kata Alya.
"Ya udah, jika kamu sudah tidak apa-apa. Aku balik ke kamar dulu, kamu hati-hati jalan ke kamarnya nanti! Dan jangan terlalu banyak membawa barang, jika tidak sanggup membawanya," ucap Rayan dengan memberikan pengertian kepada Alya.
"Iya Rayan," jawab Alya singkat. Kemudian, ia tersenyum melihat Rayan yang berjalan pergi meninggalkannya.
Dan tidak lama dari itu, Alya pun memutuskan untuk beranjak dari sofa itu. Namun, baru saja melangkahkan kakinya, tiba-tiba ia terjatuh.
Bruukkk!
"Aaaww!" pekik Alya dengan merasakan sakit yang amat sangat pada kakinya.
Rayan yang belum berjalan terlalu jauh, seketika mendongak ke belakang begitu mendenger suara Alya yang terjatuh.
"Alya!" teriak Rayan begitu melihat Alya yang jatuh ke lantai.
Dan dengan cepat, Rayan berlari kencang untuk menghampiri Alya, dengan wajah yang terlihat begitu cemas.
"Cek! Sudah aku bilang hati-hati!" ucap Rayan dengan segera memangku tubuh Alya dan mendudukkannya di sofa yang sebelumnya Alya duduki.
Bibir Alya terlihat maju ke depan, dengan kedua mata yang sudah mulai terlihat berair begitu Rayan menegurnya.
"Ya maaf, a--aku kan enggak tahu bakalan jatuh kayak gitu," tutur Alya dengan sedikit terbata dan tidak enak kepada Rayan.
"Ya iya, kalau enggak tahu. Ingat apa kata aku! Hati-hati jalannya! Lihat ke bawah bukan ke depan makanya jatuh kan!" ujar Rayan sembari memastikan kaki Alya yang jatuh tadi. Dan sedikit menaikan nada bicaranya, karena terlalu khawatir kepada Alya.
"Hiks! Kamu kok bentak-bentak aku sih, Rayan?" lirih Alya dengan menangis yang tidak bisa di bendung lagi.
Deg.
Rayan tersadar akan ucapannya itu yang terlalu kelewatan, sehingga membuat Alya menangis.
Maka dari itu, Rayan dengan cepat menatap dalam wajah Alya, dan meminta maaf kepadanya.
"Maaf Alya, aku tidak bermaksud menyalahkanmu," ucap Rayan yang kalut dengan perbuatanya sendiri.
Alya hanya terisak dengan menetap Rayan yang tengah meminta maaf kepada dirinya.
Melihat Alya tidak bergeming sedikit pun, Rayan pun bergegas pergi ke kamarnya, dan mengambil kotak P3K, lalu segera membawanya cepat ke balkon luar.
Begitu Rayan kembali, Alya masih tetap berada di sana, dan masih menangis terisak. Hal itu, sungguh membuat Rayan merasa bersalah, dan hatinya pun sakit melihat air mata Alya jatuh di depan matanya.
"Maaf Alya, aku izin obati luka di kakimu ya?" ucap Rayan soraya memegang obat merah dan kapas di tangannya.
Alya pun menganggukan kepalanya pelan. Dan Rayan pun dengan perlahan meraih kaki Alya, serta mengobati luka memarnya secara perlahan menggunakan obat merah dan kapas, dengan memperlakukannya lembut karena takut menyakiti sang empu yang baru saja berhenti terisak.
.
.
.