cerita tentang seorang serigala penyendiri yang hanya memiliki ketenangan tapi musik menuntun nya pada hal-hal yang terduga... apakah itu musim semi...
aku hanya bermain musik untuk mencari ketenangan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 - Bahasa Suara
Hari berlalu tanpa aba-aba setelah Tissa mendaftar sekolah. Rumah kembali ramai oleh rutinitas Hilda bersiap ke kampus, Vio bersiap ke sekolah, dan Tissa dengan rambut masih agak kusut berdiri canggung di ambang pintu kamar, memegangi tas selempang kecil.
"Aku... ikut," katanya pelan sambil menunjuk ke Vio.
"Ikut?" Vio menghentikan gerakannya saat mengencangkan tali sepatu.
Tissa mengangguk. "Pergi... Sekolah... Bersama "
Vio baru ingat. Kedatangan Tissa tidak hanya untuk tinggal sementara, tapi juga untuk sekolah di kota ini karena beberapa hari ini selalu berangkat dengan Hilda saja dan pulang bersama orang tuanya. Bahkan, mereka akan berada di sekolah yang sama. Itu artinya... mereka akan sering bertemu.
"Y-ya... oke, kita jalan bareng," kata Vio pelan.
Perjalanan ke sekolah agak kikuk. Tissa terus menunduk sambil memegang tali tasnya, sementara Vio mencoba mencari topik percakapan yang ringan.
"Kamu... tinggal di mana sebelumnya?"
"Australia" jawab Tissa cepat. "Tapi... sebelum itu... Jepang, dulu kecil di sana."
"Wow... banyak pindah ya."
Tissa hanya tersenyum kecil. “Papa... kerja pindah-pindah.”
Mereka tiba di sekolah saat lonceng belum berbunyi. Beberapa murid melihat ke arah mereka, lalu mulai berbisik. Tissa yang masih baru menarik perhatian, terlebih lagi ia berjalan bersama Vio yang selama ini dikenal cukup tertutup.
"Tolong... kamu jangan... marah kalau saya... bikin malu ya," ucap Tissa pelan saat mereka hendak berpisah menuju kelas masing-masing.
Vio menatapnya, sedikit bingung. "Kenapa aku harus marah?"
Tissa menggigit bibirnya, lalu menggeleng. “Saya cuma... takut salah bicara. Bahasa Indonesia saya... aneh.”
Vio tersenyum tipis. “Kalau kamu salah, aku bantu. Gitu aja.”
Hari itu berlalu tanpa banyak kejadian besar. Tapi sepulang sekolah, Vio menyempatkan diri singgah ke sebuah toko musik, toko yang ia lihat sebelumnya saat pulang dari rumah nenek.
Toko itu sunyi, seperti terperangkap dalam waktu. Di dalam, ada beberapa alat musik langka dan juga lembaran-lembaran musik klasik yang tergantung di dinding.
Saat ia mencoba sebuah keyboard digital, nada-nada pelan mulai mengalir dari jemarinya. Tak ada lagu tertentu, hanya lantunan acak... namun harmoni itu terasa menyatu dengan ruang.
Tanpa ia sadari, pintu toko terbuka, dan seseorang berdiri di belakangnya.
"Beautiful..."
Vio menoleh cepat. Tissa berdiri di sana, matanya berbinar.
"Bagaimana kamu tahu aku di sini?"
"Eh... saya lihat kamu... dari jendela. Jalan sendiri," ucap Tissa pelan. "Saya... ikut."
Vio sedikit bingung, tapi tidak membantah. Mungkin Tissa juga sedang mencari tempat tenang. Ia kembali menatap tuts keyboard.
Tissa mendekat dan duduk di bangku sebelahnya. Tangannya ragu menyentuh satu tuts, menghasilkan suara "ding" kecil yang tak selaras.
"Maaf," gumamnya cepat.
"Enggak apa-apa. Musik itu bukan soal benar atau salah," ujar Vio.
Tissa menatap Vio. "Tapi... saya tidak bisa main musik."
"Mulai dari satu nada, itu sudah musik."
Untuk pertama kalinya sejak Tissa datang, keheningan di antara mereka terasa nyaman. Tak butuh banyak kata. Hanya suara-suara kecil... dan jarak yang perlahan tak terasa jauh
“Ah... itu...” Tissa berhenti sejenak, terlihat bingung menyusun kata. “Saat... di sekolah... aku lihat... kamu... dengan... gadis.”
Vio mengangkat alis. “Gadis?” Ia berpikir sejenak. “Maksudmu Reina?”
Tissa mengangguk pelan. “Dia... duduk... dekat kamu... sering bicara.”
