Sandy Sandoro, murid pindahan dari SMA Berlian, di paksa masuk ke SMA Sayap Hitam—karena kemampuan anehnya dalam melihat masa depan dan selalu akurat.
Sayap Hitam adalah sekolah buangan yang di cap terburuk dan penuh keanehan. Tapi di balik reputasinya, Sandy menemukan kenyataan yang jauh lebih absurb : murid-murid dengan bakat serta kemampuan aneh, rahasia yang tak bisa dijelaskan, dan suasana yang perlahan mengubah hidupnya.
Ditengah tawa, konflik, dan kehangatan persahabatan yang tak biasa, Sandy terseret dalam misteri yang menyelimuti sekolah ini—misteri yang bisa mengubah masa lalu dan masa depan.
SMA Sayap Hitam bukan tempat biasa. Dan Sandy bukan sekedar murid biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vian Nara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22 : Siapa yang Main?
Beberapa hari berlalu begitu membosankan tanpa sebuah aksi. Tapi hari ini berbeda. Hari ini adalah mata pelajaran olahraga di lakukan terutama sangat spesial. dua belas kelas sebelas langsung di jadikan satu dalam lapangan.
PRITT!!!
Tiupan peluit membuatnya semua anak-anak kelas yang di sebutkan termasuk kelasku berbaris rapih.
"Baiklah anak-anak, kalian kelas sebelas adalah kelas yang beruntung tahun ini karena mendapatkan kesempatan untuk melakukan olahraga seperti turnamen resmi. Kita akan mulai gacha untuk menentukan cabang olahraga apa yang akan kalian mainkan! Spesial juga kali ini akan ada dua cabor yang di laksanakan!" Guru Olahraga mendorong roda spin raksasa tepat ke depan seluruh murid.
"Kita mulai!" Guru Olahraga bernama Pak Bariq memutar roda spin dengan cepat.
Semua murid tegang. Mereka semuanya beharap dan berdoa agar yang di mainkannya adalah cabor yang paling di kuasai di kelas tersebut.
Ada basket, baseball, futsal, sepak bola, volley, atletik, Hokky, Silat.
Roda spin mulai berputar pelan dan siap berhenti. Semuanya tegang. Jarum spin menunjukkan satu cabor. Volley.
Kelas sebelas MIPA 4 kegirangan. Pasalnya di event lomba olahraga antar kelas pun, mereka tidak pernah terkalahkan.
"Oke, ini menarik! Baik, kita spin lagi!" Pak Bariq kembali memutar roda spin.
Kelas IPS berdoa dan berharap kencang untuk cabor berikutnya.
"Ya Allah, semoga futsal saja!" Begitulah.
Dan hal yang jarang ada di sekolah akhirnya ada.
Jarum spin menunjukkan tulisan cabor olahraga Sepak Bola.
"Amazing!" Pak Bariq kegirangan.
Anak IPS sedikit kecewa, tapi cabor tersebut masih sama tentang bola.
"Berhubung ada dua cabor yang kemungkinan keduanya akan sangat seru. Volley akan di mainkan oleh girl dan sepakbola oleh boy."
Semua anak kelas mulai berisik satu sama lain.
"Selain itu, ini sebagai ajang seleksi kelas mana yang akan mewakili nama sekolah kita di festival lomba antar sekolah Nasional cabang olahraga. Dan kebetulan juga menang sepak bola serta volley yang di turnamenkan." Tambah Pak Bariq.
"Sepak bola, ya? Baguslah." Fahri senang.
"Apanya yang bagus?" Tanyaku.
"Ini bisa menjadi ajang balas dendam di classmeet sebelumnya. Kelas kita di kalahkan oleh IPS 2. Karena laki-laki kelas kita ini sepatutnya bermain menjadi kesebelasan." Jawab Fahri masih antusias.
"Kok bisa?" Aku bingung.
"Kelas kita itu banyak sekali kekurangan dalam menutupi permainan, masing-masing punya kelebihan. Saat futsal itu terlihat jelas bahkan saat pergantian pemain."
"Tumben sekali kau bisa menjelaskan startegi. Biasanya pikiramu hanya olahraga saja." Celetukku.
"Kau benar. Aku tahu ini dari Nara." Ujar Fahri polos.
Aku no komen. Nara yang berbaris di depan aku perhatikan dirinya kuat sekali memakai jaket Hoodie kesayangannya berwarna hitam di depan, paling tersorot matahari, tapi tidak merasakan panas? Manusia satu ini bukanlah manusia biasa. Memang genius, sih.
