Novel Keduabelas 🩶
Namaku Jennaira. Kisah ini adalah tentang aku yang menikah dengan seorang pria sempurna. Bertahun-tahun aku menganggapnya seperti itu, sempurna. Namun setelah menikahinya, semua berubah. Penilaianku terhadapnya yang asalnya selalu berada di angka 100, terus berubah ke arah angka 0.
Benar kata pepatah, dont judge a book by its cover. Penampilannya dan segala kemampuannya berhasil menghipnotisku, namun nyatanya hatinya tak seindah parasnya dan aku terlambat menyadarinya.
Unofficial Sound Track: Pupus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Sebaiknya Cerai
"Bu Jenna." Itulah panggilanku di sekolah. Aku yang tengah menggantungkan tasku di pundak, menoleh ke sumber suara, seorang siswa menghampiriku.
"Iya?" sahutku.
"Ibu dipanggil sama Pak Kresna," pesannya.
"Oh ya udah makasih ya." Aku pun segera menuju ke ruang wakasek kurikulum itu. Ada apa Pak Kresna memanggilku?
Kemudian aku pun bertemu dengan beliau, secara garis besar beliau memberitahuku bahwa aku memiliki kesempatan untuk ikut tes menjadi ASN PPPK. Singkatnya, aku akan memiliki gaji dan tunjangan yang sama seperti PNS, hanya saja aku tak akan memiliki uang pensiun. Jadi aku harus menabung sendiri jika ingin di masa pensiun nanti memiliki dana hari tua.
Meskipun demikian, aku bersyukur sekali. Aku akan mempersiapkan yang terbaik untuk mengikuti tes itu. Aku harus mengubah status guru honorerku, menjadi guru PPPK.
Aku tahu, dulu aku sangat tidak peduli tentang karirku. Cita-citaku sungguh naif. Menikah dengan seorang pria yang akan bertanggung jawab untuk mencari nafkah, dan aku menjadi ibu rumah tangga yang baik. Namun sekarang aku sadar, mimpi itu harus ku kubur dalam-dalam. Kini aku seratus persen setuju dengan nasehat ibuku waktu itu, aku harus bisa berdiri di kakiku sendiri. Alasannya adalah tentu saja keadaan pelik pernikahanku dengan Gaga.
Sekarang saja, sudah satu bulan lebih aku menikah dengannya, namun Gaga tak juga menganggapku sebagai istrinya. Apalagi memberiku nafkah?
Aku tak tahu maksud Gaga tiba-tiba ingin menemuiku hari ini. Yang jelas aku harus mengatakannya. Ya. Aku akan katakan keputusanku yang sudah ku pikirkan bahkan sejak awal kami tiba di Jakarta untuk pertama kalinya setelah menikah waktu itu.
Aku berjalan menuju gerbang sekolah. Tiba di depan, para siswi begitu riuh menatap ke satu titik. Awalnya aku bingung, apa yang mereka lihat hingga mereka mesem-mesem berjamaah seperti itu. Saat ku tahu penyebabnya, aku tak heran lagi. Mereka semua menatap ke arah Gaga yang berdiri bersandar pada pintu mobilnya.
Gaga selalu seperti itu sejak dulu, mempesona mata kaum Hawa. Pemandangan seperti ini sering kutemui dulu waktu aku SMP dan SMA, semua orang tertuju pada Gaga. Mengagumi postur tubuhnya yang sempurna, wajahnya yang tampan, dan juga gayanya yang selalu stylist.
Namun sekarang, walaupun aku terpesona, rasa sakit selalu menyertai setelahnya. Semua itu karena ternyata aku baru mengetahui sisi gelap Gaga yang belum pernah ku ketahui sebelumnya.
Gaga melihatku. Ia pun berhenti bersandar ke mobilnya. Melihatnya menyadari keberadaanku, aku pun mempercepat jalanku. Aku masuk ke pintu penumpang, dan Gaga memasuki pintu kemudi. Tak lama mobil pun melaju.
Kemudian kami berada di sebuah restoran. Ia tak bertanya apakah aku lapar, atau apa. Tiba-tiba saja di tengah perjalanan ia membelokkan mobilnya ke restoran ini.
"Makan," titahnya melihatku yang hanya menatap makanan yang dipesannya untukku. "Gue yang bayar."
"Sebelumnya, aku mau ngomong sesuatu," ujarku pelan.
"Makan dulu. Udah ini baru kita ngomong," ucapnya tanpa melihat ke arahku.
Aku pun menurutinya. Ku ambil garpu dan sendok untuk memakan pasta yang memang terlihat menggiurkan itu. Hingga makanan kami pun habis.
"Mau ngomong apa?" tanyanya to the point.
Tanganku semakin dingin. Karena aku tak mampu berbicara sambil menatapnya, aku pun hanya menunduk melihat ujung-ujung jariku yang kuremas di pangkuanku.
"Apa gak sebaiknya..." Suaraku bergetar sekali. Namun aku tetap memaksakannya keluar. "Kita cerai aja? Aku rasa itu yang terbaik buat kita."
Sudah. Sudah ku katakan. Ada luka di hatiku saat mengatakannya. Perasaan tak rela beberapa saat mendominasi. Namun logikaku kembali mengingatkanku, kamu lebih bahagia dulu, saat melihat Gaga dari jauh. Jika menikahinya hanya membuatmu lebih terluka, untuk apa kamu melanjutkan?
"Minggu depan kita pulang ke Bandung. Lo gak lupa 'kan sama acara 40 hari almarhum papa meninggal?"
Gaga mengucapkannya dengan santai. Seakan yang aku katakan bukanlah apa-apa. Reaksinya benar-benar di luar dugaanku.
"Tapi..."
"Udah dari sini, kita ke tempat kost lo. Bawa semua barang lo. Mulai malam ini, lo tinggal di apartement gue."