“Oh, ya. Reina teman sekelasku. Kami duduk bersebelahan, jadi... ya, sering ngobrol.”
Tissa menatapnya lekat-lekat. “Dia... kekasih kamu?”
Pertanyaan itu membuat Vio kaget. Ia spontan menunduk, tak langsung menjawab. Tapi sayangnya, telinganya yang memerah mengkhianati pikirannya. Tissa melihat itu, lalu tersenyum kecil, seolah sudah cukup tahu jawabannya.
“Vio... semangat... ya?” ucapnya ragu. “Itu... kata yang... benar?”
Vio menoleh, sedikit bingung. “Apa maksudmu?”
Tissa hanya tersenyum, lalu Vio mencubit pipinya pelan. “Kamu ini... banyak tanya, ya?”
Tissa tertawa kecil. “Karena... jarak... makin dekat,” katanya pelan, terbata-bata tapi hangat.
Kemudian ia bertanya lagi, lebih serius kali ini. “Kita... bisa... saling... kenal?”
“Siapa?” tanya Vio cepat. “Maksudmu... kamu dan Reina?”
Tissa mengangguk.
Vio tersenyum tipis. “Baiklah. Datang saja ke kelasku saat istirahat pertama.”
Tissa terlihat senang sekali. Senyumnya merekah, dan untuk sesaat, ia seperti anak kecil yang baru saja mendapat undangan bermain dari teman baru.
---
Keesokan harinya, bel istirahat berbunyi. Kelas Vio masih ramai oleh suara kursi bergeser dan obrolan antar siswa. Di dekat jendela, Vio melihat sosok Tissa yang berdiri ragu di depan pintu. Ia melambai.
“Tissa, sini!” panggil Vio.
Tissa masuk dengan langkah hati-hati, lalu berdiri di samping bangkunya.
“Reina, ini sepupuku, Tissa.”
Reina, yang tengah membuka bekal makan siangnya, langsung tersenyum lebar. “Hai, Tissa! Duduk, yuk!”
‘Kadang aku bingung dengan perempuan...’ pikir Vio sambil mengamati keduanya. ‘Kenapa mereka bisa begitu cepat akrab? Apa cuma persepsi ku aja yang salah tentang hubungan sosial?’
Dan benar saja. Tak butuh waktu lama, Tissa dan Reina larut dalam obrolan kecil. Setiap hari setelah itu, mereka tampak selalu bersama. Meski Tissa belum terlalu lancar berbahasa Indonesia, Reina dengan sabar membimbingnya—dan kadang tertawa ketika Tissa salah ucap, tanpa pernah mengejek.
---
Beberapa hari berlalu. Suatu siang saat mereka duduk di taman sekolah, Reina bertanya, “Tissa, kamu dan Vio itu... sepupu, ya?”
“Ya. Mama... Vio... adik,” ucap Tissa pelan, mencoba menjelaskan.
Reina tersenyum lembut. “Maksudmu, mamamu itu adik dari mamanya Vio?”
Tissa mengangguk cepat.
Lalu tiba-tiba, dengan nada polos dan nada datarnya yang khas, ia bertanya, “Kamu... kekasih... Vio?”
Reina terkejut. “Hah? Kenapa kamu pikir begitu?”
“Kamu... dekat Vio. Tapi... Vio... tertutup.”
Reina tertawa kecil. “Dia memang jarang bicara. Anak-anak di sini memanggilnya ‘serigala penyendiri’.”
Tissa terlihat penasaran. “Serigala... penyendiri?”
“Iya... kayak yang kuat, tapi jalan sendiri. Tapi sebenarnya... baik.”
Tissa menatap langit sejenak, seolah memikirkan arti baru dari sosok Vio.
---
Saat malam tiba, Vio duduk di kamarnya. Ia menatap sekeliling, dinding-dinding putih polos yang terasa terlalu ‘terbuka’. Ucapan Tissa tentang “suara langit” beberapa hari lalu terus terngiang.
“Kalau aku pasang peredam suara, mungkin... siaran bisa lebih tenang,” pikirnya.
Tapi ia tahu, hal itu pasti akan menimbulkan pertanyaan dari keluarganya. Apalagi saat ini, rumah terasa lebih ramai dari biasanya.
“Aku harus cari cara... supaya tidak mencolok,” gumamnya. “Sudah beberapa hari aku tidak siaran... dan komunitas mulai bertanya-tanya.”
Ia menatap mikrofon yang tergantung rapi di sudut meja. Malam semakin larut, dan dalam diam, ia tahu bahwa waktunya untuk kembali berbicara... mungkin lebih dekat dari yang ia kira.