"Penilaian objektif dan tidak hanya dalam satu kelas saja yang bisa mewakili dalam tim, tim pilihan untuk mewakilkan ke festival nanti juga bisa di bentuk dengan mengambil orang-orang yang menonjol dari masing-masing kelas, paham!?" Seru Pak Bariq.
"Paham!!" Jawab serentak.
"Baiklah kalau begitu, Raga, Apakah bapak boleh?" Pak Bariq meminta izin kepada Raga yang membuat semua murid bingung.
Raga menghembuskan nafas panjang. menahan amarah lalu mengangguk.
"Baiklah kalau begitu, silahkan Vania!"
"Pak Bariq kenapa?" Tanyaku berbisik.
"Bukankah sudah aku katakan bahwa Raga tidak ingin sahabat-sahabat yaitu Vania dan Nayyara? Raga itu protektif. Seperti yang sudah aku katakan juga, sekolah kita dan dirinya telah membuat kesepakatan." Nara menanggapiku.
"Sekolah kita mendapatkan sebuah jaminan perlindungan politik agar sekolah ini tidak pernah terpublish. Bahkan alasan sebenarnya sekolah ini buruk, itu adalah bentuk perlindungannya. Sepatutnya sekolah kita itu bisa di puncak melebihi Palu Adi dan Berlian."
"Aku tidak tahu bagian yang itu."
"Kau akan segera mengetahui kemampuan Vania. Dan katanya juga, aku mendengar organisasi itu juga menginginkan Vania. Kedua sahabat Raga salam bahaya pastilah dia akan sangat waspada terlebih juga efek sampingnya dari kekuatan spesial kita juga ada dan belum tentu tahu apa yang harus dilalui untuk mengurangi efeknya." Tambah Nara.
Vania perlahan berjalan kedepan dengan sebuah buku gambar, ada tulisannya juga.
Vania menarik nafas panjang lalu merobek kertas tersebut dan melemparkannya ke tanah lapangan sekolah.
Beberapa detik hening tidak ada yang terjadi. Semua murid masih bingung.
Tidak lama setelahnya tanah bergetar hebat hanya di sekitaran sekolah. Tanah yang kami injak seketika berubah menjadi rumput hijau yang rapih, tribun-tribun penonton tercipta, gawang muncul dan televisi raksasa juga. Stadion besar dan megah sempurna tercipta.
"Inilah kemampuan Vania. Dia bisa memanipulasi imajinasi tulisan atau gambar menjadi suatu kenyataan dengan jangka waktu tertentu." Ujar Nara menatap sekeliling stadion.
"Tidak buruk." Puji Nara.
Semua murid Langsung takjud. Dan terakhir yang tidak kami sangka, sekolah juga berubah menjadi tempat khusus bermain volley layaknya di turnamen dalam ruangan.
"Saya dan guru olahraga lain akan memberitahukan kepada guru lain bahwa kelas pelajaran biasa akan di buat menjadi belajar di rumah dengan pr. Selama enam atau tujuh hari kedepan kita akan fokus di sini." Para Siswa bersorak Senang.
"PR di sistem kebut satu jam juga jadi!"
"Asli, cuy!"
"Mana ada sekolah yang kayak kita ini?!"
"Gua berasa kayak masuk klub Manchester united."
"Yeah, si MU. Tim cupu. Masa kalah sama totenham?"
"Sebelum pembagian bracket dan pertandingan di mulai. Bapak akan melakukan sesuatu dulu." Pak Bariq meregangkan tangan ke depan.
"Kamuflase!" Sebuah kabut tipis muncul dan mulai menutupi daerah sekitar sekolah kami yang telah berubah menjadi stadion dan tempat bermain volley.
Orang-orang yang awalnya terkejut karena melihat bangunan besar tiba-tiba muncul kembali beraktivitas kembali seperti biasa karena tipis dari Pak Bariq menutupi sekitarnya dan memperlihatkan kepalsuan dengan pemandangan tetap sekolah kami sehingga stadion itu menghilang begitu saja.
"ITS time to play!" Pak Bariq berseru dan di balas oleh semangat para murid yang tinggi.
...****************...
Semua murid masing-masing kelas bubar termasuk kami. Setelah bracket di tentukan, kami di beri dua pilihan, menonton dan berdiskusi di ruang ganti khusus atau menonton di tribun stadion.
Jelas pilihan kelasku berdiskusi di ruang ganti khusus. Maksudnya tiap kelas memiliki ruang ganti sendiri. Kami memilih itu karena lawan yang akan kami hadapi adalah kelas IPS. Tangguh kuat mereka bagaikan banteng. Bertahan dan menyerangnya sama-sama kuat ketika futsal, tapi inikan sepak bola, apa saja mungkin bisa terjadi. Dan kami juga belum tahu bagaimana jika sebelas dari mereka bermain dalam kesebelasan.
"Oke teman-teman, kita mainnya di match ke tiga. Dan itu adalah besok. Waktu ini cukup untuk kita bisa mempersiapkan pemain serta strategi. Jadi kita akan putuskan siapa saja yang akan menjadi pemain utamanya." Alex mengambil keputusan.
"Siapa lawan kita?" Tanya temanku.
"Merepotkan sekali harus ada pakai turnamen segala." Dimas mengeluh.
Boleh juga sih. Aku akan tampil gemilang. Isna pasti akan terpesona dengan gaya bermainku. (Dimas mulai berfantasi)
"Lu mau main bagus cuman gara-gara perempuan? Lu ini tidak mementingkan kemenangan dengan teman." Beben menepuk-nepuk punggung Dimas.
"Jangan terus membaca pikiranku sialan!" Wajah Dimas memerah. Dimas ingin menggetok kepala Beben dengan Tumbler miliknya, tapi malah kena keras kepala Ivan yang lagi asyik makan cemilan Sukro
"Sorry!" Dimas meminta maaf.
Ivan melambaikan tangan tidak apa-apa, tapi kepalanya benjol terlihat jelas.
"Yakin gak apa-apa?" Dimas memastikan.
"Hemm." Ivan menangguk. Tidak lama hidungnya malah mimisan.
"ITU NAMANYA APA-APA!" Dimas menggusur Ivan dengan paksa ke ruang kesehatan di stadion bersama dengan Beben.
"Hayolo Dimas, anak orang itu." Beben membuat Dimas semakin panik.
"Berisik lu esper!"
"Kita lanjutkan pembicaraan ini wahai kisanak-kisanak." Alex mengetuk papan tulis dengan spidol.
"Kita akan menentukan siapa yang akan menjadi pemain utamanya." Tambah Alex.
"Seperti biasa antara Adit atau Rino pastinya kiper." Alex menunjuk ke arah mereka berdua yang lagi panco India pakai kaki.
"Sekarang untuk bek kiri, kanan, tengah, gelandang bertahan dan serang, Winger kiri, kanan dan terakhir striker." Alex menggambar lapangan bola dengan lingkaran-lingkaran kecil sebagai tanda pemainnya.
"Kali ini kita tidak boleh kalah dari IPS 4 bajingan itu. Berani sekali mereka tauting ala cobra sama angsa." Alex kesal dan hampir mematahkan spidol.
"Tolong, ini properti sekolah." Aku menenangkan.
"Baiklah. Ehm." Alex pura-pura batuk.
Anjir bingung banget ini. Lagakku besar kayak pelatih Manchester united,.tapi ini malah ngeblank dan tidak sesuai ekspektasi khayalan. Pikir realita, Alex
"Si Alex kenapa kayak yang mau berak mencret, ya? Keringet dingin terus eksepsi sangat mencerminkan sekali Begitu." Celetuk Genta.
"Sepertinya KM kita tidak bisa menentukan. Aku saja yang akan tentukan." Fahri mendorong Alex hingga jatuh.
"Apa kau yakin, Fahri? Atlet yang sama sekali belum menang kejuaraan manapun." Kata Bora yang sedang membaca majalah tentang pelatih-pelatih sepak bola.
"Bukankah seharusnya Nara saja?" Deka masih fokus dengan gamenya.
"Benar sekali, Minna. Watashi setuju dengan anata." Reiji Menunjuk ke arah Bora.
"Aku tidak peduli. Yang penting aku bisa hits di media sosial ketika turnamen bola ini." Ravel malah live IG. Artis remaja terkenal memang beda.
Raga hanya menatap layar ponselnya seolah tidak peduli.
Fahri termenung mendengar perkataan teman-teman yang lain.
"Kau memang seorang pecundang!"
"Ibu kecewa karena kamu tidak menang!"
"Aku punya Kakak yang menjadi aib keluarga kita. Julukan atlet sudah menjadi ciri khasnya dan kakak adalah perusak."
Nara bersiap untuk angkat bicara menenangkan situasi tapi keduluan diriku.
"Biar pun begitu, ini hanyalah sebuah kompetisi yang pasti ada kalah dan menang. Jika kalah, kita bisa memperbaikinya dan jika menang, janganlah kita sombong dan lengah. Yang terpenting itu adalah bagaimana kita mencoba dan berusaha. Mengapa kita benar-benar ingin serius? Kita semua hanya ingin mengalahkan mereka saja kan? Bukan ingin menjadi seorang petarung hingga akhir?" Aku berpidato sudah seperti presiden pertama saja.
Aku tahu rasanya di begitukan. Di sekolahku yang sebelumnya, semua teman-temanku menjauhiku karena kemampuan waktuku yang mengerikan. Dalam sebuah kompetisi mereka semua memintaku meminta untuk meramal agar menang dan ketika kelasku menang lalu mendapatkan hadiah, sebuah bencana terjadi. Aku pun disalahkan karena itu. Salah satu temanku terluka, itulah penyebabnya.
"Benar apa yang di katakan, Sandy, teman-teman. Bahkan aku sendiri mungkin tidak akan terlalu mengetahui tentang olahraga bola selain ahlinya sendiri dalam olahraga." Nara mendukung pidatoku.
Teman-teman yang lain berisik satu sama lain kemudian mengangguk.
"Kita akan tunjukkan kejutan yang menarik para pertandingan nanti." Nara menepuk pundak Fahri.
"Terimakasih kalian berdua." Fahri kembali ceria.
"Baiklah kalau begitu inilah susunan pemainnya!" Fahri bersemangat.
...****************...
Sementara itu di tempat bermain volley, semua perempuan MIPA 2 sedang menonton pertandingan pertama yang sedang berlangsung.
MIPA 3 vs MIPA 4
Set kedua. Sebelas MIPA 4 menang dengan mudah di set pertama.
Volley di pertandingan ini menggunakan tiga set saja. Satu setnya jika seri. Jadi perolehan point 2-1 atau 2-0.
"Mereka menakutkan sekali." Nayyara kagum.
"Iya benar, beruntung kita tidak langsung menghadapi MIPA 4." Ujar Isna.
"Kita harus optimis!" Irliana memberi semangat.
"Mending pulang saja. Di sini terlalu ramai." Alea masih dengan masker hitamnya.
"Apa kita benar-benar bisa menang?" Tanya Vania.
"Entahlah." Jawab Zahra.
"Sayang banget, ya? Kamu tidak bisa melihat Faris yang lagi tanding sekarang karena kita lagi diskusi." Celetuk Vania.
"Sebentar. Antara Bora dan Faris, mana yang kamu pilih, Zahra?" Tari menyidik.
"Apa sih yang kalian bicarakan?" Zahra malu-malu kucing. Wajahnya memerah.
"Halah, malu-malu kucing." Tari menggoda.
"HACHU!" Bora tiba-tiba bersin.
"Ada yang membicarakanku, kah? Bodo amat lah." Bora kembali fokus memperhatikan Fahri yang sedang menjelaskan.
"Kalian tidak akan mendapatkan peluang memang sama sekali!" Itu adalah Bella. Murid yang katanya paling eksis selain Zahra di sekolah. Dia dari MIPA 5.
"Kita belum tahu sebelum mencoba." Jawab Zahra yang tiba-tiba jadi tegas.
"Oh, kau berani juga, ya?"
"Iyalah orang sama-sama makan nasi."
"Kita lihat apakah kalian bisa mengalahkan kami. Jika aku menang jauhilah Faris. Kemudian kau harus menuruti perkataanku." Bella menantang.
"Ayo, siapa takut! itu juga berlaku untukmu!" Zahra semakin terbakar semangatnya.
Bella dan kawan-kawan pun akhirnya pergi menyisakan anak-anak perempuan kelas MIPA 2.
"Berani banget kamu, Ra. Tapi tidak heran sih. Kamu kan sama eksisnya seperti dia." Tari mulai memeluk Zahra.
Jika perempuan begitu sudah pasti hal biasa dan wajar karena di anggap berteman akrab. Coba laki-laki? Tidak usah di bahas lah, ya.
Apakah aku bisa menonton waktu Sandy main? (Nayyara di dalam hati.)
...****************...
"Kurang lebih beginilah strategi yang dapat aku berikan untuk kelas kita." Fahri selesai menuliskan siapa saja pemain utama dan perannya serta cadangannya.
Alex di mana? Sempat aku lihat Alex ke toilet karena katanya kalau nervous dia suka kebelet berak.
"Inilah dia susunan pemainnya dan juga formasinya!"
Kiper : Adit/Rino
Bek kiri : Dimas/Beben
Bek kanan : Genta/Alex
Bek tengah : Deka, Reiji, Raga/Theo
Gelandang : Sandy, Ivan/Beni, Pablo
Sayap kanan : Nara/Zulham/Yuda
Sayap kiri : Ravel/Ilham
Striker : Fahri
"Kita akan bermain formasi 3-4-4. Dan kita akan benar-benar menunjukkan kepada mereka kejutan yang menyenangkan!" Alex berseru dan di balas oleh kami dengan sorakan kembali.